WARNING ***
HARAP BIJAK MEMILIH BACAAN!!!
Menjadi istri kedua bukanlah cita-cita seorang gadis berusia dua puluh tiga tahun bernama Anastasia.
Ia rela menggadaikan harga diri dan rahimnya pada seorang wanita mandul demi membiayai pengobatan ayahnya.
Paras tampan menawan penuh pesona seorang Benedict Albert membuat Ana sering kali tergoda. Akankah Anastasia bertahan dalam tekanan dan sikap egois istri pertama suaminya?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Vey Vii, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Antara Dia Dan Dia
Rosalie menangis terisak. Wanita itu paham jika Ben dan Ana baru menikah beberapa minggu lalu, bahkan Ana sudah mengatakan padanya dengan jujur bahwa mereka hanya melakukannya sekali.
Namun entah mengapa, Rosalie merasa sangat tidak sabar, terlebih Ben mulai memberikan perhatian pada gadis itu.
Tekanan dari keluarganya, keluarga Ben, hingga orang-orang sekitar yang menilai hidupnya sesuka hati mereka, membuat Rosalie tidak bisa bersabar. Jika terlalu lama membiarkan Ben dan Ana bersama, maka Rosalie khawatir akan kehilangan laki-laki itu.
"Jika Ana memang tidak bisa memberikan kita anak, mungkin sebaiknya kalian segera bercerai," ucap Rosalie sambil melepaskan diri dari pelukan Ben.
"Apa? Bercerai?" tanya Ben. Ia menyipit, memperhatikan Rosalie dengan perasaan kesal.
"Lalu apa gunanya kalian bersama jika Ana tidak berhasil mengandung anak kita? Itu hanya akan membuatku sakit hati."
"Kau tahu kehamilan juga butuh proses yang panjang, Rose. Tidak semua wanita beruntung bisa hamil hanya dengan sekali hubungan. Lebih baik kau bersabar dan beri kami waktu," ungkap Ben.
"Waktu? Berapa lama? Aku butuh kepastian."
"Satu tahun."
"Satu tahun? Kau pikir aku rela berbagi suami selama itu dan membiarkanmu bermalam bersamanya berkali-kali?"
"Jangan lupa, Rose. Kau adalah pemilik ide gila ini," tegas Ben. Rosalie memejamkan mata beberapa saat, mencoba meredakan emosi yang kembali memuncak dan menyesakkan dadanya.
"Tiga bulan, aku rasa itu waktu yang cukup!" seru Rosalie. "Berjanjilah, Ben. Kau tidak akan menaruh hati padanya, berjanjilah padaku agar aku tenang," lanjutnya.
Rosalie meraih sebelah tangan Ben dan meletakkan tangan laki-laki itu di atas kepalanya.
"Berjanjilah padaku," pinta Rosalie dengan mata berkaca-kaca.
Ben terdiam cukup lama, ia tidak tahu harus mengatakan apa. Karena yang sebenarnya, ia sudah tertarik pada Ana bahkan saat pandangan pertama.
"Ben, katakan padaku. Kau berjanji?" tanya Rosalie dengan sedikit berteriak.
Menarik napas dalam-dalam, Ben mengangguk.
"Untuk saat ini, aku berjanji," jawab Ben lirih.
Setelah Rosalie cukup tenang, mereka berdua keluar dari kamar dan menuju ruang makan. Mereka menikmati makan malam bersama dalam keheningan.
Meski ada Rosalie di hadapannya, pikiran Ben dipenuhi dengan bayang-bayang Ana. Laki-laki melamun sambil mengaduk nasi di atas piringnya.
"Apa dia sudah makan? Apakah dia bisa tidur nyenyak dengan kasur setipis itu?" batin Ben bertanya. Laki-laki itu tidak sadar, jika Rosalie sedang memperhatikannya.
"Sayang, apa ada sesuatu yang kau pikirkan?" tanya Rosalie sambil menyentuh punggung tangan suaminya. Hal itu membuat Ben berjengit kaget.
"Hah? Ah, tidak."
"Apa yang kau pikirkan?"
"Tidak, aku hanya ... sedang tidak lapar," jawab Ben. Laki-laki itu merasa sedang tidak berselera makan.
"Apa kau ingin aku membeli makanan lain?" tawar Rosalie.
"Tidak perlu, Rose."
Rosalie diam sambil menghela napas berat. Wanita itu menghabiskan makanannya lalu mengajak suaminya menuju ruang tengah untuk menonton televisi.
"Aku akan ke ruang kerjaku dulu, ada beberapa pekerjaan yang harus kuurus," ucap Ben.
"Ah, baiklah. Aku akan menunggu sambil menonton film," jawab Rosalie. Ben mengangguk dan berjalan menuju ruang kerjanya.
Laki-laki itu duduk di kursi kebesarannya sambil menatap layar ponsel yang menyala. Tidak ada satupun pesan yang ia terima dari Ana. Gadis itu bahkan tidak berusaha menghubunginya atau menanyakan sesuatu.
Setelah mempertimbangkan berbagai alasan, Ben memberanikan diri menelepon Ana lebih dulu. Terdengar suara yang menunjukkan panggilan terhubung, namun Ben tak kunjung mendengar suara Ana.
"Angkat, Anastasia. Kau di mana?" gumam Ben.
Setelah percobaan ketiga, suara Ana dari sebrang telepon membuat perasaan Ben lega.
"Ada apa? Aku membeli makanan tanpa membawa ponsel," jawab Ana.
"Aku khawatir. Jika tiga kali kau tidak mngangkat teleponku, aku akan langsung mendatangimu."
"Ah, maaf."
"Jadi, kau belum makan?" tanya Ben.
"Aku akan segera makan. Jangan khawatir," jawab Ana. "Jangan meneleponku saat kau sedang di rumah. Aku mohon, jagalah perasaan Kak Rose. Aku tidak mau menyakitinya," lanjut Ana.
"Aku hanya khawatir, Anastasia. Apa kau bisa tidur dengan kasur tipismu? Apa perlu aku menyuruh orang untuk mengirimkan tempat tidur saat ini juga?"
"Hei, hei. Aku tidak apa-apa. Sudahlah, aku tutup teleponnya!" seru Ana. Gadis itu tidak memberi kesempatan pada Ben untuk menjawab dan memutuskan panggilan secara sepihak.
Ben menarik napas dalam-dalam, ia melihat nama Anastasia di layar ponselnya.
"Kau sangat mengkhawatirkan orang lain, mencemaskan perasaan orang lain. Padahal kau sendiri sedang tersakiti."
"Kau terlalu baik."
Ben melamun beberapa saat, memikirkan bagaimana baiknya gadis yang rela menikah dengannya demi menunjukkan rasa terima kasih juga baktinya pada orang tuanya. Ana rela menjual harga diri demi pengobatan ayahnya, padahal gadis itu paham jika leukimia yang diderita sang ayah tidak bisa di sembuhkan. Pengobatan hanya menunda kematiannya.
Setelah cukup lama berada di ruang kerja, Ben segera keluar dan menemui Rosalie yang sedang menunggunya di ruang tengah.
"Hei, kau sudah selesai?" tanya Rosalie saat melihat suaminya berjalan mendekat.
"Hmm." Ben mengangguk.
"Aku rindu kita pergi bersama, makan malam di luar, ke bioskop, atau sekadar berjalan-jalan di mall," gumam Rosalie. Wanita itu merangkul lengan Ben dan menyandarkan kepalanya di pundak suaminya.
"Aku pun. Kita akan pergi setelah kau selesai menjalani operasi," sanggup Ben.
Beberapa hari lagi Rosalie akan menjalani operasi pengangkatan rahim. Mungkin hal itulah yang membuat Rosalie semakin sensitif terhadap sikap suaminya.
🖤🖤🖤
ceritanya bagus,
karena tidak semua hal di dunia ini terwujud sesuai keinginan mu