Kimberly alias Kimi, seorang perempuan ber-niqab, menjalani hari tak terduga yang tiba-tiba mengharuskannya mengalami "petualangan absurd" dari Kemang ke Bantar Gebang, demi bertanggungjawab membantu seorang CEO, tetangga barunya, mencari sepatu berharga yang ia hilangkan. Habis itu Kimi kembali seraya membawa perubahan-perubahan besar bagi dirinya dan sekelilingnya. Bagaimana kisah selengkapnya? Selamat membaca...
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Andi Budiman, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Kalimat Ancaman
Di departemen SDM, Pandu, seorang mahasiswa magang yang sempat disuruh memasang iklan lowongan kerja di koran duduk dengan gelisah di depan meja Billy. Billy ialah pegawai bagian SDM yang suka bercanda. Billy, yang dikenal suka menggoda karyawan baru atau anak magang, menatap Pandu dengan tatapan penuh arti.
"Pandu, soal iklan yang kamu buat dan masukkan ke koran itu..." Billy mengawali pembicaraan sambil menelusuri lembaran-lembaran di depannya, "Lain kali, tolong lebih hati-hati, ya. Kamu nggak tahu, kan, kalau sampai Pak CEO tahu soal ini, bisa gawat."
Pandu merasakan ketegangan menjalar di tubuhnya. "Saya... saya sudah dengar sedikit tentang beliau, Pak. Tapi... kenapa bisa gawat?"
Billy menatap Pandu dengan gaya seolah-olah sedang menceritakan sesuatu yang sangat rahasia. Ia mencondongkan tubuhnya ke depan, membuat Pandu semakin tegang.
"Pak CEO itu orangnya galak banget," bisik Billy, matanya membesar untuk memberi efek dramatis. "Kalau beliau marah, kamu tahu nggak, apa yang sering dia bilang?"
Pandu menggeleng pelan, wajahnya mulai pucat. “Apa, Pak?”
Billy tersenyum kecil, lalu menirukan gaya bicara Pak CEO dengan suara yang dibuat-buat garang. "Dia sering bilang, 'Biar kutempeleng kalian satu-satu! Pilih mana, mau tangan kiri atau tangan kanan?'”
Pandu terlonjak kaget. “Su-sungguh, Pak? Pak CEO benar-benar bilang begitu?”
Billy menahan tawa di balik wajah seriusnya. "Ya, kira-kira begitu lah. Jadi, kalau nggak mau kena tempelengan, hati-hati ya lain kali."
Wajah Pandu semakin pucat, tangannya mulai gemetar. "Saya... saya nggak mau, Pak. Kalau ada yang salah lagi, tolong kasih tahu saya supaya saya bisa perbaiki, saya nggak mau kena tempeleng!"
Melihat reaksi Pandu yang begitu ketakutan, Billy tidak bisa menahan tawanya lagi. Dia tertawa terbahak-bahak, sampai matanya berair.
“Hahaha! Tenang, Pan, tenang. Itu cuma omongan doang! Pak CEO mungkin galak, tapi bukan berarti benar-benar akan tempeleng kamu. Ya, meski... kalau benar-benar dilakuin, ya pasti sakit dan malu juga, hahaha!”
Di tengah-tengah tawa Billy yang keras, tiba-tiba terdengar suara seorang wanita dari belakang mereka. “Billy, kamu ngapain sih?” suara itu jelas tegas dan sedikit berwibawa.
Billy berhenti tertawa dan menoleh. Di sana berdiri Mira, kepala divisi marketing, yang melihat kejadian ini dari kejauhan dan memutuskan untuk menghampiri.
“Oh, Bu Mira, saya cuma kasih sedikit nasihat ke Pandu biar hati-hati. Nggak apa-apa, kan?” Billy mencoba bersikap santai, meski ada sedikit rasa bersalah di matanya.
Mira menatap Billy dengan tajam, lalu mengalihkan pandangannya ke Pandu yang masih terlihat ketakutan.
“Billy, jangan suka menakut-nakuti anak magang. Mereka di sini untuk belajar, bukan untuk dibuat stres. Apa yang kamu bilang tentang Pak CEO memang ada benarnya, tapi kamu tahu kan, dia tidak akan benar-benar tempeleng mereka.”
Billy mencoba menahan senyum. “Ya, Bu Mira, saya cuma bercanda kok. Tapi, beneran kan, kalau Pak CEO marah, bisa bikin orang-orang pada ketakutan.”
Mira menghela napas sambil melipat tangan di dada. “Iya, memang. Tapi tugas kita di sini bukan untuk menambah ketakutan mereka, tapi untuk membimbing mereka. Dan Billy, cobalah bersikap lebih profesional. Anak-anak magang seperti Pandu ini masih belajar. Jangan jadikan mereka bahan lelucon.”
Pandu yang sejak tadi mendengarkan, merasa sedikit lega mendengar kata-kata Mira. Namun, rasa gugupnya belum sepenuhnya hilang.
Billy mengangguk, kali ini lebih serius. “Baik, Bu Mira. Saya paham. Maaf, Pandu, tadi saya bercanda. Jangan terlalu diambil hati, ya.”
Pandu mengangguk pelan. “Iya, Pak Billy. Terima kasih, Bu Mira.”
Mira memberikan senyum tipis kepada Pandu. “Tenang saja, Pandu. Billy memang suka bercanda. Semua orang tahu, kamu di sini untuk belajar dan berkembang. Jadi kalau ada yang nggak jelas atau butuh bantuan, tanya saja. Kita semua di sini untuk membantumu.”
Billy akhirnya tersenyum dan menepuk bahu Pandu dengan lembut. “Oke, Pandu, santai saja. Kita di sini tim, kok. Tapi ingat, hati-hati sama iklan yang kamu buat, ya. Nggak mau kan, sampai benar-benar harus milih tangan kiri atau kanan? Hahaha!”
Mira menggeleng pelan sambil tersenyum, meski sedikit jengkel dengan candaan Billy yang tidak pernah berhenti.
"Billy, Billy... sudah, jangan ganggu Pandu lagi," kata Mira, tegas.
Pandu merasa sedikit lebih tenang, meski masih ada bayangan tempelengan di benaknya. Tapi setidaknya, dia tahu bahwa ada orang seperti Mira yang akan membelanya jika situasi benar-benar menjadi sulit.
Tiba-tiba, Mira bertanya kepada Billy, "Eh Billy, kamu bisa menangani penipu tidak? Atau... membuktikan dia penipu atau bukan?"
Billy mengernyit bingung. “Penipu? Penipu apa, Bu?”
“Tadi Ghea ditelepon Vania,” Mira menjelaskan sambil menghela napas. “Katanya ada orang yang mengaku Pak CEO kita, minta ditransfer sepuluh juta, katanya sih Pak CEO dalam keadaan terdesak. Saya tadi sudah coba telepon ke Pak CEO kita, tapi tidak diangkat. Kita semua tahu Pak CEO kan hari ini ada jadwal bertemu klien di hotel. Saya punya firasat kalau Pak CEO saat ini sedang berhadapan dengan klien. Kemungkinan beliau men-silent ponselnya supaya tidak ada gangguan. Soalnya klien saat ini benar-benar penting, katanya orang Prancis. Tapi, tidak menutup kemungkinan juga kalau yang menelepon sekarang ini adalah Pak CEO yang asli.”
Mira merasa tegang dan khawatir, terutama dengan kasus penipuan yang semakin marak belakangan ini. Billy, yang dikenal dengan keterampilannya dalam bermain kata-kata dan psikologis dalam wawancara, merasa ini adalah tantangan yang menarik.
“Oh, kalau begitu. Biarkan saya mencobanya. Saya punya beberapa trik untuk menangani ini. Lagipula, pengalaman saya dalam mewawancarai calon karyawan bisa sangat berguna di sini.”
Mira dan Billy bergegas menuju lobi, diikuti Pandu yang penasaran dan ingin tahu bagaimana masalah ini diselesaikan. Di sana sudah ada Vania dan Ghea, dan Ghea sedang mencoba mengambil alih telepon di meja resepsionis, menguji si tersangka penipu.
Ghea terlihat bingung. Dia sudah berusaha menanyakan beberapa informasi tapi tidak membuahkan hasil.
“Tidak ada jawaban yang memuaskan. Saya sudah mencoba segala cara untuk memastikan dia benar-benar Pak CEO atau bukan.”
Di tengah suasana tegang di lobi, Billy dengan percaya diri mengambil alih telepon dari Ghea.
“Baiklah, saya akan coba verifikasi. Ini sangat penting untuk keamanan perusahaan,” katanya kepada Ghea.
“Selamat pagi, Pak CEO,” Billy memulai, “Saya Billy dari divisi SDM. Kami menerima permintaan transfer sepuluh juta dari seseorang yang mengaku sebagai Anda. Untuk memastikan keasliannya, kami perlu memverifikasi beberapa hal. Apakah Anda siap menjawab beberapa pertanyaan?”
Suara di ujung telepon terdengar tegas dan sedikit marah. “Tentu saja, tetapi cepatlah! Saya tidak punya banyak waktu.”
Billy mengangguk meski Pak CEO tidak bisa melihatnya. “Bagus. Pertama, bisakah Anda menyebutkan nama lengkap manajer keuangan kita dan tugas-tugas beliau di perusahaan?”
“Manajer keuangan? Tentu saja, namanya Indra Setiawan. Tapi apa urusanmu bertanya seperti ini?” jawab suara itu dengan nada semakin tidak sabar.
Billy mencatat jawaban tersebut. “Baik. Sekarang, apakah Anda bisa memberi tahu saya tentang lokasi dan jadwal pertemuan penting yang Anda hadiri hari ini?”
“Apa ini? Kamu tahu saya ada pertemuan penting di Jakarta untuk bertemu klien Prancis! Tetapi saya justru terjebak di sini, dan kalian malah ikut menguji kesabaranku sekarang!” Suara di telepon mulai terdengar semakin marah.
Ghea yang berdiri di samping berbisik pada Billy, “Hati-hati, Billy. Penipu zaman sekarang mungkin tahu hal-hal seperti itu, termasuk nomor rekening, nomor telepon, agenda kegiatan, bahkan mungkin nama-nama setiap orang di perusahaan ini. Kalau penipu itu pandai meretas, data-data seperti itu bisa didapat dengan mudah.”
Billy melirik Ghea dengan ragu, namun tetap melanjutkan, “Maaf, Pak CEO, tapi ini bagian dari prosedur kami. Kami juga perlu mengetahui nomor rekening perusahaan yang digunakan untuk transfer. Mohon beri tahu kami nomor rekening tersebut untuk verifikasi.”
Di sisi lain, suara si penelepon terdengar tertekan. “Bagaimana kalau tidak? Kalian semua ini merepotkan! Saya sudah memberi tahu kalau ini mendesak!”
Billy tak mau menyerah, meski ia mulai bingung mengingat peringatan Ghea tentang penipu ulung yang sangat mungkin bisa meretas data perusahaan untuk membuat skenario penipuan terbaik.
Billy mencoba berpikir tentang apa yang sebaiknya ia katakan kemudian. Tapi ia tak menemukan ide lagi selain melanjutkan pertanyaan seperti sebelumnya.
“Maaf Pak CEO, tapi untuk memverifikasi lebih lanjut, kami memerlukan informasi tambahan. Misalnya, kode akses atau password yang biasanya digunakan untuk otorisasi transfer,” Billy menunduk, merasa sudah kehilangan akal.
“Sekarang kamu mulai membuatku marah!” si penelepon berubah menjadi lebih keras dan penuh kemarahan. “Apa kalian semua ini bodoh? Aku sudah bilang ini mendesak! Cepat lakukan perintahku sekarang juga! Kalau tidak, aku akan tempeleng kalian satu-satu!” si penelepon menghela nafas, “Pilih, mau tangan kiri atau tangan kanan?”
Mereka semua kecuali Vania dan Pandu, si mahasiswa magang, mengenal betul kalimat ancaman terakhir itu. Bagaimana intonasi dan penekanannya ketika diucapkan. Bagaimana pula helaan nafas sebelum melanjutkan perkataan suruhan memilih antara tangan kiri atau tangan kanan itu.
Mira, yang telah mengikuti percakapan dari dekat, tidak bisa menahan tawa melihat betapa marahnya CEO. “Billy, sepertinya kamu berhasil membuat Pak CEO sangat marah. Aku rasa ini cukup untuk memastikan bahwa ini memang Pak CEO yang asli.”
Billy terlihat terkejut dan akhirnya menyadari kesalahannya. “Oh, Pak CEO. Ka-kami mohon maaf jika prosedur ini menyebalkan. Ka-kami akan segera memproses transfernya. A-apakah sepuluh juta masih kurang?”
“Tidak, itu sudah cukup!” jawab suara dari seberang.
Mira melirik Billy dengan tatapan campuran antara tertekan dan geli. Billy hanya bisa tersenyum kikuk. Ghea juga merasa lega meskipun masih waspada. Sementara Pandu dan Vania, yang baru di perusahaan, masih terlihat cemas, terutama setelah mendengar ancaman tempelengan yang begitu jelas dan tegas. Mereka meraba-raba pipi mereka sendiri dengan tangan gemetar.
Terima kasih memberikan cerita tentang keteguhan seseorang dalam mempertahankan keyakinannya.
Bravo selamat berkarya, kuharap setiap hari up.