Geya dipaksa menikahi kakak iparnya sendiri karena sang kakak meninggal karena sakit. Dunia Geya seketika berubah karena perannya tidak hanya berubah menjadi istri melainkan seorang ibu dengan dua anak, yang notabenenya dia adalah keponakannya sendiri.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Lin_iin, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Nasehat Dari Yang Lebih Senior
***
Setelah melalui kesepakatan ulang, aku dan Mas Yaksa kembali menemui dokter untuk konsultasi perihal induksi laktasi. Setelah benar-benar siap, aku pun diberi obat untuk meningkatkan produksi asi, selain itu aku juga diwajibkan melakukan beberapa hal untuk memicu agar produksi asi-ku cepat keluar. Ternyata semua itu benar-benar tidak lah mudah, aku bahkan sempat merasa tertekan sekaligus ingin menyerah, karena Alin tidak mau bekerja sama saat aku mencoba menstimulasinya agar terbiasa menyusu dariku. Tapi Alin selalu lebih memilih untuk minum dari botol susunya.
Hampir tiap malam aku menangis, sedih karena usahaku tidak kunjung membuahkan hasil dan aku menangis karena menahan sakit pada kedua payudaraku. Pada minggu kedua, sebenarnya aku sudah mulai bisa mendapatkan asi meski masih sedikit, tapi Alin masih sulit menyusu dariku langsung.
Dokter bilang hal ini sangat wajar terjadi karena selama ini Alin terbiasa minum susu formula menggunakan dot bayi. Tapi beruntung Mas Yaksa terus memberiku semangat dan dukungan, meski terkadang agak menyebalkan tapi dia membantu banyak.
"Jadi, lo induksi laktasi biar kasih asi ponakan lo?"
Aku mengangguk dan mengiyakan pertanyaan Yasmin, salah satu sahabatku sejak SMP.
"Dia sekarang bukan ponakan gue, Yas, tapi anak gue," ucapku sambil mengelus rambut Alin yang kini sedang terlelap di pangkuanku.
"Itu disuntik?"
Aku menggeleng. "Enggak kok, cuma dikasih obat buat ngerangsang biar asi-nya keluar. Terus rajin-rajin dipompa biar keluar."
"Itu beneran keluar?"
"Ya, keluar lah, meski belum banyak sih, tapi lumayan sih. Toh, anak gue juga udah pake MPASI, jadi nggak butuh ASI yang kayak bayi baru lahir."
"Gila sih, nggak ngerti banget gue sama kalian. Aneh tahu nggak, ya kalau udah minum susu formula ya udah sih, yang penting Alin selama ini sehat-sehat aja. Eh, malah kalian suruh minum ASI dari lo, bentar lagi juga harus disapih kan?"
"Mau gimana lagi, suami gue maunya anaknya dapet asi."
"Ya elah, jaman sekarang kan ada donor asi, gampang, suami lo kan banyak duit."
"Enggak semudah itu juga lah, Yas, menurut Mas Yaksa kurang aman. Soalnya takutnya ntar di masa depan dia malah ketemu dan ada 'hubungan' sama yang sepersusuan gimana? Apa ya nggak kasian?"
Yasmin manggut-manggut paham. "Iya juga sih, tapi kan kemungkinannya tipis."
"50:50 lah."
"Susah sih ngomong sama lo," decak Yasmin membuatku terkekeh, "kayaknya itu si Alin udah nyenyak deh tidurnya, mending ditidurin di kamar aja, sama Vero."
"Nggak papa. Dia kadang kalau belum tidur terlalu lelap gampang kebangun."
Yasmin mengangguk paham. "Terus kerjaan lo gimana?"
Sebenarnya perihal ini masih menjadi pertimbanganku. Mas Yaksa sudah mengizinkanku kembali bekerja karena kesepakatan kami, tapi setelah mulai membiasakan diri untuk menyusui Alin, aku mendadak bimbang untuk kembali bekerja. Rasanya akan sangat egois kalau aku melakukan hal itu. Tapi di sisi lain aku tetap ingin bekerja meski sudah menikah. Itu adalah sebuah impianku dan aku tidak bisa merelakan hidupku begitu saja.
"Jujur gue masih bingung perihal ini."
Yasmin terlihat tidak paham dengan arah pembicaraanku. "Maksudnya?"
"Kita buat kesepakatan, gue setuju jadi ibu ASI buat Alin dan gue bakalan kerja lagi kalau dalam waktu satu bulan gue nggak jatuh cinta sama dia."
"Itu nggak masuk akal, Ge."
Aku mengangguk setuju. "Kayaknya emang Mas Yaksa buat kesepakatan itu karena pengen ngebiarin gue tetep kerja. Tapi anehnya sekarang gue ragu buat balik kerja," ucapku sambil menatap Alin yang kini terlelap di pangkuanku.
"Ini yang disebut naluriah keibuan, Ge. Wajar kok, gue pun gitu, dulu gue juga pengennya tetep kerja tapi liat tumbuh kembang Vero tiap hari, rasanya nggak rela kalau gue tinggal kerja."
"Tapi gue juga pengen tetep kerja, Yas. Gue pengen tetep jadi perempuan berpenghasilan meski udah nikah, apalagi kalau mengingat alasan gue nikah sama Mas Yaksa."
"Jadi lo bakalan balik kerja? Terus Alin sama Javas gimana?"
"Ya gue bakalan tetep ngurus mereka, cuma selama gue kerja, mereka bakalan diurus baby sister."
Yasmin terlihat tidak berkomentar banyak. Ia berusaha memaklumi keputusanku. Karena semua ini memang lah tidak mudah, baik aku dengan Mas Yaksa kami sama-sama butuh penyesuaian.
"Udah dapet?"
Aku mengangguk. "Udah. Kayaknya minggu depan gue udah mulai balik ke rs."
"Benar juga sih, seorang Geya nggak akan melepas pekerjaannya begitu saja demi jadi IRT kan ya?"
Sambil tersenyum dengan jumawa, aku mengangguk dan mengiyakan.
"Tapi gue masih penasaran satu hal sih."
Mendadak perasaanku tidak enak.
"Kalian udah 'itu'?"
Kan. Sudah kuduga Yasmin akan menanyakan perihal ini. Tidak mungkin sekali dia tidak penasaran urusan ranjang begini.
"Belum?" tebak Yasmin.
"Gue perlu waktu, Yas, nggak semudah itu. Gue sama Mas Yaksa nikah karena terpaksa. Sama kayak perempuan pada umumnya, gue juga mau melakukan 'itu' dengan orang yang gue cintai."
"Tapi Mas Yaksa suami lo, Ge, dan dia berhak mendapatkan haknya. Lo nggak kasian sama dia? Meski kakak ipar lo belum terlalu lama meninggalnya, tapi sewaktu dia sakit kan ya nggak mungkin dapet jatah. Dia pasti lama nggak dapet kebutuhan biologisnya, dan setelah nikah pun dia masih belum mendapat kebutuhannya."
Aku diam. Apa yang dikatakan Yasmin ada benarnya, tapi tetap saja kalau untuk memenuhi kebutuhan biologis Mas Yaksa aku belum mampu melakukannya.
"Melakukan hubungan badan meski dengan orang yang kita cintai tapi tidak terikat pernikahan hukumnya haram, Ge. Tapi kalau kita melakukan dengan seseorang yang terikat sah di mata hukum dan agama hukumnya halal. Gue nggak ada maksud buat maksa lo agar segera berhubungan badan sama Mas Yaksa, tapi tolong pikirin suami lo juga ya. Kasian, mau bagaimana pun dia punya hak atas lo. Begitu pun sebaliknya lo punyak hak atas suami lo."
Mendadak aku merasa bimbang. Haruskah aku menyerahkan diriku ke Mas Yaksa meski sama-sama belum ada cinta di antara kami?
"Kalau yang lo takutin itu karena sakitnya, ya emang sakit, Ge. Sakit banget malah, tapi percaya deh habis itu lo bakalan keenakan dan justru ketagihan. Gue juga percaya loh Mas Yaksa bukan tipe yang suka main kasar, dia pasti bakalan main lembut. Jadi lo jangan kebanyakan mikir dan nunggu cinta dulu. Cinta bisa dateng setelah kalian 'bercinta', Ge."
Yasmin sedikit terkekeh sambil memainkan kedua alisnya naik-turun. Aku hanya meresponnya dengkusan tidak percaya.
"Percaya sama gue, Ge."
"Tau lah, gue mau balik."
Merasa sudah terlalu lama di rumah Yasmin, aku memutuskan pamit pulang. Daripada obrolan Yasmin makin menjadi.
"Lah?"
To be continue,
author nya dah pintar nih......... ☺