Rain, gadis paling gila yang pernah ada di dunia. Sulit membayangkan, bagaimana bisa ia mencintai hantu. Rain sadar, hal itu sangat aneh bahkan sangat gila. Namun, Rain tidak dapat menyangkal perasaannya.
Namun, ternyata ada sesuatu yang Rain lupakan. Sesuatu yang membuatnya harus melihat Ghio.
Lalu, apa fakta yang Rain lupakan? Dan, apakah perasaannya dapat dibenarkan? bisa kah Rain hidup bersama dengannya seperti hidup manusia pada umumnya?
Rain hanya bisa berharap.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon H_L, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Jika Ini Mimpi, Aku Tak Ingin Bangun
Sejak menghilangnya Ghio dua hari yang lalu, pria itu tidak lagi pernah muncul di hadapan Rain. Rain uring-uringan setiap hari. Ia tidak nafsu makan, tidur hanya sedikit, dan hanya melamun setiap saat.
"Lo kelihatan gak sehat, Rain."
"Iya. Lo begadang, ya?"
Ini hari ketiga Ghio tidak menampakkan diri. Ia hilang bagai ditelan bumi dan tak ada tanda-tanda kehadirannya.
Selama tiga hari ini juga, Rain merasa tidak bersemangat. Kehilangan Ghio seolah meninggalkan kekosongan di hati Rain.
Rain sudah menduga akan hal itu. Saat tahu kalau Ghio akan kembali kepada keluarganya, Rain akan merasa kehilangan. Dan sekarang, ia merasakan kehilangan itu. Padahal, Rain tidak tahu Ghio sudah kembali kepada orang tuanya atau benar-benar hilang dari dunia.
"Rain."
Rain menghela napas panjang. Makanan di depannya tidak disentuh sama sekali. Rain tahu teman-temannya terlihat khawatir melihat itu. Bahkan Willy ikut bersama mereka sekarang, menatap Rain dengan perasaan khawatir.
Tapi, Rain bisa apa? Ia benar-benar tidak memiliki gairah sekarang. Rain tidak bisa pura-pura ceria dan kuat di depan mereka.
Perginya Ghio seberpengaruh itu terhadap Rain.
"Gue antar ke UKS, Rain!"
Rain mengangkat wajahnya. "Gak usah, kak. Gue gak pa-pa."
"Cewek emang selalu ngomong gitu. Ga pa-pa, padahal kenapa-napa," bisik Taro.
Mina menyikut pinggang pria itu. "Diem. Cowok tahu apa?"
"Cowok dibawa-bawa," sahut Bonar dari samping Taro.
"Jangan mulai lagi, deh. Kalian bertiga akur sedikit, bisa, gak?" kata Rain memperingati.
Ketiga orang itu langsung saling merangkul satu sama lain. "Kita akur kok, Rain." kata Mina sambil tersenyum lebar.
Taro yang duduk di bagian tengah menghela napas susah. Tubuhnya dihimpit oleh kedua temannya itu. Tapi, ia tetap berusaha untuk tersenyum.
"Kita teman paling akur di dunia, betul tidak, Taro?" ucap Bonar.
Taro mengangguk dengan terpaksa.
Melihat ketiga orang itu, Rain hanya memutar mata. Willy disampingnya memperhatikan Rain kembali.
"Lo yakin gak pa-pa, Rain?" tanya Willy.
"Gak pa-pa, kak." kata Rain sambil memaksakan senyum. "Gue cuma kurang tidur."
"Pulang dari sini, Lo langsung istirahat, Rain. Kasihan kak Willy yang khawatir sama lo," ceplos Mina asal.
Willy tersenyum mendengar itu.
Sedangkan Taro dan Bonar menepuk kepala gadis itu bersamaan.
"Gak bener nih anak."
"Kau, siapa yang kau khawatirkan? Bang Willy atau Rain?"
Mina cengengesan.
"Gue langsung pulang kalau gitu," kata Rain.
"Gue antar."
"Gue bisa sendiri, kak," tolak Rain.
"Tapi, Rain-"
"Kak Willy aja yang nganter pulang, Rain. Jangan nakal. Kalo Lo kenapa-kenapa, gimana? Muka Lo pucat, tuh," desak Mina.
"Gue bawa motor."
Mina diam.
"Udah. Gue beneran gak pa-pa. Kalian gak usah khawatir, apalagi kak Willy. Makasih buat tawarannya, kak. Gue bisa puang sendiri, kok."
Willy menyerah dan memilih mengangguk. "Ya udah. Hati-hati."
Rain mengangguk. "Duluan, semuanya. Bye!" pamit Rain, lalu segera pergi dari sana.
"Rain gak peka banget, sih. Kasihan kak Willy." bisik Mina.
"Bang Willy aja yang gak peka." Taro ikut berbisik.
"Kenapa kau cakap gitu?"
"Jelas-jelas Rain menolak dengan halus. Dari sana bang Willy bisa tahu kalau Rain gak suka sama dia," bisik Taro.
"Gue duluan, guys," kata Willy, lalu pergi.
"Eh- iya, kak Willy."
"Kak Willy denger, loh."
"Gak mungkin. Aku aja susah dengar kau."
Sementara itu, Rain sama sekali tidak benar-benar pulang. Motornya berbalik arah dari jalur biasanya menuju kontrakan. Ia mengendarai motornya dengan kecepatan rata-rata.
Walaupun Rain terlihat lesu karena Ghio, ia tidak bisa terus diam dengan segala kekosongan hatinya. Bagaimana pun, Rain harus meyakinkan Gelora bahwa Ghio masih ada.
Sebenarnya, Rain sangat khawatir. Bahkan sangat-sangat khawatir. Rain. Takut terjadi sesuatu dengan Ghio. Namun, Rain tidak bisa melakukan apa pun. Ia tidak tahu harus mencari Ghio kemana. Jadi, untuk saat ini, Rain hanya bisa menemui Gelora sendirian.
Selama beberapa hari ini, Rain merindukan Ghio. Ia rindu saat pria itu memelas meminta makan. Ia rindu saat pria itu memarahinya saat pulang kelamaan. Rain rindu. Padahal, hanya tiga hari ia tidak melihat Ghio. Jika sesuatu yang buruk terjadi kepada Ghio, Rain tidak tahu lagi harus bagaimana.
Rain sadar, menghilangnya Ghio seolah membawa sebagian hatinya.
Rain tidak tahu sejak kapan ia merasa sebergantung itu dengan kehadiran Ghio.
"Kamu dimana, sih, Ghio?" lirih Rain disela-sela ia berkendara. Deru kendaraan di sekitarnya tidak memecah lamunannya. Ia berkendara dengan pikiran berkelana.
Rain tidak fokus, di depan menyala lampu merah. Ia yang berada di antara banyaknya motor tidak bisa menghindari kecelakaan.
Rain tersadar setelah beberapa saat, ia mengerem secara tiba-tiba dan mengalihkan stang ke arah samping. Alhasil Rain terjatuh di trotoar.
Sekejap, Rain merasakan tubuhnya lemas. Rain mendengarkan teriakan-teriakan dari sekelilingnya.
Rain menatap langit yang cerah. Pandangannya sedikit kabur.
"Hei! Kamu gak pa-pa?"
Rain masih mendengar keributan di sekitarnya. Lalu, ia melihat banyak orang berkerumun mengelilinginya.
Tiba-tiba saja kepala Rain terasa pusing. Rain memegang kedua kepalanya. Matanya terpejam, karena sakit yang terlalu di kepala.
"Rain!" Samar-samar, Rain mendengar suara berat. Suara yang sangat familiar. Suara Ghio.
"Hei, nak. Tolong, angkat dia! Angkat!"
"Berikan ruang. Hei! Jangan berkerumun seperti itu. kalian membuatnya susah bernafas."
"Jangan langsung angkat. Bahaya. Biarkan saja dulu."
Rain mendengarkan keributan itu. Tapi, pikirannya seolah membawanya ke sebuah tempat yang aneh. Rain seperti melihat sesuatu. Tapi, gelap. Rain tidak bisa melihatnya dengan jelas.
Kepala Rain seperti ditimpa besi dengan bertanya berton-ton. Seolah remuk. Rain merasakan sakit yang luar biasa.
Rain meringis kesakitan.
"Bertahan, Rain." lagi-lagi Rain mendengar suara berat itu. Suaranya seperti suara Ghio, namun sangat berat di telinga Rain.
"Rain."
"Ghio," lirih Rain sambil memegang kepalanya.
"Nak. Kamu baik-baik saja? Tolong panggil ambulance! Hei, kalian! Panggil ambulance!"
Rain mendengar teriakan itu. Matanya terbuka. Suasana ramai kembali dilihatnya. Orang-orang berkerumun mengelilinginya.
"Nak. Kamu bisa mendengar saya?" seorang pria paru baya berjongkok di samping Rain.
Rain mengangguk. Barusan apa yang ia lihat? Kepala Rain kembali baikan. Tadi, ia merasakan sakit yang luar biasa. Lalu, ia mendengar suara Ghio.
Rain langsung duduk dan melayangkan pandangan ke sekelilingnya.
"Hati-hati!" pria paru baya itu menopang tubuh Rain.
"Ghio?" lirih Rain.
"Kamu mencari siapa, nak?"
Rain menatap paru baya itu. Beberapa detik ia terdiam, hingga akhirnya ia sadar. Astaga. Gara-gara tak fokus berkendara, Rain malah terjatuh.
Rain segera menggeleng. "Gak, pak." kata Rain.
"Kamu gak kenapa-kenapa? Ada yang sakit? Kalian! Sudah panggil ambulance, belum?" pria itu berteriak.
Rain segera mencegat. "Gak usah, pak. Saya gak pa-pa. Sshhh..." Rain meringis tiba-tiba. Ia menatap telapak tangannya yang tergores, lalu sikunya juga terluka. Sepertinya tergores aspal.
Keramaian itu mulai bubar satu persatu.
"Tangan mu terluka, nak. Mari saya bantu berdiri." kata pria itu.
Rain menurut. Ia dibantu pria paruh baya itu, dan membawanya ke pinggir. Rain duduk di pinggir jalan. Satu orang segera memberikan air mineral.
"Cuci dulu lukanya, mbak!"
"Terima kasih!"
Rain menatap pria paruh baya yang tadi menolongnya. "Saya gak pa-pa, pak. Terima kasih sudah membantu."
"Obati lukamu lebih dulu, nak."
Rain mengangguk. "Iya, pak. Saya kebetulan mau ke rumah sakit. Saya akan berobat di sana."
Rain segera berdiri. Untung tidak ada luka parah di bagian tubuhnya. hanya siki dan telapak tangannya yang terluka gores.
"Lain kali kalau berkendara itu hati-hati, dek." ucap orang lain yang tak Rain kenal.
"Iya, pak. Maaf."
Rain berjalan ke motornya.
"Hati-hati, nak. Kamu masih bisa membawa motor dengan keadaan seperti ini?" pria paruh baya itu kembali meyakinkan Rain bahwa Rain tidak baik-baik saja.
"Cuma luka ringan, pak. Terima kasih." kata Rain seraya melemparkan senyum.
Setelah itu, walaupun harus menahan sakit, Rain segera tancap gas. Tujuannya adalah rumah sakit Bentara.
Setelah sampai, Rain berjalan ke meja Resepsionis.
"Ada yang bisa saya bantu?"
"Kenal Bu Gelora, mbak?" tanya Rain.
"Bu Gelora? Maksud mbak, Dokter Lora?"
Benar dugaan Rain. Mama Ghio ternyata seorang dokter. Rain segera mengangguk.
"Iya. Saya mau ketemu dokter Lora. Kalau boleh tahu ruangan beliau ada dimana?"
"Dokter Lora mungkin sedang menangani pasien. Beliau jarang di ruangannya."
Rain berpikir panjang. "Kalau gitu, bisa hubungi beliau?"
Resepsionis itu tersenyum mengangguk. "Atas nama siapa, mbak? Dan ada keperluan apa?"
"Bilang saja nama saya, mbak. Rain."
"Tunggu sebentar, mbak."
Rain menatap rumah sakit sekelilingnya. Rumah sakit ini sangat besar. Tidak diragukan lagi kenapa keluarga Ghio sekaya itu.
"Dokter. Ada gadis atas nama Rain mencari anda... Baik... Baik, dok." Resepsionis itu meletakkan telepon. "Silahkan menunggu, mbak. Dokter Lora akan segera datang."
"Terima kasih." Rain tersenyum sekilas, lalu duduk di kursi yang berjejer.
Rain menatap luka-lukanya. Gara-gara memikirkan Ghio, Rain malah terjatuh. Lagi pula, kenapa pria itu harus hilang? Membuat orang khawatir saja.
Pikiran Rain tertuju kembali kepada kejadian tadi. Rain tidak salah dengar. Ia benar-benar mendengar suara Ghio. Dan kata "Bertahanlah" membuat Rain merasa aneh. Tadi, Rain muncul sesuatu di kepala Rain. Sesuatu seperti ingatan kelam. Tapi, tak yakin pasti. Ingatan itu hanya sekilas, seperti bulu yang terbawa angin kencang. Hanya sebentar.
Dan lagi, Rain merasakan sakit kepala yang luar biasa. Ini yang ketiga kalinya.
Sebenarnya, apa itu semua? Mengapa Rain tidak dapat melihatnya dengan jelas?
"Rain?"
Panggilan itu langsung Menyandarkan Rain dari lamunannya.
"Tante Lora."
"Eh, tanganmu kenapa? Lho, kamu terluka? kenapa bisa begini?" tanya Lora bertubi-tubi.
Rain tersenyum kecil. "Hanya luka kecil, Tan. Saya terjatuh saat perjalanan ke sini."
"Astaga! Ayo ikut saya, biar saya obati."
Rain menurut. Ia mengikuti Gelora.
"Kenapa kamu sampai jatuh? Apa ada luka lain?" tanya Gelora disela-sela langkahnya.
"Gak ada, Tan. Tangan saya cuma lecet sedikit. Saya kurang fokus saat bawa motor."
Langkah Gelora langsung berhenti. Ia berbalik menghadap Rain.
"Kenapa, Tan?" tanya Rain, merasa aneh dengan tatapan Gelora.
Gelora menggigit bibir. "Enggak. Lain kali hati-hati. Membawa motor itu sangat berbahaya. Apalagi kamu perempuan," katanya. Lalu berbalik berjalan.
"Untung kamu tidak mengalami luka berat, Rain. Tapi, walupun luka-luka mu kecil, kamu jangan sepelekan."
Rain hanya diam. Tidak tahu apa yang ada di pikiran Gelora. Tapi, sepertinya wanita itu tidak baik-baik saja.
"Saya gak pa-pa, kok, Tan."
Gelora kembali menghentikan langkahnya. Ia berbalik menatap Rain. "Kenapa anak muda sangat susah diberi nasehat?"
Rain menutup mulut.
"Lupakan. Lukamu harus segera di obati sebelum terinfeksi."
"Saya akan lebih hati-hati," kata Rain pelan.
Gelora segera mengobati luka Rain setelah sampai di ruangannya. "Ada luka lain?"
"Gak ada, Tan?"
"Oke. Gunakan salep ini setiap selesai mandi," kata Lora sambil memberikan salep.
"Makasih, tante. Berapa harganya?"
Lora menggeleng. "Ambil saja. Oh, ya. Apa yang ingin kamu bahas?"
Rain berkedip sebentar. Apa yang ingin ia bahas dengan Gelora? Rain tidak tahu.
Rain menggaruk kepala.
"Kenapa kamu kelihatan bingung seperti itu?"
Rain menggeleng. Ia menarik napas dalam-dalam. "Entah lah, Tan. Saya hanya ingin bertemu dengan Tante." kata Rain pelan. Kepalanya tertunduk.
Dahi Lora berkerut samar.
"Saya merindukan seseorang," kata Rain pelan tanpa menatap Lora.
Bahu Gelora menurun.
"Kalau Tante sibuk, saya akan datang lain kali." kata Rain.
"Kamu mau langsung pulang? Kamu hanya ingin menemui Tante?" tanya Gelora.
"Sebenarnya, saya ingin membahas tentang Ghio. Tapi, dia hilang beberapa hari ini."
"Apa maksudmu?" tanya Gelora.
Mata Rain melebar. Mulutnya menutup rapat. "Ah... Maksud saya. Saya merasa kalau Ghio seperti jauh beberapa hari ini. Tapi, hanya perasaan saya, Tan."
Gelora diam menatap Rain. Rain tidak tahu apa yang ada di pikiran wanita itu.
"Kenapa kamu bisa merasakan seperti itu? Sebenarnya, sudah sejauh mana kamu mengenal Ghio?" tanya Gelora.
Rain menunduk. "Aku gak tahu, Tan. Tapi, menurutku sudah sangat dekat," kata Rain pelan. Mereka memang dekat, kan?
"Lalu, kenapa saya gak pernah melihat kamu menjenguk Ghio?" tanya Lora.
Rain tidak tahu apa maksud Lora. Menjenguk Ghio di kuburan? Rain tidak tahu dimana makam pria itu.
"Saya gak tahu dimana, Tan. Ghio kecelakaan juga saya baru tahu beberapa bulan yang lalu."
Alis Lora menyatu. "Hah? Kenapa kamu baru tahu? Ghio sudah lama kecelakaan."
"Saya pulang kampung, Tan." kata Rain berbohong.
"Oh, kamu anak rantau?"
Rain mengangguk.
"Bersama orang tua?"
"Saya sama kakak saya, Tan."
Lora mengangguk. "Jauh dari keluarga itu sangat berat. Tante dulu begitu. Ghio pindah dan memilih mengontrak. Tante gak tahu alasannya.Tahu-tahu, tiba-tiba dengar kabar dia kecelakaan." Lora menghela napas. "Anak itu sangat keras kepala."
Rain mengangguk sambil tersenyum. "Dan sedikit manja," katanya.
Gelora menoleh cepat ke arah Rain. Ia ikut tersenyum. "Kamu tahu banyak tentang Ghio?"
Rain menggeleng. "Hanya sedikit, Tante. Dia suka semur ayam."
Mata Lora melebar sedikit. "Sepertinya kamu memang tahu banyak hal tentang Ghio." Lora lalu tersenyum hangat. "Aku belum pernah melihat gadis atau perempuan lain yang memahami Ghio. Kamu orang pertama. Dan sepertinya, kamu memiliki hubungan dekat dengan anak saya."
Rain merasa terkejut. "Ghio tidak pernah pacaran?"
Gelora menggeleng. "Setahu saya, kalau serius tidak pernah. Mungkin satu kali waktu SMA, itupun masa-masa cinta monyet."
"Dia bilang dia mungkin pernah berkencan," gumam Rain.
Lora tertawa kecil. "Mungkin dia berbohong."
Rain ikut tertawa kecil.
Lora berdiri. "Melihat kamu seperti ini, Tante jadi penasaran. Orang yang kamu rindukan itu Ghio?" tanya Lora.
Rain ikut berdiri. Ia tersenyum malu. Bagaimana Lora bisa tahu kalau Rain merindukan Ghio.
Lora tersenyum. "Kalau rindu, temui saja."
"Dimana, Tan?" beo Rain.
"Ikut Tante."
Rain mengikuti Gelora.
Apakah Gelora akan membawanya ke makam Ghio? Tapi, tidak ada tanda-tanda gelora akan keluar rumah sakit.
Malah wanita itu membawanya ke naik lift.
"Kita kemana, Tan? Bukannya menemui Ghio?" tanya Rain.
"Tentu saja. Ghio ada di atas."
Dahi Rain berkerut. Di atas? Apa maksudnya? Di atas itu: di surga? Atau, di atas itu: makam Ghio? Atau, di atas maksudnya : Gelora akan membawa Rain ke atas dan mendorongnya, lalu Rain akan jatuh dan meninggal, kemudian ia akan menemui Ghio di surga? Begitu?
Atau? Ghio di rawat di lantai atas? Bisa saja Ghio sedang ko-
"Ghio di rawat di atas." Kata-kata Lora selanjutnya menghentikan semua kemungkinan-kemungkinan di otak Rain.
Tubuh Rain terpaku. Pandangannya lurus ke arah Lora.
"Ayo."
Otak Rain masih belum sadar. Tapi tubuhnya seolah tahu apa yang harus dilakukan. Kaki Rain melangkah mengikuti Lora.
Hingga beberapa saat, otak Rain mulai bekerja.
"Ghio di rawat? Maksud Tante?" tanya Rain.
Lora menghentikan langkahnya. Ia menatap Rain sebentar, lalu tangannya beralih membuka pintu.
Pandangan Rain jatuh kepada sosok yang terbaring di atas brankar. Wajahnya tidak nampak jelas karena terlalu jauh dari pintu. Rain bertanya-tanya kenapa Lora menunjukkan itu kepadanya.
"Ghio sudah lama terbaring di sana. Tuhan amat baik, tidak mengambil nyawa putraku satu-satunya. Tapi, sebagai gantinya, Ghio koma."
Tubuh Rain kembali terpaku. Matanya menatap tubuh yang terbaring itu. Tubuh Rain melemas seketika.
"Ayo."
Bahkan melangkah saja rasanya Rain tak sanggup. Lora menariknya mendekati sosok yang terbaring itu.
Rain sedang tidak bermimpi, kan? Kalau iya, Rain tidak ingin terbangun. Ia ingin tetap disini dan menatap wajah pucat pria ini.
Tanpa aba-aba, air mata Rain meluncur deras. Apakah ini suatu keajaiban? Jadi Ghio masih hidup?
Tangan Rain dengan gemetar menyentuh wajah pria itu. Terasa nyata. Ini benar-benar Ghio.
"Ghio." Tangis Rain pecah.
Ia terlampau bahagia. karena terlalu bahagia, Rain tak bisa berkata-kata. Hanya tangis bahagia yang terus berlanjut dan hati yang tidak berhenti menyerukan ucapan syukur.
Tuhan. Jika ini mimpi, aku tidak ingin bangun. Dan jika ini nyata, jangan membawanya pergi. Karena melihatnya masih ada, aku merasakan bahagia yang belum pernah ada.