MANTAN. Apa yang terbesit di pikiran kalian saat mendengar kata 'MANTAN' ?
Penyesalan? Kenangan? Apapun itu, selogis apapun alasan yang membuat hubungan kamu sama dia berubah menjadi sebatas 'MANTAN' tidak akan mengubah kenyataan kenangan yang telah kalian lewati bersama.
Meskipun ada rasa sakit atas sikapnya atau mungkin saat kehilangannya. Dia pernah ada di garis terdepan yang mengisi hari-harimu yang putih. Mengubahnya menjadi berwarna meski pada akhirnya tinta hitam menghapus warna itu bersama kepergiannya.
Arletta Puteri Aulia, gadis berkulit sawo matang, dengan wajah cantik berhidung mancung itu tidak mempermasalahkan kedekatannya lagi dengan cowok jangkung kakak kelasnya sekaligus teman kecilnya-- Galang Abdi Atmaja. Yang kini berstatus mantan kekasihnya.
Dekat? Iya,
Sayang? Mungkin,
Cemburu? Iya,
Berantem? Sering,
Jalan bareng? Apa lagi itu,
Status? Cuma sebatas mantan.
Apa mereka akan kembali menjalin kasih? Atau mereka lebih nyaman dengan -MANTAN RASA PACAR- julukan itu
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Asmi SA, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Chapter 8
***
Entah bagaimana jadinya Arletta kini di boncengan cowok itu.
Motor itu berhenti di sekolahnya.. Arletta menatap gedung itu, banyak pertanyaan di pikirannya.
“Kenapa lo ngajakin gue ke sini?” Tanya Arletta heran.
“Udah ikut aja,” ujar cowok itu meraih tangan Arletta. Arletta terdiam tidak menolak ajakan cowok itu. Bahkan ia tidak protes saat tangannya digenggam cowok itu.
Mereka berjalan terus hingga mereka sampai di rooftop. Arletta menutup mulutnya sendiri, menatap apa yang ada di depannya. “Bahkan lo masih inget hari ulang tahun gue?”
“Gue ngga akan pernah lupa semua tentang lo, Ta.”
Arletta tersenyum, “Thanks Yan.” Arletta hanyut dalam pandangannya. Lama mereka terdiam, hingga Arletta menoleh,“kenapa lo kembali,” ujar Arletta datar. Cowok itu menoleh dengan senyum hangatnya.
“Gue kangen sama lo Ta,” jawabnya. Arletta terkekeh, bukan bahagia namun seperti mengejeknya.
“Kangen? Lo bahkan bilang ngga akan kembali,” ejeknya.
“Gue berpikir gitu, tapi semakin lama gue di sana, gue terus mikirin lo,” ujarnya.
“Dulu, gue kira gue kangen sama lo. Berharap suatu saat lo pulang dan nemuin gue,” Arletta menatap cowok itu yang kini menatapnya dalam diam.
“tapi semakin hari, gue rasa percuma. Lo beneran ngga akan pulang. Dan semakin hari gue semakin benci sama lo. Entah karena ungkapan rasa suka lo tujuh tahun lalu, atau karena gue lelah nungguin lo,” ucapannya terhenti sejenak. Ia menghela nafas kasar.
“Aih! Menyebutnya aja gue muak,” lanjutnya.
Cowok itu mengeluarkan liontin dari balik sakunya. Memakaikannya di leher Arletta. Arletta tersentak menyentuh liontin yang sudah terpasang manis di lehernya itu. Ia berbalik menatap Bian yang tengah tersenyum menatapnya.
“Happy sweet seventeen Tata,” ucap cowok itu tersenyum hangat.
Biar bagaimanapun dia tetap teman kecil Arletta. Keberadaannya yang sejak dulu ia nantikan terbayar hari ini. Di hari bahagianya. Mungkin sejak pagi ia menganggap hari ini adalah hari kesialannya. Namun pada akhirnya, ternyata ini adalah hari paling bahagia di dalam hidup seorang Arletta Puteri Aulia.
“Thanks Bian.”
***
"Aku pulang,” ucap Arletta bersemangat di ambang pintu rumahnya.
“Tata, kamu dari mana aja sayang? Kamu bikin mama khawatir tahu ngga?” Ucap Mama Lia menghampiri Arletta.
“Mama, maaf aku..” Arletta terkejut melihat Galang, Raya dan Andini yang baru saja turun dari lantai atas. Dari arah kamarnya.
“Loh kalian?”
“Dari mana aja lo? Dihubungi ngga diangkat-angkat?” Cercah Galang saat sampai di hadapan Arletta. Arletta mengernyit mencari ponselnya di dalam tas.
“Ah hp gue mati,” ujar Arletta tersenyum tanpa rasa salah. Galang berdecak. Ingin rasanya menoyor kepala Arletta yang tidak ada rasa salahnya itu. Semua orang di sini panik, dia dengan santainya pulang dengan senyum semanis itu. Apa dia habis dapat voucher gratis? Namun Galang menghela nafas lega, Arletta pulang dengan keadaan sehat wal’afiat.
“Bentar, kalian ngapain ada di sini?” Tanya Arletta lagi menatap Raya dan Andini bergantian.
“Dan lo juga? Gue kira lo sibuk, sibuk apaan lo? Oh jangan-jangan lo ngerjain gue ya? Biar gue nganterin Bella? Padahal lo yang males nganterin dia, kan? Iya kan? Ngaku lo,” desak Arletta menunjuk Galang.
Galang mengernyit, “gue? Heh, siapa yang ngerjain lo sih? Siapa juga yang bilang kalo gue sibuk? Kan itu asumsi lo sendiri,” ujar Galang.
“Kan lo yang bilang sendiri kalo lo ada tugas sama temen-temen lo tadi siang,” ujar Arletta tak mau kalah.
“Y-ya, t-tapi kan gue ngga bilang kalo gue sibuk,” elak Galang.
“Tapi pada intinya lo itu,-“
“Udah stop!” Teriak Mama Lia menghentikan perdebatan dua insan berbeda jenis kelamin itu.
“Kalian ini kalo jauh aja nanyain kabar, kalo deketan gini, kayak kucing kebelet kawin,” ucap Mama Lia membuat Raya dan Andini terbahak.
“Haha, bener tuh tan, bahkan di sekolahpun mereka berantem terus tiap kali ketemu, tapi kalo satunya ngga kelihatan langsung deh nyariin, panik kayak udah nyari tupperware emak yang ilang aja,” timpal Andini.
“Heh diem lo,” ancam Arletta menunjuk Andini. Andini diam, namun masih terkekeh. Dia tidak takut dengan tatapan tajam Arletta, justru geli melihatnya. Arletta tidak cocok dengan wajah galak seperti itu.
“Abis kencan lo ya? Ngaku?” Ujar Raya membuat tawa Andini terhenti. Mereka menatap Raya terkejut. Arletta pun demikian. Ia tampak gugup, bagaimana Raya bisa tahu?
Raya menatap mereka satu persatu lalu tertawa, “haha, tegang amat kayak listrik,” timpal Raya.
Mereka akhirnya tertawa, ternyata Raya hanya bergurau. Arletta bernafas lega. Ia menatap kikuk pada Raya. Bisa-bisanya ia bergurau dengan pas seperti itu.
“Gue cuma jalan-jalan bentar kok,” ucap Arletta santai. Tak sesantai itu kok, dia hanya berusaha bersikap natural.
“Eh, kalung baru ya?” Ucap Andini menatap leher putih Arletta. Galang menoleh pada leher Arletta sebelum Arletta menutupnya dengan kedua tangannya.
Arletta memahami betul perubahan ekspresi wajah Galang saat itu. Kecewa mungkin?
Galang menghela nafas menarik tangan Arletta dan menggandengnya ke atas.
“Kita mau ke mana?” Tanya Arletta namun Galang tetap diam sampai di depan kamar Arletta.
“Kenapa?” Tanya Arletta saat Galang hanya berdiam di sana. Kamar itu tertutup, Galang hanya menunjuk agar Arletta membuka kamarnya itu. Perlahan Arletta meraih knop pintu itu dan membukanya.
“Gelap?”
Lampu itu menyala, kamar itu penuh dengan hiasan balon dan pita, bahkan di kasurnya terdapat kado yang cukup besar.
Perlahan Arletta berjalan mendekat ke kasurnya. Ia berbalik menatap Galang yang masih berdiri di depan pintu kamarnya, dia tidak sendiri. Ada mamanya dan ketiga temannya itu.
Mereka mengangguk bersama meminta Arletta membuka kado besar itu. Arletta mulai membuka kado itu dengan menarik satu helai pita.
“Fiuh..” Arletta menghela nafasnya sebelum benar-benar membuka kado itu.
“Gue ngga di kerjain kan? Ntar tiba-tiba ada yang keluar dari dalam sini?” Gumam Arletta.
“Tenang Ta, ngga ngasih aneh-aneh kok,” timpal Andini. Arletta kembali menghela nafas lalu mulai membukanya kembali hingga ia mulai melihat isinya.
“HAAH!!”
Arletta menoleh pada mereka yang ada di belakangnya. Tatapannya datar. “Ngerjain kan,” ujarnya datar.
Mereka mengedikkan bahu, terdengar kekehan mereka di belakangnya. Terkejut? Bukan, hanya saja ia kesal, masih ada lapisan lain di dalamnya.
Kembali Arletta berdecak, sudah lapisan ke sepuluh, bukan, namun seperti kado dalam kado. Arletta kembali menoleh, “kalian niat ngga sih ngasih gue kado?” Ucapnya kesal.
“Ayolah Ta, baru juga sepuluh udah nyerah?” Timpal Raya.
“Jadi maksud lo, masih ada lagi di sini?” Ujar Arletta mengangkat kado yang sekarang berukuran sedang itu.
“Hei jangan diangkat gitu ntar rusak,” ujar Mama Lia. Arletta menurunkan kotak kado itu perlahan. Lelah, Arletta duduk di atas ranjangnya.
Kembali ia menatap mamanya dan teman-temannya itu. “Ah udah lah aku capek maa,” ucap Arletta menjauhkan kado itu yang kini berukuran kecil.
“Ayolah sayang, itu udah lapisan keberapa?” Tanya Mama Lia mendekatinya.
“Ah ngga tahu,” desahnya.
“Kok ngga tahu, harusnya kamu itung dong sayang. Mama kasih clue. Lapisan kadonya ada tujuh belas. Kamu ulangtahun ke tujuh belas, kan?” Ucap Mama Lia lembut.
Arletta terdiam. Tujuh belas, aihh tadi berapa? Arletta memunguti kardus di bawah ranjangnya.
“Sebelas, dua belas, tiga belas, empat belas, lima belas, oke dua lagi,” gumam Arletta.
Ia kembali membuka kadonya itu. “Oke Ta, satu lagi,” gumamnya menatap kotak di depannya itu dengan senyum bahagianya.
Ia menoleh pada mamanya dan teman-temannya yang kini di sampingnya. “Katanya tujuh belas, kok ini ada lagi?”
Mereka terkekeh. “Eh, mungkin kita salah hitung,” timpal mamanya terkekeh. Arletta memutar bola matanya kesal.
Srek.. Arletta menyobek bungkusan kecil itu.
“Eh? Clue doang?” Gumam Arletta menatap kertas kecil bertuliskan ‘pintu cream’
Arletta menatap mamanya penuh tanya. Mamanya mengedikkan bahunya. Arletta berpikir sejenak.
“Pintu cream?” Gumamnya. Ia menyelusuri seisi kamarnya. Mencari pintu berwarna cream.
“Ah lemari,” ucapnya lalu turun dari ranjangnya. Ia berjalan semangat ke lemari gantung miliknya. Lemari itu memang tidak tertutup rapat. Seingatnya pintu lemarinya selalu ia tutup rapat. Tanpa ragu ia membuka pintu lemarinya itu.
“A-Arfan!” teriaknya.
Mereka mendekati Arletta, ikut panik saat Arletta berteriak.
“Kenapa Ta?” Tanya mamanya panik. Arletta berjongkok di depan adiknya itu.
“Arfan bangun!” Teriak Arletta mengguncangkan tubuh adiknya yang tengah memejamkan matanya.
“Fan! Arfan bangun!” Arletta terus membangunkannya, Mama Lia pun ikut berteriak memanggil nama Arfan.
Panik, mungkin suasana itu yang tergambar sekarang. Apa lagi ini? Di hari bahagianya? Oh jangan! Arletta mulai tersedu saat adik kesayangannya itu tak kunjung bangun.
“Bangun Fan!!”
Perlahan Arfan mulai bergerak, matanya mulai terbuka. “Kenapa kalian di sini?” Ucap bocah itu. Ia mengucek matanya layaknya bangun dari tidur.
Ia mulai tersadar, menatap mama dan kakaknya yang tengah tersedu. Mama Lia memeluknya. “Kalian kenapa? Kok nangis?” Tanyanya heran.
“Kenapa, kenapa? Ngapain kamu coba? Kirain pingsan!” Teriak Arletta menghapus air matanya.
“Aku cuma tidur kak, lagian lama banget sih buka lemarinya,” omel Arfan.
“Maafin kakakmu ini sayang, dia tadi ngilang baru pulang,” ujar Mama Lia masih memeluk Arfan.
“Aiish! Udah bikin mewek juga!” Mereka tertawa ternyata Arfan hanya ketiduran. “Ah iya, nih.” Arfan merogoh saku bajunya.
Arletta meraih amplop coklat itu, tanpa ragu merobeknya. “Lagi?” Arletta menghela nafasnya. Ia berdiri, berjalan meninggalkan mereka.
Arletta menuruni tangga dan memasuki gudang, “kenapa harus gudang coba?” Gumamnya. Kali ini ia ragu. “Ah tadi kan Arfan, pasti sekarang papa,” gumamnya. Akhirnya Arletta memberanikan diri untuk membuka pintu gudang itu.
“Ah lagi-lagi gelap.” Arletta berdecak. Dia takut gelap, kenapa dia harus berjalan sendirian ke sini, bahkan ia sendiri takut ke dalam sini.
“Oke, demi kejutan, gue harus bisa masuk sendiri,” ucapnya.
Akhirnya ia berhasil menyalakan lampu gudang. “Pa? Ayo dong keluar. Papa kan tahu aku benci gudang,” racau Arletta.
Arletta mencari sesuatu yang kira-kira akan menjadi petunjuk selanjutnya. “Keluar dong pa, aku takut. Nyerah deh nyerah,” ucap Arletta, berharap papanya keluar dari sana.
“Ah ngga seru, gitu aja udah nyerah,”
Arletta menoleh terkejut pada suara itu, sampai amplop yang tadi ia bawa itu terjatuh dari tangannya.
***
Arletta menatap pria jangkung di depannya itu dalam diam. Matanya telah berkaca-kaca. Pria itu mendekatinya dengan tart di tangannya.
“Happy birthday to you, happy birthday to you, happy birthday- happy birthday.. happy birthday Tata..”
tinggal urusan cintanya aja yang masih jauh🤭