NovelToon NovelToon
Lezatnya Dunia Ini

Lezatnya Dunia Ini

Status: sedang berlangsung
Genre:Teen / Spiritual / Keluarga / Slice of Life / Menjadi Pengusaha
Popularitas:4.2k
Nilai: 5
Nama Author: Esa

Diceritakan seorang pemulung bernama Jengkok bersama istrinya bernama Slumbat, dan anak mereka yang masih kecil bernama Gobed. Keluarga itu sudah bertahun-tahun hidup miskin dan menderita, mereka ingin hidup bahagia dengan memiliki uang banyak dan menjadi orang kaya serta seolah-olah dunia ini ingin mereka miliki, dengan apapun caranya yang penting bisa mereka wujudkan.
Yuk simak ceritanya..

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Esa, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Rezeki Tak Terduga

Gobed berjalan pulang dari sekolah dengan langkah pelan. Sepatu usangnya hampir jebol, solnya menganga di ujung kaki, dan tali sepatunya nyaris putus. Setiap kali ia mengangkat kakinya, sepatu itu menimbulkan bunyi ‘klek-klek’ yang semakin memperlihatkan betapa renta alas kaki itu. Tasnya yang sudah penuh tambalan bergoyang di punggungnya, berisi buku-buku yang sebagian besar sudah mulai robek karena sering terkena hujan.

Jalan yang dilalui Gobed bukan jalan yang ramai. Hanya ada beberapa rumah kecil yang berjajar di sepanjang jalan itu, sebagian besar tampak tua dan sudah usang, persis seperti kondisi keluarganya. Pikirannya melayang ke kejadian di rumahnya semalam. Pocongan itu memang menakutkan, tapi yang lebih menakutkan lagi bagi Gobed adalah kenyataan bahwa keluarganya sangat miskin. Mereka sering kali tidak punya cukup makanan untuk makan tiga kali sehari. Hari itu, mereka bahkan tidak sarapan sama sekali karena ayahnya, Jengkok, tidak berhasil menemukan barang bekas untuk dijual.

Gobed menghela napas panjang. Perutnya yang keroncongan semakin terasa nyeri. Ia mencoba mengabaikan rasa laparnya dengan melangkah lebih cepat, tapi kakinya mulai sakit karena sepatunya yang hampir tak berfungsi lagi.

Di tengah perjalanan, tiba-tiba matanya menangkap sesuatu di tepi jalan. Ia berhenti dan membungkuk, melihat lebih dekat apa yang baru saja ia temukan. Gobed terkejut, matanya membesar seolah tak percaya dengan apa yang dilihatnya. Di depan kakinya, tergeletak uang kertas. Dengan tangan gemetar, ia memungutnya.

"Astaga… lima puluh ribu!" bisiknya pelan, suaranya hampir tak terdengar. Matanya masih terpaku pada uang itu, seakan-akan ia tak berani mempercayainya. Ia memutar uang itu di tangannya, memastikan bahwa itu bukan mimpi.

Lima puluh ribu. Jumlah uang yang begitu besar bagi Gobed. Dengan uang sebanyak itu, keluarganya bisa membeli nasi dan lauk untuk beberapa hari. Gobed tidak bisa menahan perasaan harunya yang mulai membanjiri dadanya. Air matanya perlahan jatuh membasahi pipinya, dan tanpa bisa mengontrol dirinya, ia jatuh berlutut di tepi jalan.

"Sujud syukur…" bisiknya pelan, air matanya semakin deras mengalir. "Terima kasih, Tuhan. Terima kasih…"

Gobed menangis, tangisnya semakin lama semakin keras. Ia merasa seperti anak yang paling beruntung di dunia, tetapi di saat yang sama, ia juga merasa sangat sedih. Betapa sulitnya hidup mereka hingga menemukan uang lima puluh ribu saja sudah seperti menemukan harta karun yang tak ternilai harganya. Sambil memegang uang itu erat-erat di dadanya, ia terus menangis, rasa syukur dan kesedihan bercampur aduk dalam hatinya.

Ia teringat ibunya, Slumbat, yang tadi pagi terlihat sangat lemah karena tidak makan. Dan ayahnya, Jengkok, yang berjuang setiap hari mencari barang bekas untuk dijual, namun sering pulang dengan tangan kosong. Gobed ingin sekali memberikan uang itu kepada mereka, melihat senyum di wajah mereka setelah berhari-hari diliputi rasa putus asa.

“Ini seperti mukjizat, Tuhan…” ucap Gobed sambil terisak. Ia teringat cerita yang sering diceritakan ibunya tentang Tuhan yang selalu punya cara untuk membantu mereka yang kesulitan, dan hari ini, Gobed merasakan hal itu secara langsung.

Namun, di balik rasa syukurnya, ada perasaan sedih yang mendalam. Ia masih anak kecil, tapi sudah merasakan betapa beratnya hidup. Anak-anak seusianya mungkin sedang bermain atau menikmati jajanan, tapi Gobed memikirkan bagaimana keluarganya bisa makan hari ini.

Dengan air mata masih membasahi wajahnya, Gobed akhirnya berdiri. Ia memandang uang di tangannya untuk terakhir kalinya sebelum memasukkannya ke dalam saku. Langkahnya terasa lebih ringan, meski sepatu yang dipakainya masih sama rusaknya. Di dalam hati, ia berjanji akan memberikan uang itu langsung kepada ibunya ketika sampai di rumah.

Langit semakin mendung saat Gobed melanjutkan perjalanan. Hujan mulai turun, tapi Gobed tidak peduli. Tidak ada yang bisa mengalahkan rasa bahagianya saat itu. Meski air hujan membuat seragamnya basah, tapi senyum di wajahnya tidak pudar.

Ketika Gobed sampai di rumah, ia melihat ibunya sedang duduk di depan pintu, dengan wajah yang tampak lesu. Ibunya tersenyum kecil ketika melihat anaknya pulang, tapi Gobed tahu senyum itu adalah upaya untuk menyembunyikan kesedihan yang sebenarnya.

"Ibu, lihat!" seru Gobed sambil berlari mendekat. Ia merogoh sakunya dan mengeluarkan uang lima puluh ribu itu. "Aku menemukan ini di jalan!"

Slumbat terdiam, matanya membesar saat melihat uang di tangan Gobed. "Astaga… Gobed, kamu… kamu dapat dari mana?"

“Di jalan, Bu! Ini rezeki kita. Sekarang kita bisa makan!” jawab Gobed dengan suara penuh semangat.

Air mata langsung menggenang di mata Slumbat. Ia memandang uang itu dengan tatapan penuh haru, lalu menarik Gobed ke dalam pelukan erat. "Terima kasih, Tuhan… Terima kasih," gumamnya dengan suara serak.

Mendengar suara ribut di luar, Jengkok keluar dari dalam rumah. Ketika melihat apa yang terjadi, ia terkejut melihat Slumbat menangis sambil memeluk Gobed, sementara uang lima puluh ribu tergeletak di tangan istrinya.

"Apa yang terjadi?" tanya Jengkok, bingung.

Gobed menoleh ke arah ayahnya dengan senyum lebar. “Pak, aku menemukan uang di jalan! Lima puluh ribu!”

Jengkok mendekat, dan saat ia melihat uang itu, wajahnya berubah dari bingung menjadi penuh syukur. Ia mengangguk perlahan, kemudian menunduk dan menepuk kepala Gobed dengan lembut. "Kamu hebat, Nak. Tuhan tahu kita butuh pertolongan.”

Malam itu, untuk pertama kalinya dalam beberapa hari, keluarga kecil itu bisa makan dengan tenang. Mereka duduk di meja makan yang sederhana, berbagi nasi, lauk, dan mendoan yang dibeli dari warung terdekat. Meski hanya makanan sederhana, tapi bagi mereka itu adalah pesta besar. Gobed, Slumbat, dan Jengkok makan dengan perasaan syukur yang mendalam.

Gobed duduk di sana, memandangi kedua orang tuanya yang tersenyum untuk pertama kalinya dalam waktu yang lama. Di dalam hatinya, Gobed tahu bahwa meski hidup mereka penuh kesulitan, selalu ada harapan, dan selalu ada mukjizat kecil yang datang di saat-saat paling tidak terduga.

Malam semakin larut. Suara jangkrik terdengar nyaring di luar rumah, sementara angin malam berhembus lembut melalui celah-celah dinding bambu yang sudah mulai rapuh. Di dalam rumah kecil itu, suasana terasa lebih tenang setelah makan malam yang sederhana namun berarti bagi keluarga Jengkok. Gobed, yang kelelahan setelah hari yang panjang, memutuskan untuk tidur lebih dulu. Dengan perut kenyang, ia merebahkan tubuh kecilnya di atas tikar tipis yang sudah lusuh. Hanya dalam beberapa menit, napasnya sudah terdengar teratur, tanda bahwa ia sudah tenggelam dalam tidur lelap.

Di ruangan lain, Jengkok dan Slumbat masih duduk di meja makan. Sisa-sisa mendoan dan nasi yang mereka beli tadi masih tersisa sedikit di piring. Mereka berdua terdiam sejenak, hanya memandang piring-piring itu dengan tatapan yang penuh pikiran. Malam ini, berbeda dari malam-malam sebelumnya, ada sedikit kelegaan di hati mereka. Namun, di balik itu, perasaan yang tidak bisa dijelaskan juga muncul, campuran antara syukur, khawatir, dan sedih.

Slumbat akhirnya memecah keheningan. "Pak, aku masih gak percaya Gobed bisa nemuin uang sebanyak itu di jalan. Seperti mimpi aja rasanya."

Jengkok mengangguk pelan, wajahnya masih serius. "Iya, Bu. Aku juga. Anak kita memang beruntung. Kalau gak ada uang itu, kita mungkin masih kelaparan sekarang."

Slumbat menatap suaminya dengan mata yang sedikit berkaca-kaca. "Tapi, Pak, aku gak bisa nahan perasaan sedih ini. Cuma karena nemuin uang lima puluh ribu, kita semua bisa makan. Kita sampai harus nunggu mukjizat kaya gini buat bisa bertahan hidup."

Jengkok menarik napas panjang. Dalam diam, ia merasakan apa yang istrinya rasakan. Mereka telah berjuang begitu lama, mencoba bertahan dengan apa pun yang mereka bisa dapatkan, namun hidup mereka tetap terasa seperti berada di ujung tanduk setiap harinya.

"Aku ngerti, Bu. Aku ngerti," jawab Jengkok akhirnya, suaranya serak. "Kita sudah mencoba segala cara, tapi tetap aja susah. Aku juga merasa gagal sebagai kepala keluarga."

Slumbat menggelengkan kepalanya, mencoba menenangkan suaminya. "Pak, jangan bilang gitu. Kamu udah berusaha sebaik mungkin. Aku tahu itu. Setiap hari kamu keluar, ngumpulin barang bekas, bahkan kadang sampai gak tidur demi nyari apa aja yang bisa kita jual. Tapi hidup memang begini buat kita."

Jengkok menunduk, memandang kedua tangannya yang kasar dan penuh bekas luka. Tangan-tangan itulah yang telah berusaha keras untuk mencukupi kebutuhan keluarga, namun tetap saja hasilnya seringkali jauh dari cukup. "Tapi, Bu... aku merasa Gobed gak seharusnya hidup seperti ini. Dia masih anak-anak, tapi dia udah tahu betapa beratnya hidup. Aku takut, Bu. Aku takut kalau dia terus hidup dalam kesulitan, dia gak akan punya masa depan yang lebih baik."

Air mata mulai mengalir di pipi Slumbat. Ia tahu betul bahwa suaminya selalu merasa bertanggung jawab atas semua yang terjadi pada keluarga mereka. Tapi, di sisi lain, ia juga merasakan ketidakberdayaan yang sama. "Aku juga mikirin itu, Pak. Gobed masih kecil, tapi dia udah ngerasain lapar, ngerasain kesulitan yang mungkin gak dirasain sama anak-anak lain. Tapi kita gak punya pilihan lain, kan? Kita cuma bisa terus berusaha."

Jengkok menggenggam tangan Slumbat, mencoba menenangkan istrinya meski hatinya sendiri penuh dengan keraguan. "Iya, Bu. Kita harus kuat. Demi Gobed, demi masa depannya. Mungkin hari ini kita beruntung, tapi kita gak bisa terus berharap pada keberuntungan. Kita harus cari cara lain."

Slumbat menatap suaminya dengan mata yang masih basah, tapi ada sedikit harapan yang muncul di sana. "Apa kita harus coba hal lain, Pak? Mungkin... mungkin kita bisa mulai usaha kecil-kecilan. Apa aja, asal kita bisa nambah penghasilan."

Jengkok terdiam sejenak, merenungkan kata-kata istrinya. Pikiran untuk memulai sesuatu yang baru terasa menakutkan, tapi di sisi lain, itu juga mungkin satu-satunya jalan keluar dari kemiskinan yang membelenggu mereka.

"Aku akan coba pikirkan, Bu. Tapi kita harus realistis juga. Kita butuh modal, dan kita hampir gak punya apa-apa," jawab Jengkok dengan suara pelan, seolah tak ingin memadamkan secercah harapan yang baru saja muncul di mata istrinya.

Slumbat mengangguk, meski di dalam hatinya masih ada kekhawatiran. Mereka tahu bahwa tanpa modal, memulai usaha baru hampir mustahil. Tapi, mereka juga tahu bahwa menyerah bukanlah pilihan. Meski sulit, mereka harus terus mencari cara untuk keluar dari lingkaran kemiskinan ini, demi masa depan Gobed.

Malam itu, setelah percakapan panjang yang penuh dengan perasaan campur aduk, Jengkok dan Slumbat akhirnya memutuskan untuk tidur. Namun, sebelum mereka masuk ke kamar, Jengkok mengambil satu keputusan penting dalam hatinya: esok hari, ia akan mencari cara, bagaimanapun caranya, untuk mengubah nasib keluarganya.

Mereka berdua berjalan pelan menuju kamar Gobed, di mana anak mereka sudah tertidur dengan tenang. Melihat wajah Gobed yang damai dalam tidurnya, Slumbat merasa seolah beban di pundaknya sedikit berkurang. Ia menunduk dan mencium kening anaknya dengan lembut, kemudian berbisik, "Tidur yang nyenyak, Nak. Ibu dan Bapak akan terus berjuang untukmu."

Jengkok memandang pemandangan itu dengan hati yang penuh haru. Di dalam kesunyian malam, ia merasakan kehangatan yang aneh, meski mereka tahu bahwa hari esok mungkin akan kembali membawa kesulitan. Tapi malam ini, mereka merasa lebih kuat, lebih siap untuk menghadapi apapun yang datang.

Dengan perasaan sedikit lebih ringan, Jengkok dan Slumbat berbaring di samping Gobed, dan meski pikiran mereka masih dipenuhi berbagai kekhawatiran, mereka akhirnya bisa tidur dengan sedikit lebih tenang, berharap esok hari akan membawa angin perubahan bagi keluarga kecil mereka.

1
ℨ𝔞𝔦𝔫𝔦 𝔞𝔫𝔴𝔞𝔯
dapat inspirasi di mana nama unik begitu wkwk
DJ. Esa Sandi S.: oke gas brow
ℨ𝔞𝔦𝔫𝔦 𝔞𝔫𝔴𝔞𝔯: follow sampeyan di follback gak nih?
total 3 replies
anggita
like👍+☝hadiah iklan. moga novel ini sukses.
DJ. Esa Sandi S.: makasih Anggita,, moga kamu juga sukses ya/Smile/
total 1 replies
anggita
Jengkok, Slumbat, Gobed...🤔
DJ. Esa Sandi S.: hehehe iya, tau gak artinya?
total 1 replies
Princes Family
semangat kak..
DJ. Esa Sandi S.: makasih ya dek , sukses kembali untukmu ya /Drool/
total 1 replies
Maito
Bahasanya mudah dipahami dan dialognya bikin aku merasa ikut dalam ceritanya.
DJ. Esa Sandi S.: terimakasih suportnya ya 🤗. semoga kamu sukses selalu ya
total 1 replies
Gemma
Terjebak dalam cerita.
DJ. Esa Sandi S.: hehehe . thanks
total 1 replies
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!