Permainan anak kecil yang berujung menjadi malapetaka bagi semua murid kelas 12 Ips 4 SMA Negeri Bhina Bhakti.
Seiring laporan dari beberapa orang tua murid mengenai anaknya yang sudah berhari-hari tidak pulang ke rumah. Polisi dan tim forensik langsung bergegas untuk mencari tahu, tidak ada jejak sama sekali mengenai menghilangnya para murid kelas 12 yang berjumlah 32 siswa itu.
Hingga dua minggu setelah laporan menghilangnya mereka tersebar, tim investigasi mendapat clue mengenai menghilangnya para siswa itu.
"Sstt... jangan katakan tidak jika kamu ingin hidup, dan ikuti saja perintah Simon."
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon cakefavo, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
- Tuduhan Antar Teman
Saat Michael berjalan di antara Rean dan juga Denzzel, pikiran gadis itu dipenuhi dengan semua kejadian yang telah terjadi dalam permainan sejauh ini. Ketakutan, kecurigaan, kematian, dan ketidakpastian tentang siapa yang dapat dia percayai. Michael melirik Rean yang berjalan di sampingnya, ekspresinya masih tidak terbaca dan dingin seperti biasanya.
"Seharusnya malem ini kita gak tidur, gue takut kejadian kayak Elias bakalan ke ulang lagi ke anak-anak yang lain." ucap Denzzel memecah keheningan, Michael pun menatapnya dan mengangguk, sedangkan Rean masih menatap lurus kedepan tanpa ekspresi apapun.
"Bukannya lu mau ke kantin?" tanya Denzzel sambil melirik kearah Rean sesaat setelah mereka bertiga ada di depan pintu UKS, Rean terdiam sejenak, tampak berpikir, tangannya di sembunyikan di balik saku celananya.
"Hm," gumam Rean lalu pergi meninggalkan mereka berdua disana, Michael menatap kepergian laki-laki itu sebelum akhirnya mengikuti sahabatnya masuk kedalam ruangan UKS.
"Kira-kira apa yang bikin permainan ini ada?" tanya Denzzel yang duduk di tepi ranjang, sedangkan Michael pergi ke lemari yang ada disana dan membukanya.
"Apa yang bakal lu lakuin kalau gue Simonnya?" tanya Michael tiba-tiba, dia sudah membawa jempana di kedua tangannya, untuk sesaat Denzzel terdiam.
"Gue bakal tetep lindungin lu sampai permainan ini selesai, gue gak bakal maafin lu kalau lu terluka atau meninggal karena permainan ini, kita harus bertahan sampai akhir."
"Bahkan di situasi kayak gini dia masih sempet-sempetnya belajar." bisik Alin sambil mengintip ke luar jendela, melihat Chaiden sedang duduk di luar kelas sambil membaca buku.
"Lu kayak gak tau aja, dia bahkan yang selalu pertama angkat tangan waktu guru ngasih pertanyaan," sahut Risha.
Michael mendengarkan obrolan antara Alin dan juga Risha, tatapannya tertuju kepada sebungkus roti dan juga susu miliknya di atas meja, lalu ia melihat ke luar jendela, langit sudah mulai gelap.
Beberapa menit berdiam diri, akhirnya Michael bangkit dan melangkah keluar kelas, dia melihat kearah Chaiden yang sedang membaca buku pelajarannya. Untuk sesaat ia ragu, sebelum akhirnya dia berjalan mendekati laki-laki itu.
Chaiden mendongakan kepalanya saat menyadari kehadiran gadis itu, dia menatap kearah roti dan juga sekotak susu yang baru saja di berikan oleh Michael untuknya, dia pun mengangguk.
"Makasih," ucapnya.
Michael duduk di sampingnya, ia memperhatikan profil samping laki-laki itu, mengapa ada manusia sesempurna Chaiden, pikirnya. Michael segera menggelengkan kepalanya saat pikirannya mulai tidak bisa di ajak bekerja sama, ia pun segera mengalihkan pandangannya.
"Lu tertarik banget buat belajar ya? kalau lu tau, lu itu kayak kamus berjalan waktu ngejawab pertanyaan guru, anak-anak lain gak belajar penuh semangat kayak lu," kata Michael mencoba mencairkan suasana, Chaiden yang mendengarnya pun lantas terkekeh pelan.
"Walaupun gue gak suka, gue harus maksain buat suka sama materi yang bikin otak gue pusing."
"Lu harus bener-bener ngelambatin semua kegiatan belajar lu itu, lu bisa bikin otak lu sendiri capek karena terlalu banyak mikir." kata Michael, dia tidak mengerti bagaimana seseorang bisa begitu tekun belajar dan antusias dengan sekolah dan pembelajaran seperti Chaiden.
"Haruskah?" tanya Chaiden sambil tersenyum tipis, Michael pun tersenyum balik kepadanya dan mengangguk.
Beberapa detik, hanya ada keheningan di antara mereka saat Chaiden mulai fokus kembali ke bukunya, sedangkan Michael terus memandangi langit yang gelap.
"Menurut lu, apa tujuan Simon bikin kita semua kayak gini?" tanya Michael membuat laki-laki itu mengalihkan pandangannya dari buku.
"Setelah gue pikir-pikir, pasti ada alasannya kenapa kita bisa terjebak disini, cuman kita belum sadar aja."
Michael kini kembali menatap Chaiden, ia menghela nafas lalu mengangguk pelan.
"Hm, bener..."
Disisi lain, Denzzel yang sedang mengelilingi sekolah bersama Axel tengah menyelusuri lorong sekolah, mereka menyalakan senter ponsel mereka masing-masing.
"Gimana waktu lu cek ruang siaran?" tanya Denzzel sambil melihat sekeliling.
Axel menghela nafas, "Menurut Kanin waktu dia ngintip di balik jendela, ruang siarannya gelap, gak ada tanda-tanda seseorang disana."
Senter ponsel Denzzel menyoroti seseorang, mereka tampak terkejut sejenak, sebelum akhirnya Axel menghampiri Reygan yang hendak memasuki sebuah ruangan.
"Lu mau kemana?" tanya Axel.
"Gue? gue lagi... patroli juga, gue lagi ngecek sekeliling."
"Sendirian?" tanya Denzzel yang langsung di angguki olehnya.
Axel dan Denzzel menatap curiga Reygan, mereka berdua bisa melihat kegugupan dan ketegangan yang terpancar dari laki-laki itu. Beberapa detik berlalu, mereka bertiga mendengar suara benda terjatuh dari salah satu ruangan yang tidak jauh dari mereka, Axel dan Denzzel saling bertatap-tatapan sejenak sebelum akhirnya berlari menuju ruangan tersebut.
"Bangsat!" umpat Reygan yang segera mengikuti mereka berdua dari belakang.
Saat itu Rean, Yahezkael, Mason dan juga San sedang memberi pelajaran kepada Vino, wajah laki-laki itu semakin babak belur karena Rean memukulinya lagi.
"Gue mohon, berhenti..." lirih Vino, kedua matanya membengkak, dapat terlihat darah di giginya yang putih.
"Berhenti apanya? gue baru mulai, gak usah berlebihan." kata Rean sambil menepuk pipi Vino beberapa kali, ketiga temannya lantas tertawa.
"Heh, gue bakal lepasin lu kalau lu ngelakuin apa yang gue mau."
Vino menatap kedua mata Rean, perasaannya menjadi tidak enak karenanya. Rean kembali bangkit, ia mundur beberapa langkah sebelum akhirnya memberi isyarat kepada salah satu temannya untuk mengurus Vino.
Yahezkael dan Mason segera berlutut di samping Vino, Yahezkael terkekeh pelan sambil memegang pundak laki-laki itu yang kini menunduk, sedangkan Mason mulai berbisik di telinga Vino.
Perubahan ekspresi wajah Vino dapat terlihat dengan jelas setelah Mason membisikan sesuatu, ia kembali menatap Rean dengan perasaan yang campur aduk.
Denzzel dan Axel memasuki ruangan kelas 12 MIPA 7, tempat Rean dan yang lainnya ada disana sebelumnya, tetapi mereka berdua tidak menemukan kehadiran siapa pun disana, Axel segera mengumpat.
"Denzzel, Axel!" teriak Reygan di luar ruangan, mereka berdua pun kembali keluar dan mendapati Reygan yang sedang duduk di lantai sambil melihat ke suatu titik, mereka berdua pun mengalihkan pandangannya kearah yang di lihat oleh Reygan dan seketika mereka berdua membeku.
Mereka bertiga melihat tubuh Haikal yang tergeletak di lantai dengan kondisi yang mengkhawatirkan. Di sampingnya, mereka melihat sebotol saus dan juga garpu, perlahan Axel melangkahkan kakinya mendekati Haikal.
Dia bisa melihat bagaimana perut Haikal yang robek, Axel pun berlutut di sampingnya dan menyingkirkan baju yang menghalangi perut Haikal, begitu dia bisa melihat dengan jelas, wajahnya langsung memucat saat isi jeroan perut Haikal keluar, bagaimana usus dan juga lambungnya terlihat.
Axel memejamkan matanya sejenak lalu kembali bangkit saat rasa mual sudah mulai menguasai dirinya, Denzzel mengepalkan tangannya erat, ia kembali merasa gagal untuk melindungi salah satu teman sekelasnya.
Disisi lain, Rean mendorong Vino hingga terjatuh di lantai. Teman-teman sekelasnya yang saat itu sudah bersiap-siap untuk tidur langsung terkejut, Michael dan Chaiden pun memasuki kelas begitu mereka berdua melihat Rean yang tengah menyeret Vino memasuki kelas.
"Kalian dapet berita dari dia," ucap Rean.
Dengan nafas yang tersengal-sengal, Vino kembali bangkit, kedua tangannya gemetar saat dirinya mulai menyiapkan diri untuk memberitahukan suatu berita kepada teman-temannya.
"Gue... gue Simonnya," ucapnya lirih.
Michael melebarkan kedua matanya, tidak percaya dengan apa yang di katakan oleh laki-laki itu. Hannah yang mendengarnya segera bangkit dan menghampiri Vino, gadis itu mencengkram kerah baju Vino dan mengguncangkan tubuhnya.
"Sialan, selama ini lu Simon?" teriaknya.
Michael segera mendekati mereka berdua, dia mendorong Hannah dan melindungi Vino dari balik punggungnya, Hannah yang melihatnya tertawa mengejek, dia pun menjambak rambutnya sendiri karena frustasi.
"Wah, lu ngebelain dia?!"
"Lu gak bisa percaya gitu aja, gimana kalau dia ngomong gitu karena terpaksa?"
"Maksud lu?" tanya Hannah.
Kini Michael berbalik sehingga dia menghadap Rean dan juga ketiga teman-temannya, gadis itu menatap tajam keempat laki-laki itu yang sedang menyeringai tipis, jelas geli dengan sikap Michael yang berusaha melindungi Vino.
"Kalian yang maksa dia buat ngomong kayak gitu, kan?"
Rean maju selangkah, kini jaraknya dengan Michael hanya beberapa centimeter, Michael dapat merasakan panas yang terpancar dari tubuh laki-laki itu, tetapi itu tidak membuatnya mundur.
"Lu tau apa?" tanya Rean dengan nada yang rendah dan berbahaya.
Chaiden ikut campur, dia segera menghampiri mereka dan berdiri di antara Michael dan juga Rean.
"Nunggu apa lagi? dia Simonnya!" teriak Rean sambil menatap teman-temannya.
"Kalau dia Simon, kita harus apa?" tanya Alin dengan suara yang gemetar.
"Apa lagi? bikin dia di eksekusi." sahut Mason dengan begitu santainya.
Vino yang mendengarnya langsung menggeleng kuat, dia menatap teman-teman sekelasnya dan langsung berlutut di depan mereka.
"Jangan... jangan, gue mohon."
"Simon sialan, lu yang udah bikin kita kesulitan, bahkan temen-temen kita mati karena lu!" teriak Hannah.
Shaerin yang dari tadi hanya diam kini menghampiri Vino, dengan mata yang berkaca-kaca gadis itu menarik tangan Vino dan mendorongnya ke dinding. Tidak hanya di situ saja, Shaerin pun memberinya pukulan.
"Kembaliin Joshua, dasar bajingan!"
Michael kembali menatap Rean dengan tajam, gadis itu mendorong pundak Rean dengan cukup kuat sehingga berhasil membuat laki-laki itu mundur beberapa langkah. "Tolong berhenti, lu bisa aja bikin nyawa temen lu sendiri hilang!"
Rean hanya terkekeh, "Gue harus apa? dia yang udah jujur sama kita kalau dia Simonnya, dia pantes dapetin itu semua."
Yaksa menghampiri Rean dan langsung meninju wajahnya, Rean yang menerima pukulan itu langsung mengumpat dan membalas pukulan laki-laki itu dengan lebih brutal, saat Michael melangkah untuk menghentikan mereka, dia malah mendapat pukulan juga dari Rean di wajahnya, Chaiden yang melihat itu menggeram dan langsung membalas Rean dengan memukuli wajahnya juga, beberapa detik kemudian Yahezkael dan Reygan segera meleraikan mereka bertiga dengan cara menarik sahabatnya untuk menjauh dari Yaksa dan juga Chaiden.
"Udah berhenti, kita gak harusnya kayak gini!" teriak Kanin sambil menatap tajam Rean dan juga para antek-anteknya.
Naira dan Shaerin langsung menghampiri Michael dan melihat kondisi gadis itu, untuk saja tidak terlalu parah dan hanya terlihat memar kecil di wajahnya, Rean menatap Michael sekilas lalu mengerang frustasi, dia meninju papan tulis beberapa kali.
"Sialan anjing, apa susahnya buat pilih dia, dia sendiri yang udah ngaku kalau dia Simon!"
"CUKUP!" bentak Kanin.
Tangan Michael mengepal erat, dia pun bangkit dan maju beberapa langkah hingga jaraknya dengan Rean begitu dekat. "Gimana jadinya kalau gue balikin tuduhan itu ke lu?" tanyanya dengan nada mengancam.
"Oh ya? gimana caranya?"
"Rean!" teriak Michael sehingga membuat suasana kelas menjadi hening, semua mata kini tertuju kepada gadis itu.
"Lu Simonnya bukan?"
Chaiden menatap Michael, dia dapat merasakan jika gadis itu saat ini benar-benar terlihat emosi, tetapi dia tidak menghentikannya.
"Lu yang selama ini ngerundung Vino sama Elias, jangan-jangan lu sendiri yang udah ngebunuh Elias?"
Semuanya terdiam, mereka jelas terpengaruh dengan ucapan Michael, apa yang dikatakannya memang benar, sejauh ini hubungan mereka kurang baik.
"Lu sengaja bikin tuduhan gitu ke Vino biar semua orang nyudutin dia dan bikin dia meninggal, dengan itu lu menang, kan?" tanya Michael lagi.