Enam tahun silam, dunia Tama hancur berkeping-keping akibat patah hati oleh cinta pertamanya. Sejak itu, Tama hidup dalam penyesalan dan tak ingin lagi mengenal cinta.
Ketika ia mulai terbiasa dengan rasa sakit itu, takdir mempertemukannya dengan seorang wanita yang membuatnya kembali hidup. Tetapi Tama tetap tidak menginginkan adanya cinta di antara mereka.
Jika hubungan satu malam mereka terus terjadi sepanjang waktu, akankah ia siap untuk kembali merasakan cinta dan menghadapi trauma masa lalu yang masih mengusik hidupnya?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon DityaR, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Sentuhan Pertama
...Sintia...
...ΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩ...
"Tia!" teriak Amio. Dia masuk ke dapur, dan Tama mengikuti di belakangnya. Amio minggir dan menunjuk ke arah Tama.
Tangannya penuh darah.
Darahnya menetes-netes.
Tama menatap gue seolah-olah gue tahu harus berbuat apa.
Ini bukan UGD.
Ini dapur Nyokap gue.
"Bisa bantuin enggak?" ucapnya, sambil memegang pergelangan tangannya erat-erat.
Darahnya berjatuhan ke lantai.
"Maaa!" teriak gue. "P3K-nya di mana?" Gue coba buka-buka lemari dan mencari-cari.
"Rak dekat kamar mandi bawah! Di sebelah wastafel!" sahut Nyokap gue.
Gue tunjuk ke arah kamar mandi, dan Tama mengikuti gue. Gue buka lemari dan ambil kotak P3K. Gue tutup pintu kamar mandi, terus suruh dia duduk. Gue duduk di pinggir bak mandi dan menarik tangannya ke gue.
"Lo abis ngapain?" Gue mulai membersihkan dan lihat lukanya.
Lukanya dalam, tepat di tengah-tengah telapak tangannya.
"Pegangin tangga. Terus tangga itu jatuh."
Gue geleng-geleng kepala. "Mestinya lo biarin aja jatuh."
"Enggak bisa," bantahnya. "Amio lagi di atasnya."
Gue tatap dia, dan dia balik menatap gue dengan mata coklatnya. Gue balik memperhatikan tangannya lagi. "Lo harus dijahit."
"Hah, yakin?"
"Yakin," jelas gue. "Gue bisa anterin lo ke UGD."
"Enggak bisa dijahitin di sini aja?"
Gue geleng-geleng kepala. "Gue enggak punya alatnya. Butuh benang jahit luka. Ini lumayan parah."
Dia pakai tangan satunya buat mengacak-acak isi kotak P3K. Dia mengeluarkan gulungan benang dan langsung menyodorkannya ke gue. "Coba aja semampu lo."
"Ini enggak sama kayak jahitin kancing baju, Tama.”
"Gue enggak mau buang waktu seharian di UGD cuma buat luka ini. Lakuin aja sebisanya. Gue bakal baik-baik aja."
Gue juga enggak mau dia buang-buang waktu di UGD seharian. Itu artinya dia enggak bakal di sini.
"Pokoknya kalau tangan lo infeksi dan lo mati, gue enggak mau disalahin."
"Kalau tangan gue infeksi dan gue mati... gue udah mati... gimana caranya gue buat nyalahin lo."
"Bagus," tanggap gue.
Gue bersihkan lukanya lagi, terus ambil alat-alat yang gue butuhkan dan menyiapkannya di atas meja.
Posisinya enggak enak, jadi gue berdiri dan menyandarkan kaki di pinggir bak mandi. Gue taruh tangannya di atas paha gue.
Oh, sial.
Ini enggak akan berhasil kalau tangannya tiba-tiba meraba di paha gue kayak begini. Kalo gue mau tangan gue tenang dan enggak gemetaran, gue harus ubah posisi.
"Ini enggak bakal berhasil," tegas gue sambil balik menghadap dia. Gue ambil tangannya dan taruh di atas meja, terus gue berdiri persis di depannya.
Cara yang tadi memang lebih enak, tapi gue enggak bisa biarkan tangannya menyentuh paha gue pas gue lagi melakukan ini.
"Ini bakal sakit," papar gue.
Dia ketawa seolah-olah dia sudah terbiasa sama rasa sakit dan menurut dia, ini bukan sakit.
Gue tusuk kulitnya pakai jarum, dan dia sama sekali enggak berkedip.
Dia enggak mengeluarkan suara.
Dia cuma lihat ke gue dengan tenang. Sesekali, dia melirik dari tangan gue ke wajah gue. Kita enggak bicara, kayak biasanya.
Gue coba abaikan dia.
Gue coba fokus ke tangan dan lukanya yang harus segera ditutup, tapi wajah kita terlalu dekat, dan gue bisa merasakan napasnya di pipi gue tiap kali dia menghembuskan napas.
Dan dia mulai sering banget menghembuskan napas.
"Lo bakal punya bekas luka," bisik gue pelan. Gue heran ke mana suara gue yang lainnya pergi.
Gue tusuk jarumnya untuk yang keempat kali. Gue tahu ini sakit, tapi dia enggak menunjukkan itu. Setiap kali jarum menembus kulitnya, gue harus tahan diri biar enggak meringis buat dia. Seharusnya gue fokus ke lukanya, tapi yang gue rasakan malah kalau lutut kita bersentuhan.
Tangan yang enggak gue jahit itu ada di atas lututnya, dan ujung jarinya menyentuh lutut gue.
Gue enggak mengerti bagaimana bisa banyak hal terjadi sekarang, tapi yang bisa gue pikirkan cuma ujung jari itu. Rasanya panas di celana gue, kayak besi setrika. Padahal dia lagi ada luka yang serius, darahnya merembes ke handuk di bawah tangannya, jarum gue menembus kulitnya, tapi yang gue pikirkan dari tadi cuma sentuhan kecil di antara lutut gue dan ujung jarinya itu.
Gue jadi penasaran bagaimana rasanya sentuhan itu kalau enggak ada kain yang memisahkan kita.
Mata kita bertemu selama dua detik, lalu gue cepat-cepat melihat lagi ke tangannya. Dia sekarang enggak melihat tangannya sama sekali.
Dia tatap gue, dan gue berusaha keras buat enggak memikirkan cara dia bernapas. Gue enggak tahu apakah napasnya jadi cepat karena gue berdiri terlalu dekat dengannya atau karena gue bikin dia kesakitan.
Sekarang dua ujung jarinya menyentuh lutut gue.
Gue tarik napas lagi dan coba fokus buat menyelesaikan jahitannya.
Gue enggak bisa.
Ini sengaja.
Sentuhan ini bukan enggak sengaja.
Dia menyentuh gue karena sepertinya dia memang ingin menyentuh gue. Jarinya melingkar di sekitar lutut gue, dan tangannya bergerak ke belakang kaki gue. Dia menyenderkan kepalanya ke bahu gue dengan sebuah desahan, dan dia menggenggam kaki gue dengan tangannya. Gue enggak mengerti bagaimana gue masih bisa berdiri.
"Tia," bisiknya.
Dia sebut nama gue dengan suara yang penuh rasa sakit, jadi gue berhenti dan menunggu dia bilang itu sakit.
Gue tunggu dia bilang 'minta waktu sebentar'. Itu sebabnya dia menyentuh gue, kan?
Karena gue bikin dia kesakitan?
Dia enggak ngomong lagi, jadi gue menyelesaikan jahitan terakhir dan ikat benangnya.
"Selesai," ucap gue, sambil merapikan barang-barang di atas meja. Dia enggak melepaskan gue, jadi gue juga enggak mundur.
Tangannya perlahan mulai naik ke belakang kaki gue, naik terus ke paha, melingkar ke pinggul, dan terus ke pinggang gue.
Tarik napas, Tia.
Jarinya meremas pinggang gue, dan dia tarik gue lebih dekat, masih dengan kepala yang bersender ke gue. Tangan gue akhirnya menemukan bahunya, karena gue harus pegangan.
Gue harus pegangan sesuatu buat jaga keseimbangan. Setiap otot di tubuh gue tiba-tiba lupa bagaimana caranya bekerja. Gue masih berdiri, dan dia masih duduk, tapi sekarang gue ada di antara kakinya karena dia tarik gue sedekat ini.
Dia perlahan mengangkat wajahnya dari bahu gue, dan gue harus tutup mata karena dia bikin gue gugup sampai gue enggak bisa melihat dia.
Gue bisa merasakan dia menunduk buat tatap gue, tapi mata gue masih tertutup. Gue tutup mata gue sedikit lebih erat.
Gue enggak tahu kenapa.
Gue enggak tahu apa-apa sekarang.
Gue cuma tahu satu hal, Tama.
Sekarang, gue rasa Tama mau cium gue.
Dan sekarang, gue juga yakin banget kalau gue juga kepingin ciuman.
Tangannya perlahan naik ke punggung sampai akhirnya menyentuh leher gue. Rasanya setiap bagian tubuh yang dia sentuh meninggalkan bekas.
Jarinya ada di pangkal leher gue, dan mulutnya enggak lebih dari setengah inci dari rahang gue. Begitu dekat sampai-sampai gue enggak bisa membedakan apakah itu bibirnya atau napasnya yang menyentuh kulit gue.
Gue kira gue bakal mati, dan enggak ada satu pun obat di kotak P3K itu yang bisa menyelamatkan gue.
Dia mengencangkan cengkeramannya di leher gue dan kemudian dia mau bunuh gue.
Atau mungkin dia mau cium gue.
Gue enggak bisa membedakannya, karena gue yakin rasanya pasti sama saja.
Bibirnya di bibir gue, rasanya campur aduk.
Seperti hidup, mati, dan dilahirkan kembali, semuanya sekaligus.
Ya Tuhan.
Serius.
Dia lagi cium gue.