Menikah dengan lelaki yang dicintai, ternyata tidak menjamin kebahagiaan, ada kalanya justru menjadi luka yang tak ada habisnya.
Seperti halnya yang dialami oleh Raina Almeera. Alih-alih bahagia karena menikah dengan lelaki pujaan—Nero Morvion, Raina malah menderita karena hanya dijadikan alat untuk membalas dendam.
Walau akhirnya ... takdir berkata lain pada skenario yang dibuat lebih awal oleh Nero.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Gresya Salsabila, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
IKTN 31
Dua minggu telah berlalu sejak Raina pergi dari rumah. Selama itu pula Nero mencari, tetapi tak jua ada hasil yang berarti. Bahkan, Nero sudah mengirim orang untuk mencari di Singapura. Namun, hasil tetap nihil. Tak ada tanda-tanda keberadaan Raina di sana.
Nero makin kacau dibuatnya. Bukan hanya penampilan yang saat ini kurang terurus, melainkan juga pekerjaan. Datang ke kantor hanya seperti berpindah tempat untuk melamun dan mengumpat seorang diri. Banyak tugas yang terbengkalai dan hanya dilimpahkan kepada Bryan karena otak sedang tidak bisa diajak bekerja—hanya bersisi tentang Raina, Raina, dan Raina.
Sampai kemudian, Bryan memberanikan diri untuk bicara—demi kebaikan bersama.
"Saya tahu Anda sedang ada masalah, Tuan, tapi ... tolong jangan mengabaikan perusahaan. Ada Kai Group yang harus kita waspadai," ujar Bryan dengan hati-hati. Pikirnya, kalaupun masih diamuk tak mengapa, asalkan setelah itu Nero lebih fokus lagi dengan pekerjaan.
Mendengar ucapan Bryan yang sesungguhnya memang benar, Nero menarik napas panjang.
"Hari ini aku akan pulang lebih awal dan beristirahat. Besok akan kuselesaikan apa yang harus diselesaikan."
Walau dalam hati luar biasa kacaunya, tetapi Nero tak bisa mangkir dari tanggung jawabnya sebagai pemimpin. Ada N&M yang harus ia pertahankan. Bukan hanya demi ribuan karyawan yang menggantungkan hidup di sana, melainkan juga demi perjuangan yang telah ia lalui sejak lama. Bukan hal mudah membawa N&M dalam posisi ini, dan itu tak boleh disia-siakan. Meski ada masalah yang cukup berat, tetapi sudah seharusnya N&M tetap menjadi prioritas.
"Aku harus tetap profesional, atau ... posisi ini akan hilang dari pijakan," gumam Nero setelah tiba di mobil.
Sebagai pebisnis besar, memang sulit baginya jika hanya memikirkan masalah pribadi. Terlepas dari bagaimana babak belurnya hati, dia dituntut untuk tetap tegas dan cerdas menghadapi segala macam urusan bisnis yang mungkin bisa menjadi ancaman.
"Aku butuh teman bicara," batin Nero sembari membelokkan mobilnya ke arah lain. Bukan menuju rumahnya, melainkan menuju rumah Ramon. Dia ingin mengobrol dengan sahabatnya itu, yang mungkin belum tahu bahwa Raina kabur.
Beberapa menit kemudian, Nero sampai di rumah Ramon. Untungnya lelaki itu ada di rumah, dia sedang bermain dengan putri kecilnya yang baru genap sepuluh bulan.
"Tumben kamu ke sini jam segini, langsung dari kantor ya?" tanya Ramon saat Nero sudah masuk ke rumah. Memang tak biasanya Nero berkunjung pada sore hari, sebelumnya selalu malam. Apalagi saat ini Nero tampak suntuk dan lelah, mau tak mau Ramon jadi menebak ada sesuatu di balik kedatangannya.
"Iya."
Benar kan memang ada sesuatu dengan Nero. Buktinya, dia hanya menjawab singkat dan terkesan malas. Malah caranya duduk yang terlihat kasar, seolah suasana hatinya memang tidak baik.
"Kamu kenapa sih?" Ramon kembali bertanya, sembari menggendong putrinya dan membawanya dalam pangkuan.
Nero tak menyahut, sekadar menarik napas panjang dan mengusap wajahnya dengan kedua tangan.
"Ada masalah?" Ramon tetap memperhatikan Nero, menilik setiap gerakan yang menggambarkan sebuah beban.
Nero mengangguk.
"Masalah apa?"
"Masalah serius," jawab Nero. "Aku ke sini karena mau bicara sama kamu, sekalian minta bantuan kalau bisa."
"Ya udah bicara aja. Kamu ada masalah apa?"
Nero tak langsung menyahut, tetapi malah menatap bocah kecil yang ada di pangkuan Ramon. Sejak tadi bocah itu berceloteh panjang, terkadang juga tertawa, dan Ramon tentu saja menanggapi. Sejujurnya, Nero kurang nyaman. Dia butuh waktu yang tenang untuk bicara, tanpa terganggu oleh apa pun—meski itu hanya anak kecil.
"Kamu nggak keberatan kan kalau aku sambil ngasuh Raya? Baby sitter-nya lagi nggak enak badan, aku suruh istirahat dulu tadi," ucap Ramon setelah melihat arah pandangan Nero, dan sedikit banyak dia paham apa yang dipikirkan sahabatnya itu.
"Memangnya istrimu ke mana?" tanya Nero.
"Kerja."
Nero mengernyitkan kening. "Kerja? Sejak kapan?"
"Baru beberapa hari ini."
"Kamu izinin?" tanya Nero.
"Iyalah. Dia juga punya mimpi dalam kariernya, sama kayak aku. Nggak adil dong kalau yang boleh ngejar mimpi cuma aku doang, sedangkan dia harus ngurus kami dan mengubur mimpinya sendiri. Aku cinta banget sama dia. Aku nggak mau dia mikir kalau pernikahannya denganku seperti belenggu yang merampas kebebasan dan mimpi-mimpinya. Aku ingin jadi lelaki yang selalu dukung dia, bisa diandalkan olehnya, tapi nggak mengekang juga," jawab Ramon dengan panjang lebar.
Nero terdiam. Perlakuan Ramon terhadap Alisya berbanding terbalik dengan perlakuannya terhadap Raina. Sialnya, sekarang keadaan juga berbanding terbalik. Ramon dan Alisya tetap harmonis, sementara dirinya ... malah ditinggal kabur.
"Ngomong-ngomong ... kamu tadi ada masalah apa?" Ramon bertanya lagi karena Nero tak jua bicara.
"Raina pergi," ucap Nero beberapa saat kemudian.
"Pergi ke mana?"
"Kalau aku tahu dia pergi ke mana, tidak mungkin sekarang aku cerita di sini."
Ramon terkejut. "Lah, maksudmu?"
Nero mengembuskan napas kasar, kemudian menceritakan tentang kedatangan Ava dan kepergian Raina yang tak terduga.
Namun, bukannya mendapat simpati, Nero malah mendapat umpatan dari Ramon.
"Kamu emang laki-laki brengsek, Nero! Istri mana yang nggak marah coba, kamu bawa perempuan lain ke rumah dan nggak kasih penjelasan apa-apa. Malah sikapmu itu bikin orang salah paham. Wajar kalau Raina kabur, mudah-mudahan aja nggak balik lagi!"
"Mulutmu belum pernah disumpal kepalan ya. Aku berusaha mencari dia, tapi kamu malah berharap dia tidak kembali," geram Nero sambil menatap tajam. Andai yang bicara bukan Ramon, pasti sudah dihajar habis-habisan.
"Memangnya kenapa kalau nggak balik? Katanya kamu nggak cinta, jadi apa masalahnya? Kalau soal dendam ... dengan hilangnya Raina, aku yakin Raksa juga akan hancur sendiri dengan itu. Kalaupun sekarang udah nikah sama Anne, tapi Raina tetaplah adik kesayangannya. Benar, kan?"
Nero terdiam lagi. Makin ke sini ia makin mengerti, dia mengharap Raina kembali bukan karena dendam, melainkan karena dirinya sendiri. Tak bisa dipungkiri lagi, dia memang merindukan dan membutuhkan wanita itu.
Bersambung...