Menceritakan tentang Anis yang pindah rumah, Karena di tinggal kecelakaan oranf tuanya.Rumah tersebut milik tante Parmi yang ada di kampung. Banyak kejadian yang di alami Anis di rumah tersebut
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon KERTAS PENA, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bayangan dibalik rahasia
Anis terdiam, membeku di tempat. Suara langkah kaki yang mendekat membuatnya menahan napas. Di balik cahaya senter yang bergoyang di genggamannya, sosok gelap muncul, menyelimuti ruangan dengan aura yang begitu dingin dan mencekam. Hatinya berdebar kencang, takut jika makhluk itu adalah entitas yang akan melukai dirinya.
Namun saat sosok itu semakin jelas, Anis mengenali wajahnya. Pak Handoko berdiri di hadapannya, dengan raut wajah yang serius dan tajam.
“Nona Anis, kenapa Anda ada di sini?” suara Pak Handoko terdengar tegas, hampir seperti sebuah teguran.
Anis menelan ludah, berusaha menenangkan diri. “Saya hanya… mencari tahu apa yang sebenarnya terjadi di rumah ini, Pak. Saya ingin membantu Fina.”
Pak Handoko memandang Anis lama, seolah sedang menimbang-nimbang sesuatu. Akhirnya, ia menghela napas dalam-dalam dan berkata, “Nona Anis, ada banyak hal yang tidak bisa dijelaskan dengan logika. Fina… dia bukan sekadar arwah yang terjebak di sini. Ada rahasia yang jauh lebih dalam.”
Anis menatapnya, bingung namun penuh penasaran. “Apa yang sebenarnya terjadi pada Fina?”
Pak Handoko menunduk, seolah enggan mengungkapkan. Namun, akhirnya ia berkata, “Fina… adalah anak bungsu dari keluarga ini. Dulu, dia adalah gadis yang ceria, penuh kehidupan. Tapi setelah tragedi itu, dia berubah. Menjadi sosok yang lain.”
“Tragedi?” Anis bertanya, merasa bulu kuduknya meremang.
Pak Handoko mengangguk, lalu melanjutkan dengan suara pelan, “Malam itu, semua terjadi begitu cepat. Fina ditemukan tak bernyawa di ruang bawah tanah ini. Tidak ada yang tahu penyebabnya, dan sejak saat itu, rumah ini berubah menjadi tempat yang dingin dan menakutkan. Sejak saat itu juga, kami mulai merasakan kehadiran Fina… atau setidaknya, sesuatu yang menyerupai dirinya.”
Anis merasa tubuhnya menggigil mendengar penjelasan itu. “Jadi… yang selama ini kulihat… adalah…”
Pak Handoko mengangguk lagi, kali ini dengan tatapan penuh duka. “Dia bukanlah Fina yang kau kenal atau yang ingin kau bantu, Nona. Mungkin ada bagian dari dirinya yang ingin bebas, tapi ada juga kegelapan yang menyelimuti dirinya, sesuatu yang sudah lama terpendam di dalam rumah ini.”
Anis merasa semakin cemas. “Tapi… tadi malam, dia bilang padaku kalau ada sesuatu di sini yang bisa membantunya bebas. Kotak ini…” Anis menunjukkan kotak kayu yang ia temukan dengan ukiran nama Fina.
Pak Handoko terdiam melihat kotak itu, matanya sedikit terbelalak. “Kotak itu… adalah milik Fina. Dulu, ia sering menyimpan benda-benda kesayangannya di sana. Aku tak tahu apa yang ada di dalamnya sekarang, namun aku yakin benda itu mungkin memegang kunci untuk menuntaskan misteri ini.”
Dengan hati-hati, Anis membuka kotak kayu itu. Di dalamnya, ia menemukan beberapa barang pribadi Fina—sebuah foto keluarga yang sudah menguning, pita rambut, dan sebuah buku harian kecil. Anis membuka buku itu dengan hati-hati, namun beberapa halaman sudah lusuh dan sulit dibaca. Namun, di tengah-tengah halaman, ia menemukan sebuah catatan yang ditulis dengan tinta merah:
“Aku merasa ada yang mengawasi. Aku mendengar suara-suara yang berbisik di malam hari, seolah-olah mereka mencoba membawaku pergi. Aku takut…”
Catatan itu membuat tubuh Anis semakin merinding. Tulisan Fina menunjukkan bahwa ia merasakan sesuatu yang menakutkan sebelum meninggal. Tapi apa yang membuat Fina begitu ketakutan?
“Pak Handoko, apa Anda tahu siapa atau apa yang mungkin… mengawasi Fina sebelum dia meninggal?” tanya Anis, penasaran.
Pak Handoko terdiam, matanya tampak menatap kosong ke arah dinding, seolah mengingat sesuatu yang jauh. “Ada cerita lama tentang keluarga ini, Nona Anis. Cerita tentang kutukan. Konon, salah satu leluhur keluarga ini pernah melakukan kesalahan besar, dan sejak itu, setiap generasi selalu mengalami tragedi. Fina mungkin korban dari kutukan itu, tapi aku tak tahu pasti. Semua hanya rumor…”
Namun, Anis merasakan ada lebih dari sekadar rumor dalam cerita Pak Handoko. Rumah ini memang memiliki atmosfer yang mencekam, seolah dipenuhi dengan rahasia gelap yang tak terkatakan. Anis membuka halaman-halaman lain di buku harian itu, berharap menemukan petunjuk lebih lanjut. Di salah satu halaman terakhir, ia menemukan catatan Fina yang seolah-olah memanggilnya:
“Jika ada seseorang yang menemukanku, tolong bantu aku keluar dari sini. Aku merasa terjebak, seperti aku tak bisa pergi. Tolong, bebaskan aku dari kegelapan ini…”
Anis menutup buku itu perlahan, matanya berkaca-kaca. Ia mulai memahami bahwa Fina memang benar-benar terperangkap, dan hanya ada satu cara untuk membebaskannya.
“Apa yang harus kulakukan, Pak?” tanya Anis dengan suara bergetar.
Pak Handoko menatapnya dengan pandangan yang penuh simpati. “Jika kau ingin membantu Fina, kau harus kembali ke ruang bawah tanah ini dan menghadapi apa pun yang ada di sana. Mungkin… roh atau kekuatan yang selama ini mengikat Fina. Tapi, kau harus berhati-hati. Rumah ini tidak akan membiarkanmu begitu saja.”
Malam itu, setelah memastikan bahwa Tante Parmi sudah tidur, Anis kembali menuruni tangga ke ruang bawah tanah, kali ini dengan ketakutan dan tekad yang lebih besar. Suara gemerisik dan bayangan-bayangan yang berkelebat di ujung mata seolah mengawasi setiap gerakannya. Saat ia mencapai dasar tangga, ia merasa hawa di ruangan itu semakin dingin, lebih menusuk daripada sebelumnya.
Anis memegang buku harian Fina erat-erat, seolah berharap itu bisa menjadi pelindungnya. Di tengah ruangan, tiba-tiba muncul sosok Fina, namun kali ini lebih jelas, dengan ekspresi wajah yang penuh ketakutan.
“Anis… tolong aku…” suara Fina terdengar serak, seolah-olah ia sudah lelah memohon.
“Aku di sini, Fina. Aku akan membantumu,” kata Anis sambil mencoba tetap tenang.
Namun, seketika, ruangan itu berubah drastis. Suara-suara gemuruh dan bisikan-bisikan terdengar semakin keras, dan tiba-tiba sosok Fina berubah menjadi bayangan kelam yang bergerak dengan cepat ke arah Anis. Dengan gemetar, Anis berteriak, mencoba menahan rasa takut yang semakin kuat. Di saat yang sama, ia mengeluarkan buku harian Fina, membacakan salah satu catatan terakhirnya yang mengandung harapan untuk bebas.
“Fina, kau tidak sendiri. Aku di sini untuk membantumu keluar dari kegelapan ini,” seru Anis, suaranya gemetar tapi tegas.
Bayangan kelam itu tampak terhenti, dan sosok Fina muncul kembali, namun kali ini dengan wajah yang lebih tenang. Hantu Fina menatap Anis dengan penuh haru, lalu berbisik, “Terima kasih… Kau telah memberiku keberanian untuk pergi.”
Dengan pelan, bayangan Fina mulai memudar, menyatu dengan kegelapan yang ada di ruangan itu. Suara gemuruh dan bisikan-bisikan pun mereda, seolah kegelapan telah melepaskan cengkeramannya pada Fina. Anis merasa air mata menetes di pipinya. Akhirnya, Fina bisa pergi dengan tenang.
Ketika semuanya tenang, Anis menghela napas lega dan kembali ke lantai atas dengan perasaan lega namun letih. Pak Handoko menunggu di ujung lorong, menatapnya dengan senyuman penuh terima kasih.
“Terima kasih, Nona Anis. Anda telah membebaskan Fina… dan juga rumah ini,” katanya pelan.
Dengan rasa lega, Anis menyadari bahwa rumah itu kini terasa berbeda. Kegelapan yang menyelimutinya telah lenyap, digantikan oleh kedamaian yang belum pernah ia rasakan sebelumnya. Malam itu, untuk pertama kalinya, Anis tidur dengan tenang, mengetahui bahwa ia telah membantu Fina menemukan kedamaian yang sudah lama diinginkannya.