Tiga tahun lalu, Agnia dan Langit nyaris menikah. Namun karena kecelakaan lalu lintas, selain Agnia berakhir amnesia, Langit juga divonis lumpuh dan mengalami kerusakan fatal di wajah kanannya. Itu kenapa, Agnia tak sudi bersanding dengan Langit. Meski tanpa diketahui siapa pun, penolakan yang terus Agnia lakukan justru membuat Langit mengalami gangguan mental parah. Langit kesulitan mengontrol emosi sekaligus kecemburuannya.
Demi menghindari pernikahan dengan Langit, Agnia sengaja menyuruh Dita—anak dari pembantunya yang tengah terlilit biaya pengobatan sang ibu, menggantikannya. Padahal sebenarnya Langit hanya pura-pura lumpuh dan buruk rupa karena desakan keluarga yang meragukan ketulusan Agnia.
Ketika Langit mengetahui penyamaran Dita, KDRT dan talak menjadi hal yang kerap Langit lakukan. Sejak itu juga, cinta sekaligus benci mengungkung Dita dan Langit dalam hubungan toxic. Namun apa pun yang terjadi, Dita terus berusaha bertahan menyembuhkan luka mental suaminya dengan tulus.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Rositi, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Tiga Puluh Tiga
Agnia yang tak bercadar atau setidaknya memakai pakaian syari seperti saat mendatangi kediaman orang tua Langit, memasuki sebuah kafe. Hatinya tak hentinya berbunga-bunga. Begitupun dengan senyum di wajahnya yang tak bisa berbohong, bahwa apa yang tengah ia lakukan sangat membuatnya bahagia.
Apa yang Agnia rasakan tentu beralasan. Sebab apa yang akan terjadi, Agnia simpulkan sebagai kencan. Haris mengajak Agnia berkencan, hingga Agnia kembali merasakan apa itu jatuh cinta.
Untuk kencannya dan Haris, Agnia sengaja berdandan sopan. Ia memakai rok di atas mata kaki dan sengaja memakai blouse tak berlengan. Agar andai ada adegan yang membuatnya kedinginan, Haris akan memberikan jaket atau jasnya kepadanya.
Belum lama masuk dan langsung mencari-cari, pandangan Agnia langsung menemukan sosok yang menjadi alasannya ke kafe tersebut. Nuansa kafe yang Haris pilih terbilang romantis. Namun, penampilan Haris justru kelewat santai. Haris memakai kaos polos warna hitam dipadukan dengan celana selutut.
“Gimana mau ada adegan romantis, kalau Haris saja hanya pakai begitu. Enggak ada jas, jaket, atau setidaknya kemeja. Padahal pas ke kontrakan ibunya Dita saja, Haris necis. Apaan ini, kencan kok kayak mau beli seblak,” rutuk Agnia dalam hatinya. Ia hanya pura-pura senyum ketika Haris menyapa.
“Sudah datang? Sini, duduk dulu!” ucap Haris lagi sambil tetap duduk lantaran Agnia cenderung melamun.
Agnia yang saat awal datang dirasa Haris kelewat ceria, mendadak murung. Seolah, ada yang mengganggu pikiran atau malah hati wanita itu.
“Kata Langit, kemarin pas ke rumah mamanya, si Agnia sampai pakai cadar. Kok kalau ketemuan sama aku, Agnia selalu biasa saja?” pikir Haris.
Selain berpenampilan biasa saja, Haris juga tak sampai menyiapkan kursi untuk Agnia. “Minimal dia tarikin kursi untuk aku, terus menyilakan aku duduk dengan manis. Eh ini, cuek sibuk pakai hape!” batin Agnia jadi sibuk mengomentari kelakuan Haris di dalam hatinya. Bagi Agnia, kelakuan Haris sungguh di luar ekspetasinya. Padahal demi bertemu haris, Agnia yang baru membuka gips-nya, sampai ke salon untuk perawatan rambut maupun wajahnya.
Datangnya Langit menjadi alasan Haris berdiri. Haris mengangkat tangan kanannya, melambaikannya dan ia tujukan kepada Langit. Di depan sana, Langit yang berpenampilan rapi walau tak memakai dasi, tampak mencari-cari.
“Hah ...? Lang ...? Si Haris tadi manggil Lang? Maksudnya Langit, begitu?” pikir Agnia.
“Sini!” lanjut Haris yang menunggu kedatangan Langit. Langit sudah mengangguk sambil melangkah kepadanya.
Seperti biasa, Langit datang dengan pembawaan yang sangat tenang. Jika sedang begitu, di mata Haris, Langit sangat mirip dengan pak Excel.
“Beneran, ... itu beneran Langit!” batin Agnia benar-benar panik.
Agnia tak menyangka, Langit juga akan datang. Agnia merasa terjebak, dan tetap bertahan duduk meski di hadapannya, Langit dan Haris sudah saling adu kepala tangan kanan.
“Gila ... ini aku harus gimana! Ini sebenarnya ada apa, sih?” batin Agnia makin ketar-ketir. Terlebih kini Agnia menyadari bahwa Langit tengah memperhatikannya.
“Saat datang ke rumahku, kamu pakai syari hitam lengkap dengan cadar. Kamu juga mengaku bahwa istriku sudah menyabotase hakmu menikah denganku. Lah kok sekarang bebas lagi?” ucap Langit yang kemudian duduk di sebelah Haris. Ia sengaja menghadap sekaligus menatap Agnia.
Setelah kembali duduk, Haris berkata, “Sori, Ni. Sebenarnya pertemuan ini, Langit yang minta.”
“Aku juga cuma sebentar. Aku cuma mau tegasin ke kamu, aku sudah menikah dan aku sudah bahagia. Jangan sesekali datang apalagi mengusik istri maupun orang tuaku lagi,” tegas Langit. Ia menatap tajam kedua mata Agnia.
“Ris, kamu jadi saksi. Andai dia berani ganggu aku maupun keluargaku lagi, kamu yang harus beresin dia!” ucap Langit ketika tatapannya sudah kembali kepada Haris.
Agnia merasa harga dirinya diinjak-injak. Dengan segera ia memiliki ide. Iya, ia baru ingat bahwa istri Langit itu Dita . Sedangkan kemarin saat ia dan Haris tak sengaja bertemu, Haris sedang mencari tahu Dita.
“Setelah kamu menje.bakku, dan kalian meng.injak-in.jak harga diriku, kalian pikir aku akan diam begitu saja?” batin Agnia yang kemudian berkata, “Ris, kamu sudah tahu istrinya Langit siapa dan seperti apa?”
“Duh ... si Agnia rese bener!” batin Langit langsung ketar-ketir.
Meski keadaan seperti sekarang sudah Langit bayangkan akan terjadi, cepat atau lambat. Pada kenyataannya, Langit belum siap dan memang belum memiliki alasan kuat untuk ia berikan kepada Haris. Sementara sejauh ini Langit baru tahu, bahwa ternyata sahabatnya itu sangat mencintai Dita.
“Pantas sih Haris bucin dan hanya mau nikah jika itu sama Dita. Karena Dita memang sangat spesial!” batin Langit sampai kesulitan bernapas hanya karena keadaan sekarang.