Kisah Aghnia Azizah, putri seorang ustadz yang merasa tertekan dengan aturan abahnya. Ia memilih berpacaran secara backstreet.
Akibat pergaulannya, Aghnia hampir kehilangan kehormatannya, membuat ia menganggap semua lelaki itu bejat hingga bertemu dosen killer yang mengubah perspektif hatinya.
Sanggup kah ia menaklukkan hati dosen itu? Ikuti kisah Nia mempelajari jati diri dan meraih cintanya.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Renyah, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 21. Pemicu Kesadaran Hati
Faizah mendatangi Lukman, mengusap lembut punggung suaminya.
"Abah, ummi tahu kalau Aghnia dan ummi tak ada hak memutuskan apapun terkait perjodohan atau keinginan Abah memasukkan Aghnia ke pondok tahfidz. Tapi, boleh kan ummi meminta rasa belas kasih Abah untuk mendengar versi putri kita sebelum memutuskan apapun itu?", pinta Faizah.
"Apa menurut ummi, Abah ini terlalu egois sehingga putri kita seliar itu tingkahnya?", Lukman malah mempertanyakan sikapnya sendiri terhadap kakunya sikap Aghnia, menentang hampir semua pengaturan abahnya.
"Tidak Abah. Bahkan putra nabi Adam, Nuh, dan Yaqub pun bercela, padahal ayahnya seorang nabi. Sungguh itu ujian bagi kita untuk bersabar. Justru di sana lah ladang pahala kita Bah", sahut Faizah, tidak menyalahkan siapapun.
"Lalu, apa aku salah membuat pengaturan yang lebih ketat agar putri kita menurut?", Lukman merasa, semakin dikekang, putrinya malah semakin liar, bersikeras menolak dan ingin lepas.
"Entah lah Abah. Ummi pun tidak yakin. Tapi, setelah mendengar versi Aghnia, mungkin Abah bisa menemukan solusi agar Nia bisa belajar dan memahami konsekuensi atas tindakannya. Kita hanya bisa berdoa dan mengikuti aturan Tuhan, tak bisa memaksakan keinginan hati kita kepada Aghnia", ungkap Faizah.
Lukman pun mengangguk. Faizah memeluk suaminya lantas pergi ke kamar, memberi Lukman kesempatan dan kesendirian untuk memikirkan ulang semuanya dengan tenang.
Keesokan paginya Aghnia menceritakan versinya kepada Lukman. Pria itu nampak geram, namun segera mengendalikan diri. Bagaimana pun, kasus Aghnia dan Malik ini berbeda dengan kasus Aghnia dan Bimo. Aghnia dan Malik saling suka. Putrinya jelas salah karena mau diajak berduaan, naik paralayang, dan menginap di villa hingga terjadi peristiwa itu.
"Jadi, apa simpulanmu sekarang?", Lukman ingin tahu pikiran Aghnia.
"Entah lah Abah. Aku tak yakin. Kalau pun Abah menikahkan aku dengan pria yang sama sekali tidak kucintai, aku tak peduli", Aghnia sudah putus harapan sekarang.
"Aku tahu tingkah lakumu, Nia. Lantas kamu mau menyalahkan Abah jika terjadi kekacauan dalam pernikahanmu kan?", ungkap Lukman. Aghnia hendak membantah, namun ia memang sudah sering melakukannya, terkait dirinya yang dipondokkan sejak kecil, dilarang berpacaran, hingga diharuskan menutup aurat secara ketat. Ia menyalahkan abahnya yang terlalu keras sehingga tidak bisa menikmati masa kecil dan kebebasannya.
Masa kuliah adalah masa bebas yang kini jelas berimbas buruk tanpa ada yang bisa disalahkan selain keteledoran dirinya sendiri.
"Abah tidak butuh pengakuanmu atas kesalahanmu, hanya saja jangan jadi lebih dungu daripada keledai. Untuk itu, Abah akan memasukkanmu ke pondok tahfidz usai lulus sembari menunggu jodohmu tiba.
Kali ini, Abah takkan memaksamu menikah. Bahkan jika kamu melajang seumur hidup, itu pilihan dan risikomu sendiri. Tapi ingat, kita di dunia harus tahu tujuan kehidupan dan mempersiapkan bekal untuk menghadap sang pencipta, termasuk menikah sebagai ibadah dan memiliki keturunan untuk melanjutkan kepatuhan, bukan sekedar rasa bangga yang menonjolkan ego dan memicu kesombongan", pungkas Lukman.
Aghnia hanya bisa pasrah. Hatinya mengakui kesalahannya dan memang perlu waktu untuk menelaah langkah ke depan.
Di kampus, Alfi telah mendapatkan dosen penguji dan jadwal sidang skripsi Aghnia.
"Sidang kamu dipercepat. Selamat, sepekan lagi kamu harus tampil optimal. Siapkan presentasi yang menarik. Jangan lupa meng-highlight data yang menonjolkan kebenaran hipotesismu agar para penguji bisa dengan jelas dan mudah menilai", tulis Alfi lantas mengirim pesan itu kepada Aghnia.
Alfi mengernyit melihat pesannya hanya menunjukkan terkirim, belum dilihat oleh si penerima.
"Ke mana anak ini? Apa mendadak drop out?", gumam Alfi, lantas mencoba menelepon nomor Aghnia.
Beberapa kali ia gagal menghubungi dengan jalur data. Alfi pun mencoba menghubungi lewat telepon biasa
"Ya, ada apa? Saya ayahnya Aghnia", Alfi mendengar jawaban di ujung telepon. Ponsel Aghnia untuk sementara disita Lukman sebagai salah satu hukuman.
"Oh, maaf mengganggu pak. Saya Alfi Sagara, dosen pembimbing skripsi Aghnia", Alfi pun mengabarkan jadwal sidang Aghnia yang dipercepat tiga pekan lebih awal.
"Baik, akan saya sampaikan kepada Aghnia. Apa ada hal lain lagi?", Lukman ingin segera menutup panggilan.
"Sekalian saya izin bapak sebagai ayahnya untuk menjadikan Aghnia sebagai asisten dosen. Ini bagus untuk perkembangan mental agar ia terasah untuk bertanggungjawab dan melatih keahliannya di bidang komunikasi. Ya, meski gajinya tidak besar, tapi cukup untuk kebutuhan gadis lajang", Alfi pun menjelaskan terkait peluang pekerjaan ke depan untuk Aghnia.
"Itu akan diputuskan nanti saja pak. Terimakasih atas tawaran dan perhatian bapak kepada putri saya. Kalau sudah tak ada lagi, saya akhiri panggilan ini", pungkas Lukman. Alfi pun mengucap salam dan menyudahi panggilan.
"Hufh, kenapa aku malah seperti sales pekerjaan? Bukan kah Aghnia dan keluarganya yang seharusnya meminta bantuan dan pendapatku?", gumam Alfi, merasa bodoh jika berkaitan dengan Aghnia, si gadis tengil yang berhasil membayangi pikirannya di saat suntuk atau pun sepi dengan senyum dan tingkah lucunya.
Keesokan paginya, Lukman mengembalikan ponsel Aghnia dan mengatakan tawaran Alfi kepada putrinya.
"Aku ngga akan terima tawaran itu jika Abah tidak setuju. Lebih baik aku mencari rumput untuk kambing daripada menjadi asisten dosen lelaki yang ujung-ujungnya akan semakin dicurigai", ungkap Aghnia.
"Asalkan kalian tidak jalan berduaan, apalagi bersepi-sepi, Abah masih bisa memaklumi prosesmu meski itu pun dosa hukumnya kecuali ada udzur syar'i. Abah akan memberimu hak memutuskan karena kamu menganggap Abah tidak punya hak apapun dalam hidupmu dan kamu lah yang paling mengetahui dirimu sendiri.
Hanya satu hal untuk kamu ingat. Tak ada manusia yang akan selamat kecuali mengikuti petunjuk sang maha berilmu. Maka kalahkan logikamu dengan kerendahan hati untuk mematuhi aturan penciptamu", tutur Lukman.
Aghnia terdiam mendengar penuturan abahnya. Ia menitikkan air mata karena selama ini memang tidak menganggap penting aturan abahnya, bahkan menganggap bahwa alasan sikap liarnya adalah karena sikap kaku abahnya dalam memperlakukan dirinya.
"Pergi lah, kamu memang tanggungan Abah sampai menikah. Namun Abah berlepas diri dari liarnya sikapmu karena tak mau mendengar nasehatku", ujar Lukman seraya menyerahkan kunci mobil kepada Aghnia.
Di satu sisi, ia merasa senang. Tapi di sisi lain, Aghnia merasa sedih, seakan Lukman telah membuang rasa cinta dan perhatian kepadanya, tersirat dari ucapannya ini.
"Apa Abah akan membuang ku?", tebak Aghnia, membuat Lukman menggeleng.
"Mana bisa aku membuang putriku satu-satunya. Namun jika dia yang memilih pergi meninggalkanku, aku bisa apa? Dia sudah dewasa dan merasa tidak butuh kehadiranku lagi di sisinya, bahkan menyalahkanku atas kedisiplinan dan ketegasan yang kuajarkan kepadanya", ungkap Lukman, sontak membuat Aghnia mengurai air mata dan menghambur ke pelukan abahnya.
Gadis itu jelas tak ingin kehilangan sosok ayah yang selalu perhatian meski terkesan keras dan kaku. Namun ia masih belum menemukan jawaban atas hidup yang kini ia jalani, terlebih menghadapi gemerlap dunia yang begitu menggoda dan menyilaukan hati.
Kutunggu karyamu slanjutnya,ndak pake lama yaa thoorr🤩🤩🤸🤸