Semua ini berawal dari kata sandi sambungan Wi-Fi di rumah gue. Kedengarannya sepele, kan?
Tapi percaya, deh, lo salah besar kalau mengira ini cuma hal kecil yang enggak bakal bisa mengubah nasib seseorang.
Sekarang, kata sandi itu bukan cuma gue yang tahu, tapi juga mereka, tiga lelaki keren dari keluarga Batari yang tinggal di belakang rumah gue.
Bukan karena gue pelit, ya.
Tapi ini masalah yang jauh lebih besar, menyangkut harga diri gue sebagai seorang perempuan. Karena begitu dia tahu isi kata sandi itu, gue yakin hidup gue bakal berubah.
Entah akan jadi lebih baik, atau justru makin hancur.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon DityaR, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Direct Message
“Nutella?”
“Enggak.”
“Cokelat?”
Gue geleng-geleng kepala. “Enggak.”
“Es krim?”
“Enggak.”
“Ah gue tahu! Semuanya aja, es krim, cokelat, sama Nutella?
Gue geleng-geleng lagi, dan Gori merapikan kacamatanya. “Oke, gue nyerah, deh.”
Kita lagi berdua saja di kelas, pelajaran terakhir baru selesai, dan Gori lagi coba menghibur gue. Dia pakai topi terbalik sama kacamatanya, seperti biasa.
Sudah hari Jumat, dan gue melewati minggu ini kayak zombi di sekolah. Gue enggak sanggup cerita ke siapa pun tentang apa yang terjadi, bahkan ke Niria.
Gue kecewa banget sama diri gue sendiri, kayaknya belum siap buat bahas itu.
“Ayo, dong, Zielle. Apa pun yang terjadi, jangan biarin lo tumbang. Lawan, oke?” katanya sambil usap pipi gue.
“Gue enggak mau.”
“Ayo, kita beli es krim, coba aja, ya?”
Mata indahnya kayak minta banget gue jawab “iya,” dan gue enggak bisa menolak.
Dia benar, yang sudah terjadi… ya terjadi. Gue enggak bisa berbuat apa pun buat balik ke masa lalu.
Gori kasih tangannya ke gue. “Yuk, cabut?”
Gue senyum dan genggam tangannya. “Yuk.”
Kita jalan cari es krim terus duduk di taman kota. Cuacanya lagi indah banget. Walaupun sudah lewat dari jam empat, matahari masih bersinar seperti tengah hari.
“Lo ingat, enggak, dulu kita sering ke sini tiap sore habis sekolah waktu SD?"
Gue senyum kalau ingat masa-masa itu. “Iya, kita sampai akrab banget sama ibu yang jualan gulali di sini.”
“Terus dia suka kasih gulali gratis.”
Gue ketawa ingat pipi kita yang berlepotan penuh gulali. Gori ketawa bareng gue. “Nah gitu dong, lo kelihatan makin cantik kalau senyum.”
Gue angkat alis. “Jadi, lo ngakuin kalau gue cantik?”
“Setengah ragu, mungkin kalau gue udah mabuk beberapa gelas, gue bakal coba deketin lo.”
“Cuma kalau pas lagi enggak sadar doang? Shh!!”
“Eh, Niria mana ya? Gue enggak lihat dia di sekolah,” katanya sambil menyendok es krimnya.
“Ya, dia udah dua hari enggak masuk. Dia lagi bantuin nyokapnya ngerjain proyek di Butik.”
Nyokap-nya Niria punya Butik model yang terkenal.
“Baru seminggu sekolah mulai, dan dia udah nggak masuk, Niria banget.”
“Untungnya dia pinter, bisa ngejar ketinggalan.”
“Iya sih.”
Sambil jilat es krim, gue lihat Gori menunggu gue ngomong sesuatu, kayak ada yang ingin dia dengar.
“Zie, lo tahu, kan kalau lo bisa percaya sama gue?” tanyanya dan gue sudah tahu ke mana arah omongannya. “Lo enggak harus ngelewatin ini sendirian.”
Gue hembuskan napas pelan dengan rasa sedih.
“Iya, gue tahu. Cuma... gue kecewa banget sama diri gue sendiri, sampai gue enggak mau ngecewain orang lain.”
“Lo enggak akan pernah ngecewain gue.”
“Jangan terlalu yakin.”
Dia lihat gue dengan tatapan penuh harap. “Percaya, deh, mungkin kalau lo cerita bakal bikin lo ngerasa lebih plong.”
Gue pikir akan lebih baik ngomongnya langsung, enggak pakai basa-basi. “Gue kehilangan keperawanan gue.”
Gori hampir menyemburkan es krimnya ke muka gue. Dia shock.
“Apa? Lo bercanda, kan?”
Gue cuman melipat bibir. “Enggak.”
Raut wajahnya berubah, sulit ditebak. “Kok, bisa? Kapan? Sama siapa? Sialan, Zielle!” Dia berdiri dan buang es krimnya ke samping. “Berengsek!”
Gue ikut berdiri, coba menenangkan dia karena orang-orang mulai memperhatikan kita. “Gori, tenang dulu.”
“Sama siapa?” Mukanya merah, kelihatan marah banget, dan dia pegang lengan gue. “Lo bahkan enggak punya pacar. Bilang siapa orangnya!”
Gue melepaskan diri dari genggamannya. “Tenang, dong!”
Gori meremas rambutnya sambil kasih punggung ke gue, terus menendang tempat sampah.
Oke, ini bukan reaksi yang gue harapkan. “Gori, lo lebay. Tenang.”
Dia merapikan mukanya dengan tangan, terus berbalik menatap gue.
“Kasih tahu gue siapa orangnya, biar gue hajar dia.”
“Ini bukan saatnya lo jadi kakak yang overprotective.”
Dia ketawa pahit. “Kakak? Lo kira ini reaksi seorang kakak? Lo benar-benar buta, ya.”
“Apaan sih lo?”
“Lo buta,” bisiknya pelan. “Gue butuh cari angin, gue pergi dulu.”
Dia langsung cabut begitu saja, meninggalkan gue tanpa kata-kata. Es krim gue mulai meleleh, menetes ke tanah. Gue cuman bisa mengelus dada, mengeluh dalam hati.
Apa, sih, yang barusan terjadi?
Sambil ngedumel, gue balik ke rumah.
...***...
Sabtu, waktunya bersih-bersih.
Sambil mengomel, gue jalankan daftar tugas yang nyokap gue kasih. Sudah hampir semuanya kelar, tinggal kamar gue doang.
Gue nyalakan komputer dan pasang musik biar semangat beres-beres. Buka Instagram dulu, terus gue biarkan saja terbuka. Karena sekarang, gara-gara enggak punya HP, Instagram jadi satu-satunya alat komunikasi gue.
Gue lagi dengarkan, Sudden Shower dari Eclipse sambil beresin kamar. Gue ambil mouse komputer dan pakai itu sebagai mic buat nyanyi. “Geudaeneun seonmul-ibnida, haneul-i naelyeojun. hollo seon sesang sog-e geudael jikyeojulgeyo...”
Anoi, anjing gue, memiringkan kepalanya sambil memperhatikan gue.
Gue jongkok di depan dia dan lanjutkan lagunya langsung ke mukanya.
Tiba-tiba sepatu sampai di kepala gue. “Gila!” Nyokap teriak dari pintu.
“Auw! Mama!”
“Pantesan lama banget beresin kamar, lihat, anjingnya sampai trauma.”
“Mama tuh selalu ganggu inspirasi Zielle, deh.” Gue merengut sambil berdiri. “Anoi senang, kok, dengar suara Zielle.”
Nyokap melirik. “Buruan, ambil cucian kotornya, bawa ke bawah. Mau mama cuci sekarang,” katanya sambil pergi.
Bibir gue memanjang, melihat Anoi. “Dia enggak bisa ngelihat bakat gue, Noi.”
“Zielle, sepatunya jangan lupa, lho!” Nyokap teriak dari tangga.
“Iyaaa, iya, ini turun!”
Habis kasih cucian kotor dan beresin kamar, gue duduk depan komputer. Buka DM dan kaget lihat ada dua pesan dari dua orang. Satu dari Niria, satu lagi dari Anan Batari.
Gue kedipkan mata berkali-kali, mengecek namanya. Gue sama dia enggak berteman di Instagram, tapi dia tetap bisa kirim pesan ke gue.
Bodohnya, jantung gue langsung berdebar kencang dan perut gue kayak dipenuhi mawar.
Gila, dia masih saja bisa bikin gue begini meski setelah kejadian itu.
Dengan tangan gemetaran, gue buka pesannya.
...Penyihir......
Serius?
Siapa coba yang buka percakapan kayak begitu?
Cuma dia.
Penasaran mau tahu apa yang mau dia bilang, gue balas singkat. Gue ketik, “Apa?”
Dia balasnya agak lama, dan gue makin gelisah.
“Kapan-kapan mampir ke rumah gue.”
Pingin banget gue balas, “Supaya lo bisa manfaatin gue lagi? Enggak, makasih.” Tapi gue tahan, enggak mau dia tahu betapa gue terluka karena dia.
^^^Gue: Lo gila, ya. Kenapa gue harus ke sana?^^^
Anan: Ada barang lo ketinggalan di sini.
^^^Gue: Gue udah bilang kan, gue enggak mau handphone-nya.^^^
Terus, dia kirim foto.
Gue buka fotonya, dan ternyata itu foto tangan dia lagi pegang kalung perak yang nyokap gue kasih waktu gue umur sembilan tahun. Kalung itu ada liontin nama gue. Secara refleks, tangan gue naik ke leher buat mengecek, dan ternyata benaran enggak ada.
Gue enggak sadar sampai sekarang, mungkin gara-gara gue terlalu sibuk galau setelah kejadian itu.
Antara kesal dan... ya, ada sedikit rasa deg-degan juga membayangkan untuk ketemu Anan lagi. Tapi, gue harus tetap jaga diri.
^^^Gue: Titipin aja ke Asta, Senin di sekolah.^^^
Anan: Takut ketemu gue, ya?
^^^Gue: Gue enggak mau ketemu lo.^^^
Anan: Bohong.
^^^Gue: Terserah lo deh.^^^
Anan: Kenapa lo marah?
^^^Gue: Dan lo masih nanya juga? Udah deh, titip aja ke Asta, terus biarin gue tenang.^^^
Anan: Gue enggak ngerti kenapa lo marah. Kita berdua tahu, kan, lo suka banget. Gue masih ingat suara lo, jelas banget.
Muka gue langsung panas, malu sendiri. Padahal dia enggak bisa lihat ekspresi gue sekarang.
^^^Gue: Anan, udah. Gue enggak mau ngomong sama lo.^^^
Anan: Lo bakal balik ke gue lagi, Penyihir.
Gue merasa merinding campur... ah, enggak, Zielle, jangan terpengaruh.
Gue enggak balas lagi, biarkan saja. Tapi dia balas lagi.
Anan: Kalau lo mau kalung lo, ambil aja sendiri ke sini. Gue enggak bakal titipin ke siapa-siapa. Gue tunggu. Bye.
Dasar brengsek!
Gue mengomel frustrasi. Kalau nyokap sampai tahu gue kehilangan kalung itu, habis gue.
Habis mandi, gue pakai baju bermotif bunga, terus siap-siap buat ambil kalung itu.
Rencana gue kali ini jelas, enggak bakal terjebak dalam permainan dia, dan enggak bakal masuk ke rumahnya.
Gue bakal tunggu di luar sampai dia kasih kalungnya.