NovelToon NovelToon
Menikahi Sersan Mayor

Menikahi Sersan Mayor

Status: tamat
Genre:Tamat / Cinta Seiring Waktu / Keluarga / Romansa
Popularitas:9.1M
Nilai: 4.8
Nama Author: Andreane

Blurb :


Sebuah pernikahan yang hanya di dasari oleh cinta dari salah satu pihak, akankah berjalan mulus??

Jantung Arimbi seakan runtuh ketika pria itu mengatakan 'kita akan tidur terpisah'

Akankah ketulusan Arimbi pada putri semata wayang mampu membuat Bima, seorang TNI AU berpangkat Sersan Mayor membalas cintanya?

______


Arimbi terkejut ketika sosok KH Arifin, datang ke rumahnya bersama Pak Rio dan Bu Rio.


Yang lebih mengagetkannya, kedatangan mereka bertujuan untuk melamar dirinya menjadi istri dari putranya bernama Bima Sena Anggara, pria duda beranak satu.


Sosoknya yang menjadi idaman semenjak menempuh pendidikan di pondok pesantren milik Abi Arifin, membuat Arimbi berjingkrak dengan perjodohan itu.

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Andreane, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

~ 1 ~

"Mas" Aku memanggilnya bersamaan dengan ketukan pintu dari tanganku. "Ada baju kotor?"

"Ada" jawab mas Bima tanpa melihatku.

"Boleh aku masuk untuk mengambilnya?"

"Hmm"

Satu-satunya jawaban yang ku dengar dengan tatapan lurus ke arah komputer.

Aku langsung melangkahkan kaki memasuki kamarnya. Ku lihat di keranjang pakaian kotor hanya ada kira-kira dua stel pakaian rumahan.

Mas Bima memang sedang berada di rumah, sebab dia baru kembali dari dinasnya kemarin lusa.

Karena ini hari minggu, kami sama-sama tidak bekerja.

Tak ada aktivitas apapun yang kami lakukan di hari libur seperti ini, mas Bima hanya duduk di meja kerja yang ada di kamarnya, bahkan bisa sampai sehari penuh.

Pria itu akan keluar hanya untuk makan dan bermain dengan putrinya, kadang-kadang juga membawa Syahla ke kamar untuk bermain di sana.

Sementara Aku, tak pernah mengusiknya lebih jauh sebab tak ada keberanian untukku mendekatinya lebih dulu.

Apalagi ketika ingatanku jatuh pada saat pertama kali mas Bima membawaku kemari, seketika nyaliku menciut untuk sekedar bertanya tentang dirinya.

'Jangan karena kita sudah menikah, lantas kamarku kamu anggap sebagai kamarmu, tidak! Karena kita, akan tidur terpisah'

Kata mas Bima kala itu.

'Di atas ada tiga kamar, satu kamar milik Thalia, kamu bisa pilih salah satu dari dua kamar lainya untuk kamu tempati '

Entah atas dasar apa dia menerima perjodohan ini. Sedetik kemudian, ucapan lain kembali terngiang di ingatanku.

'Jangan ikut campur urusan pribadiku, begitupun denganku yang tidak akan ikut campur urusanmu. Satu lagi, jangan pernah membuka lemariku, taruh saja pakaian yang sudah bersih di atas tempat tidur, aku yang akan memasukkannya sendiri ke dalam lemari'

Kalimatnya saat itu cukup membuatku terhenyak, Namun aku berusaha mengerti akan kondisinya.

Mungkin saja mas Bima butuh waktu untuk kembali membuka hati dan memberikan kepercayaan itu padaku.

Aku paham sebab tak mudah melupakan wanita yang sangat ia cintai tapi malah berkhianat di depan matanya. Perlu waktu pula untuk betul-betul menyingkirkan bayangan perselingkuhan mantan istrinya itu.

Akan tetapi, hingga dua tahun berlalu, mas Bima tak kunjung melihatku berada di tengah-tengah antara dirinya dan Syahla.

Sampai-sampai aku berfikir, seburuk itukah aku di matanya? ataukah mas Bima memang tak ingin menikah lagi karena terlalu takut jika kembali di khianati, sedangkan di sisi lain, ada Syahla yang harus di prioritaskan dan membutuhkan sosok ibu, itu sebabnya dia menerima perjodohan dari almarhum kakek Arifin

Ah ... Apapun itu, Aku sungguh tak mengerti, dua tahun itu bukan waktu yang sebentar untuk menunggu, dan waktu yang cukup lama untuk move on, seharusnya mas Bima sudah bisa melupakan mbak Hana.

Tapi kenyataannya??

Terkadang Aku ingin menyerah, tapi bagaimana dengan Syahla? anak gadis itu benar-benar sudah mengira bahwa aku ibu yang melahirkannya.

Sudahlah,, meski aku sangat mencintai ayahnya, tapi bukan itu alasanku masih bertahan di rumah ini. Hanya Syahla Satu-satunya alasan yang ku miliki.

***

Setelah semua pakaian tersingkap di pelukan, aku keluar tanpa mengatakan apapun.

Saat berjalan melewati ruang tengah, aku melirik Lala yang masih asik bermain dengan puzzlenya. Lagi-lagi hatiku menghangat melihat putri kecilku, dan tanpa sadar bibirku mengulas senyum.

Memasukkan baju kotor ke dalam mesin cuci, aku menekan tombol power lalu star setelah sebelumnya menaburkan deterjen dan menutup pintu tabung pada mesin.

Selagi menunggu cucian selesai, aku menyapu dan mengepel lantai.

Aku sengaja menolak ART di rumah kami, karena jika aku merasa sakit hati oleh sikap mas Bima, aku bisa melampiaskan kekesalanku pada pekerjaan rumah. Sesekali mas Bima pun turut andil dalam menyapu dan mengepel lantai jika dia sedang tidak bekerja.

Pelan, aku mulai mengusap kain pel pada lantai dengan sesekali menanggapi pertanyaan Lala.

Hampir seperempat bagian lantai yang sudah ku pel, aku melihat mas Bima keluar dari kamar lalu melangkah menuju dapur.

Aku yakin mas Bima hendak membuat teh dan akan kembali lagi ke kamarnya.

Tiba-tiba.

"Thalia, ke kamar ayah yuk"

Ucapan yang meluncur dari mulut mas Bima bersamaan dengan aku yang tengah memeras kain pel.

Atensiku langsung memindai tubuh Lala yang mengangguk. Terlihat mas Bima membawa teh mint yang sudah ku seduh di dalam teko kecil dan menaruhnya di atas meja makan.

"Bunda, Lala ke kamar ayah"

"Beresin dulu puzel-puzlenya ya"

"Iya" Dengan cekatan Lala langsung membereskan mainannya.

Selang satu menit, ekor mataku kembali melirik Lala yang kini tahu-tahu sudah di gandeng sang ayah berjalan ke arah kamar.

Menarik napas pelan, aku kembali melanjutkan pekerjaan hingga tak terasa seluruh lantai sudah selesai ku pel.

Melangkah ke tempat pencucian baju, aku memeras alat pel untuk ku jemur.

"Astaghfirullah" Aku menyentuh bagian dada menggunakan kedua tepalak tangan.

Tubuhku tersentak karena tiba-tiba mas Bima sudah berdiri di hadapanku ketika aku membalikkan badan.

"Kenapa?"

"Enggak" jawabku sesingkat pertanyaannya.

"Mesin cuci sudah jalan?"

"Sudah" Aku sungguh tak berani menatap kilat matanya, sepasang netraku jatuh pada sprei yang mas Bima bawa "Kenapa spreinya, mas?"

"Kotor"

"Berikan padaku, biar ku rendam"

Pria itu menyerahkan sprei ke tanganku. Sementara jantungku benar-benar kacau di dalam sana saat menerimanya.

Aneh memang, dua tahun tinggal bersama, detak jantung masih saja bertalu-talu seperti ini setiap kali bicara dan berhadapan dengan mas Bima.

Setelah sprei beralih ke tanganku, aku berbalik kemudian meletakkannya di ember dan merendamnya.

Aku sempat heran pada sprei yang baru ku ganti satu jam sebelum mas Bima pulang dari dinasnya kemarin.

Tapi pas ku cek, ternyata kotor karena ketumpahan teh yang tadi mas Bima ambil. Mungkin Lala menumpahkannya atau, entahlah.

Tepat ketika Aku selesai membersihkan seluruh ruangan dan menjemur baju yang sudah selesai di cuci, waktu menunjukan pukul sepuluh lebih lima menit, aku membuka kulkas berniat mengeluarkan sayur dan lauk yang akan ku masak untuk makan siang.

Baru saja mengeluarkan kangkung, aku mendengar seruan Lala sembari berlari.

"Bunda!"

Akupun langsung menoleh ke arahnya. "Jangan lari-lari, nak"

"Enggak bun, Lala jalan aja" gadis kecil itu memperlambat langkahnya.

Melihat Lala berjalan dengan penuh hati-hati, reflek bibirku tersungging tipis. Tidak hanya itu, ku lihat putri kecilku juga sudah rapi dengan pakaian serta rambut yang di ikat menjadi dua bagian. Pasti ayahnya yang sudah mendandaninya.

"Kata ayah nggak usah masak"

"Nggak usah masak?" Kedua alisku saling bertaut keheranan.

"Iya"

"Nanti makan apa kalau bunda nggak masak?"

"Kata ayah, selesai bunda beres-beres, kita ke rumah opa"

"Kerumah opa?" Aku menutup pintu kulkas tanpa memasukkan kembali bahan-bahan yang sudah ku keluarkan. "Kapan?"

"Sekarang, bun" Berdiri menundukkan kepala, aku kembali memandang Lala yang tengah mendongak menatapku.

"Tadi ayah telfon opa, terus oma minta kita makan siang di sana"

"Kamu siap-siap sekarang" mas Bima tiba-tiba menyela obrolanku dengan Lala. Kompak, kami pun menoleh ke arahnya. "Kita makan siang sekaligus makan malam di sana" tambahnya seraya melangkah ke arah kami kemudian meneruskan langkahnya menuju tempat penjemuran. Aroma sabun dan shampo langsung menguar ketika mas Bima berjalan melewati kami sambil membawa handuk yang akan dia jemur.

"Lala mau ikut bunda siap-siap?" tanyaku setelah mas Bima hilang dari pandanganku.

"Mau" Lala merentangkan tangan, kode agar aku menggendongnya.

"Sebentar ya, bunda masukin sayuran dulu"

Tak kurang dari satu menit, semua bahan makanan sudah ku taruh kembali di dalam kulkas, aku pun dengan tangkas membopong tubuh mungil Lala. Sesekali menciumi pipi hingga leher yang membuatnya tergelak.

"Geli bun"

"Tapi bunda gemas sama Lala"

"Kayak ayah berarti, ayah juga gemas sama Lala"

"Oh ya?"

"Eughh"

"Berarti Lala emang menggemaskan, jadinya bunda nggak pengin berhenti cium-cium Lala"

Lala semakin terkekeh kegelian, hingga tahu-tahu, aku sudah berada di lantai dua tepatnya di dalam kamarku.

Aku mendudukkannya di atas tempat tidur.

"Lala tunggu sini, bunda mau mandi"

"Lala mau main ponsel bunda, boleh?"

"Boleh"

"Lala mau lihat kuda poni"

Mendengar permintaannya, aku langsung meraih ponsel di atas nakas, kemudian membuka aplikasi Youtube dan mencari apa yang Lala minta.

"Ini kuda poninya" kataku sambil menyodorkan ponsel ke tangannya. "Jangan kemana-mana, Lala di atas tempat tidur saja, bunda mandi dulu"

"Jangan lama-lama ya bun"

"Enggak nak, sebentar aja" sahutku melangkah ke kamar mandi.

****

Selesai bersiap-siap, aku mengecek sekali lagi penampilanku lewat pantulan cermin.

Hari ini memang sudah menjadi jadwal kami makan malam di rumah orang tua mas Bima. Kecuali jika mas Bima sedang tidak di rumah, baru aku dan Lala tidak berkunjung, kadang malah papi dan mami yang datang dan menginap di sini menemaniku selagi mas Bima dinas di luar kota.

Tapi aku agak sedikit heran sebab biasanya mas Bima mengajakku setelah makan siang.

"Ayo nak, kita turun"

"Bunda cantik, pakai itik merah" Itu kata Lala setelah aku berada di depannya yang duduk di atas kasur. Pujiannya yang terdengar sangat tulus membuatku langsung tersipu.

Anaknya yang memujiku saja aku kikuk begini. Bagaimana jika pujian itu keluar dari mulut ayahnya?

"Lala juga cantik, rambutnya di ikat begini" Kami sama-sama tersenyum. Detik berikutnya ku raup Lala ke dalam gendonganku dan membawanya turun ke bawah.

Saat langkahku sudah berada di ujung tangga, aku mendapati mas Bima tengah menerima telfon. Satu tangannya ia masukkan ke dalam kantong celana sementara tangan lain menempelkan ponsel di telinga kanannya.

Dari kalimat yang ku dengar, mas Bima sedang bicara dengan Gesya, adiknya mbak Hana.

"Ayah" panggil Lala sedikit berteriak.

Mas Bima pun menoleh.

"Maaf Gey, aku dan Lala mau pergi ke rumah mami"

"Yo, wa'alaikumsalam"

Entahlah, hatiku merasa tercubit mendengar mas Bima seakrab itu dengan adiknya mbak Hana.

Pasti Gesya mau main ke sini, alasannya kangen sama Lala, tapi sebenarnya dia menyukai mas Bima. Aku tahu sebab dia selalu mencuri pandang dengan tatapan aneh ke mas Bima kalau lagi di sini.

"Thalia bisa jalan sendiri kan?" tanya mas Bima sambil memasukkan ponsel ke saku jaketnya.

Aku menatap Lala yang menyerukkan kepala di leherku.

"Nggak apa-apa mas"

Mas Bima tak mengindahi ucapanku.

"Thalia turun sekarang!" Dinginnya yang jelas di tujukan untuk Lala.

"Maafin bunda ya nak?"

Aku menurunkannya, sementara Lala mengangguk dengan wajah masam lalu menerima uluran tangan mas Bima yang hendak menggandengnya.

Mas Bima dan Lala melangkah lebih dulu menuju mobil, sedangkan aku berjalan di belakangnya setelah mengunci pintu rumah.

Hari minggu begini satpam pasti libur, pintu gerbang sudah di buka oleh mas Bima, mobilpun sudah berada di luar gerbang.

Keluar melewati pintu gerbang dan kembali menutupnya, aku buru-buru menyusul mereka dan langsung membuka pintu mobil bagian penumpang di sebelah kursi kemudi.

Saat ku tengok Lala yang duduk di kursi belakang, dia tengah fokus menatap layar ponsel milik ayahnya yang sedang memutar lagu anak-anak.

Selagi aku memasang saetbelt, mas Bima mengangkat pandangan menatap Lala melalui spion tengah.

"Kita berangkat, sayang"

Kata sayang, yang ku sadari hanya terucap untuk putri semata wayangnya, bukan untukku.

Bersambung.

1
Weni Tan
kemana saja aku? baru Nemu bacaan yg menyenangkan dan sesuai keadaan kita. aku suka cerita yg seperti ini jadi lebih dapat feelnyaaa 😍
Siti Cholifah
Luar biasa
Eceu Asnah
kok malah kisah Ryu sm Jihan dulu sih Thor, kak Lala nya mana.?
Anne: belum ada
total 1 replies
Siti Hajar
tahniah Thor..sy pembaca dari Malaysia..cerita yg bagus .bnyak keluar Kan airmata sy bab perjuangan Arimbi mempertahankan cinta nya...jalan cerita yg bagus..menjadikan setiap watak yg dimainkan seperti real..cerita yg penuh dgn kasih sayang..sy sgt suka dgn cara fikir sang pemegang watak seperti Arimbi,Bima dan yg lain².. congrats again Thor..sy tambah star lg ya..⭐⭐⭐⭐⭐⭐⭐⭐⭐⭐..& this is specially for u 🌹🌹🌹🌹🌹🌹🌹🌹🌹🌹🫶🫰
Anne: terimakasih
total 1 replies
Cahyati Yati
Luar biasa
Mom Dee 🥰 IG : damayanti6902
/Facepalm//Facepalm//Facepalm//Facepalm/
Yani Agustyawati
Luar biasa
Muhammad Yamin
mertua edan.. 😁😁
Mom Dee 🥰 IG : damayanti6902
sabtu kan ASN libur yak
Anne: sekarang iya merata libur semua hampir di seluruh provinsi. tapi dulu pas kisah ini masih on going ada beberapa yang memang belum libur.
total 1 replies
Nur rai Punia
sedih hatiku😍
Muhammad Yamin
Luar biasa
Nurhayati
sama dari malemampe pg baca nya masih sedih trus lanjutt torr
Rita Wawolangi Sakidi
Bagus karyamu Thor.
Semangat berkarya
Nurhayati
Lumayan
Fajar Ayu Kurniawati
.
Mia Sitakka
mampir thor
Amel Megantara
Luar biasa
maria handayani
/Shy/
vi
Luar biasa
Nenk Shila
perasaan goblok semua bima arimbi sama keluarganya
Amel Megantara: kalau ga suka ga usah baca kak
total 1 replies
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!