Kisah berawal dari gadis bernama Inara Nuha kelas 10 SMA yang memiliki kutukan tidak bisa berteman dengan siapapun karena dia memiliki jarum tajam di dalam hatinya yang akan menusuk siapapun yang mau berteman dengannya.
Kutukan itu ada kaitannya dengan masa lalu ayahnya. Sehingga, kisah ayahnya juga akan ada di kisah "hidupku seperti dongeng."
Kemudian, dia bertemu dengan seorang mahasiswa yang banyak menyimpan teka-tekinya di dalam kehidupannya. Mahasiswa itu juga memiliki masa lalu kelam yang kisahnya juga seperti dongeng. Kehadirannya banyak memberikan perubahan pada diri Inara Nuha.
Inara Nuha juga bertemu dengan empat gadis yang hidupnya juga seperti dongeng. Mereka akhirnya menjalin persahabatan.
Perjalanan hidup Inara Nuha tidak bisa indah sebab kutukan yang dia bawa. Meski begitu, dia punya tekad dan keteguhan hati supaya hidupnya bisa berakhir bahagia.
Inara Nuha akan berjumpa dengan banyak karakter di kisah ini untuk membantu menumbuhkan karakter bagi Nuha sendiri.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Umi Nurhuda, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 8 Hidupku Seperti Dongeng
Sifa melirik dengan penuh semangat...
"Guys! Kalian tahu tentang Dilan Diantoro, kan? Dia yang dijuluki The Beast itu. Semua orang bilang dia penguasa sejagat sekolah!"
Asa mengangkat alis, terlihat skeptis. "Siapa juga peduli sama cowok kaya gitu? Dia itu sadis dan suka gonta-ganti pacar. Gak ada yang menarik dari dia."
Sifa tidak terpengaruh. "Tapi, denger-denger dia bikin kontrak pacaran cuma satu bulan! Coba bayangkan, kita bisa ikut! Kita harus coba, Nuha! Fani!"
Fani menatap Sifa dengan ragu. "Sifa, kenapa kamu begitu tertarik sama dia? Lagipula, kita harus lebih fokus sama diri sendiri, bukan sama cowok-cowok itu."
"Nah tu Fani tau," sahut Asa.
Sifa tersenyum lebar. "Kamu kan tahu, Fani! Ini bukan sekadar soal cowok, ini tentang kesempatan! Kalau kita nggak dapat kesempatan bulan ini, mungkin bulan depan bisa ada lagi!" Sifa menggerakkan dua alisnya kepada Nuha.
"Eh?" Nuha hanya bisa tersentak.
Asa menyenggol Fani dengan cepat. "Fani, lebih baik kita bicarakan hal lain. Bantu gue mengalihkan perhatiannya."
Fani mengangguk antusias. "Eh, iya! Nuha, mau lihat aku berenang, gak?"
Nuha tampak tertarik. "Berenang? Hmm, sepertinya menarik. Boleh."
Sifa merasa diabaikan dan cemberut. "Hei, guys, dengerin gue dulu! Gue sedang membicarakan Dilan di sini! Jangan mengabaikanku."
Asa melipat tangannya. "Elo bicarakan cowok sama orang lain sonoh. Jangan sama kita. Lagipula, menurut gue cowok itu sombong dan egois."
Sifa tidak menyerah. "Elo ini kok anti banget sama cowok kenapa sih? Apa ada yang membuatmu trauma?"
Asa terdiam, wajahnya tiba-tiba berubah. Dia menunduk, meremas ujung baju seragamnya dengan erat. "Gak, nggak ada apa-apa."
Sifa menyadari dia telah menyentuh luka yang dalam. Dia menatap Asa dengan penuh simpati tetapi tidak ingin mendesak lebih jauh. "Oke, nggak apa-apa. Tapi ingat, ada banyak hal menarik di sekolah ini, bukan hanya soal cowok."
Fani mengalihkan perhatian. "Tapi yang jelas, kita harus bersenang-senang. Aku akan tunjukin kolam renang yang ada di sekolah ini. Kolam renang yang jarang digunakan."
Jam pulang pun tiba. Fani mengajak ketiga sahabatnya menuju kolam renang. Tempat itu biasanya sepi kecuali saat jam olahraga, jadi suasananya pasti lebih tenang dan seru.
"Sepi banget", kata Asa.
"Karena tidak ada yang memakainya, Asa", jawab Fani santai.
"Iya, itu gue tahu, makanya kan sepi."
Sifa menyela, "Lah, udah tahu sepi ngapain ditanyai juga, embeeekk." Ketus sekali Sifa menanggapi jawaban Asa.
"Sensi banget sih elo," Asa melawan.
"Emang banget! Huh!"
Ibu Fani muncul untuk menyambut kedatangan teman-teman putrinya. Beliau memiliki aura yang mendebarkan. Tubuhnya tinggi, tegap, dengan rambut digelung yang memperlihatkan leher panjangnya. Pakaiannya serba hitam dengan apron berwarna abu-abu.
Ketiga sahabat Fani jadi kesulitan menelan ludah. Asa dan Sifa menjadi diam seribu bahasa. Fani berbicara, "Mama, izinkan teman-temanku bermain bersamaku."
"Baiklah. Mama akan ambilkan kalian minum." Jalannya begitu pelan dan anggun. Suaranya berat dan tanpa ekspresi.
Fani sedikit rendah diri karena memperkenalkan ibunya kepada sahabatnya. Namun, dia sudah terbiasa akan hal itu. Dia sudah biasa mendapati teman-temannya ketakutan dan menghindarinya.
"Kalian takut sama Mama, ya?" tanya Fani.
"Hehe, sedikit," balas Asa. Namun, Sifa melanjutkan, "Tenang saja, Fani, kita gak akan kabur kok. Kita kan bestie."
"Iya," Nuha setuju.
Fani tersenyum bahagia. "Terima kasih, teman-teman."
Nuha melihat bayangan dirinya terpantul di air kolam renang. Baru pertama kali dia melihat kolam renang sedekat itu. Ada perasaan aneh tiba-tiba muncul di benaknya.
"Nuha, apa kamu juga ingin ikut berenang?" tanya Fani yang melihat Nuha sejenak melamun.
Mendengar pertanyaan itu, Nuha hanya menggeleng dan tidak menoleh ke arah Fani.
"Ya sudah. Aku dan Asa akan mencoba masuk ke dalam air sekarang ya," kata Fani.
Nuha masih memikirkan kerisauan di dalam hatinya. Dia bingung, "Perasaan khawatir apa ini?"
Air kolam yang biru dan jernih. Fani berenang dengan sangat tenang seperti seekor ikan di dalam laut, sedangkan Asa masih mencoba melayangkan tubuhnya dengan berpegangan pada tepian kolam. Kakinya berayun untuk membuat keseimbangan.
Nuha masih termenung. Suasana itu, perlahan berubah menjadi suasana yang berbeda. Nuha terbuai. Pupil matanya melebar, dan pandangannya penuh dengan bayang-bayang.
"Apa ini?" keluhnya merasa lemah.
Kabut mulai menyelimuti dan mengaburkan pandangannya. Bayangan ayahnya pun muncul.
"Nuha, kamu harus terus bahagia," kata ayah dalam bayangan tersebut.
"Ayah?"
Lalu bayangan seorang nenek tua yang tubuhnya sudah membungkuk muncul. Nenek itu berkata, "Tukarkan nyawamu demi kebahagiaan putrimu."
"Tukar?" tanya Nuha tidak mengerti.
"Tukarkan nyawamu demi kebahagiaan putrimu," ucap nenek tua itu sekali lagi.
Nuha tidak mengerti. Dia melangkah mundur karena merasa takut. Tiba-tiba, air kolam meluap dan membasahi telapak kakinya. "Apa itu? Apa ini?" ucapnya gemetaran.
Luapan air mulai tidak terkendali dan terus meninggi seolah hendak menenggelamkan seluruh tubuh Nuha. Nuha serasa tercekik dan kesulitan bernapas. Dia ingin berteriak. Dia mulai berteriak.
Tapi, bukan Nuha yang berteriak, melainkan Sifa yang berteriak kencang.
"AAAAAAA!" Teriakan Sifa menyadarkan semuanya. Nuha tersadarkan, dan Fani langsung keluar dari dalam air.
"Sifa! Elo kenapa?!" balas Asa dengan galak.
"Gue mati. Gue mati. Tidak!! Ayo pake live lagi, ayo pake live lagi. Gue gak boleh mati!"
Sifa malah heboh sendiri dengan gadgetnya. Dia tidak merasa bersalah telah mengagetkan ketiga sahabatnya. "Fiuuh, akhirnya gue masih bisa hidup," lanjutnya sambil mengambil napas lega.
Asa yang melihat tingkah Sifa menjadi geram. "Akan gue pukul kepalanya!!"
"Eh?" Sifa malah cengoh.
Ibu Fani muncul dan berjalan perlahan menuju tempat Nuha berada. Melihat kehadiran Ibu Fani, Nuha sedikit menelan ludah. Dia berusaha berani menyambut kedatangan Ibu Fani tersebut.
"Kamu memiliki banyak jarum tajam di dalam hatimu. Dan kamu tidak akan bisa menyembuhkannya."
Nuha sedikit ketakutan. Suara itu benar-benar tidak ada intonasinya. Sangat dalam dan menakutkan.
"Kecuali..." lanjutnya.
"Ke- kecuali?" Nuha mencoba bertanya.
"Kecuali..." Ibu Fani mendekatkan wajahnya ke Nuha, mata mereka bertemu, membuat ketegangan semakin intens.
Tiba-tiba, seekor kucing masuk ke dalam ruangan, mengalihkan perhatian semua orang. Ibu Fani, yang biasanya terlihat sangat tegas, tiba-tiba berubah drastis.
"Ku- kucing!! Uwaa lucu banget!!" Ibu Fani berteriak histeris, suaranya melengking dengan nada yang sangat berbeda dari sebelumnya.
Beliau langsung berlari mendekati kucing itu dan memeluknya dengan gemas. Tingkah Ibu Fani yang berubah drastis langsung membuat ketiga gadis itu tercengang tak percaya. Suasana tegang seketika berubah menjadi keanehan yang lucu.
Nuha jatuh bersimpuh, seolah raganya melemah karena sesuatu yang sangat mengejutkan. Seperti terkena serangan jantung, Nuha meringkuk kesakitan.
"Menukar nyawa? Berkorban? Inikah yang ayah maksud? Ayah harus berkorban nyawa, demi aku? Kenapa? Untuk apa?"
masih panjang kak perjalanannya ✍✍