Anson adalah putra tunggal dari pemilik rumah sakit tempat Aerin bekerja. Mereka bertemu kembali setelah tiga belas tahun. Namun Anson masih membenci Aerin karena dendam masa lalu.
Tapi... Akankah hati lelaki itu tersentuh ketika mengetahui Aerin tidak bahagia? Dan kenapa hatinya ikut terluka saat tanpa sengaja melihat Aerin menangis diam-diam di atap rumah sakit?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Mae_jer, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 34
Aerin berjalan mundur karena Anson terus maju. Menatapnya tajam dan tampak marah. Mereka berhenti saat Aerin terduduk di atas kasur. Kali ini tatapan Anson melembut. Ia takut akan menakuti Aerin.
Lelaki itu mengatur napasnya sebelum bicara.
"Kau ingin mengundurkan diri?" tanyanya. Ia mengharapkan jawaban tidak keluar dari mulut Aerin. Tatapannya begitu lekat.
"Ah, kau sudah tahu rupanya. Padahal aku baru mengirim surat pengunduran diriku beberapa jam yang lalu." balas Aerin santai. Jawaban yang sangat tidak Anson harapkan.
"Bukankah kau bilang tidak menyimpan dendam terhadapku? Lalu kenapa tiba-tiba ingin berhenti?"
"Sama sekali tak ada kaitan denganmu."
"Atau karena Logan? Aku akan menyuruh dia minta maaf padamu."
"Tidak bukan dia. Aku tidak ingin membahas lelaki itu."
"Kalau begitu staf rumah sakit? Kau merasa mereka terlalu keterlaluan menilaimu? Aku akan menegur mereka untukmu."
Aerin jadi bingung kenapa Anson tiba-tiba menjadi seperti ini padanya. Ia tidak terbiasa.
"Aku mengundurkan diri karena ingin mengganti suasana baru, itu saja." ucap Aerin.
"Bukan karena siapa-siapa, Anson." ia melanjutkan.
"Semua orang bebas menilaiku. Aku juga bukan perempuan yang mudah ditindas. Kau jelas tahu seperti apa aku dulu kan? Dulu aku ini perempuan jahat yang suka menindas orang lemah. Mana mungkin aku akan membiarkan diriku ditindas.
"Sekarang berbeda," balas Anson langsung. Menatap ke dalam mata Aerin. Sosok wanita ini yang sekarang dengan dulu memang berbeda.
"Apanya yang berbeda?" Aerin balas menatap Anson. Sesungguhnya ia tidak kuat menatap pria itu lama-lama begini. Keberadaan Anson di dekatnya saja sudah membuatnya gugup, apalagi saat lelaki itu menatapnya dengan tatapan seperti itu. Sungguh dia gugup setengah mati dan merasa tidak sanggup. Namun Aerin mati-matian bersikap biasa saja.
"Kau tidak perlu tanya padaku. Kau sendiri tahu apa yang berubah dari dirimu. Jelas-jelas kau tahu orang-orang itu bergosip yang tidak benar, kenapa diam saja? Kenapa membiarkan mereka salah paham padamu? Kenapa membiarkan Logan menghinamu seperti itu?" wajah Anson makin dekat sehingga Aerin bisa merasakan napasnya yang wangi mint.
Dari dulu ia tahu Anson tidak pernah merokok. Minum alkohol pun jarang. Lelaki itu selalu wangi dan bersih. Di tambah wajahnya yang bak titisan dewa itu, bagaimana para wanita tidak jatuh hati coba. Aerin membuang muka. Karena Anson begitu dekat, ia jadi tidak leluasa. Karena gugup tentu saja.
Lalu Aerin merasakan jemari Anson menyentuh dagunya dan membuatnya kembali menatap lelaki itu lagi. Anson kini telah duduk di sebelahnya. Mungkin karena lelah berdiri dan membungkuk di depannya jadi ia memilih duduk.
"Apa yang membuatmu berubah Aerin? Bisakah cerita padaku?" suara Anson melembut. Aerin ingin memalingkan wajah lagi, tapi Anson tidak membiarkannya kali ini.
"Tatap aku." kata Anson dengan suara rendah."Sepuluh tahun ini, apa yang sudah terjadi padamu dan keluargamu. Maukah cerita padaku?" tatapan Anson penuh harap. Berharap Aerin mau terbuka padanya. Ia tidak bisa lagi tidak peduli.
Sebenarnya dengan kekuasaannya, bisa saja dia membayar orang untuk mencari tahu apa yang terjadi pada keluarga Aerin. Tapi tidak, ia menghargai privasi gadis itu. Dan dia ingin Aerin sendirilah yang cerita padanya. Tentu, di saat gadis itu sudah siap cerita.
Aerin menatap Anson.
"Bukankah kau membenciku? Kenapa sikapmu padaku tiba-tiba berubah?"
"Aku tidak tahu. Yang aku rasakan sekarang bukan benci lagi."
Aerin tersenyum miring setengah mendengus.
"Kau kasihan? Mengasihaniku karena semua orang menganggapku wanita rendahan? Huh! Aku tidak butuh rasa simpatimu." kata gadis itu berubah dingin.
"Bukan seperti itu Aerin!" balas Anson tegas.
"Lalu?"
Karena aku tiba-tiba menyadari bahwa sebenarnya aku mencintaimu.
Kalimat itu hanya Anson ucapkan dalam hati. Terlalu cepat kalau dia bilang sekarang. Aerin pasti akan berpikir dia hanya mempermainkan perasaan gadis itu. Anson ingin mengejar Aerin, tapi di mulai dengan mendekatinya sebagai teman. Membangun kepercayaan gadis itu terhadapnya, dan perlahan membuat Aerin bergantung padanya.
"Aku ingin kita berteman. Kau bisa bercerita apapun pada temanmu. Lagipula aku paling tahu tentangmu dan keluargamu. Aku sudah mengenalmu sejak lama."
Mendengar itu Aerin tertawa keras.
"Berteman? Kau jelas-jelas tahu aku pernah menyukaimu, dan sekarang kau ingin kita berteman?" gadis itu menatap lelaki di depannya lurus-lurus.
"Kalau begitu kita bisa memulainya dengan langsung berpacaran saja." balas Anson tanpa pikir panjang.
Kalau Aerin tidak mau berteman dengannya, langsung ke tahap selanjutnya saja. Kan lebih menguntungkan baginya juga.
Aerin melotot. Lalu berdiri dari tempat tidur.
"Sekarang aku tahu, kau memang sedang bermain-main denganku. Aku terlalu sibuk, tidak ada waktu main-main denganmu. Keluar sekarang."
Aerin pun menarik tubuh besar Anson dan mendorongnya ke pintu keluar.
"Sudah aku bilang aku tidak main-main. Aku menyukaimu, aku sudah jatuh cinta padamu Aerin!
Seru Anson lantang.
Akhirnya ia tidak bisa menahan diri lagi dan mengatakan semuanya. Daripada dia yang tersiksa nanti.
Keduanya sama-sama terdiam. Aerin sendiri bingung. Tapi dalam benaknya Anson hanya sedang mempermainkannya. Mana ada seorang laki-laki yang sangat membenci dan memusuhinya dulu malah jatuh cinta padanya sekarang.
Aerin tidak percaya. Ia mendorong tubuh Anson lagi namun kekuatannya dan pria itu tidak sepadan. Malah Anson yang kini mendorongnya ke tembok dan tanpa ijin menyambar bibir kenyalnya.
Aerin melotot lebar. Ia berusaha berontak namun kedua tangannya di angkat oleh Anson di atas kepala dan di tahan kuat-kuat oleh pria itu.
Ya ampun, ciuman pertamanya ...
"Mmph ..." Aerin melenguh.
Bukan sekadar ciuman biasa. Anson memberinya ciuman panas yang penuh sensual. Bukan ciuman para remaja yang baru berpacaran, namun ciuman orang dewasa yang membangkitkan gairah.
Aerin mengunci bibirnya kuat-kuat saat lidah Anson hendak masuk ke dalam mulutnya. Namun Anson sangat tahu apa yang harus dia lakukan. Digigitnya bibir Aerin hingga mulut gadis itu terbuka dan Anson menggunakan kesempatan tersebut memasukan lidahnya ke dalam mulut Aerin.
Aerin gemetar ketika lidah Anson menyentuh lidahnya, meminta bermain bersama. Aerin pun terpancing. Tidak berontak lagi.
Saat Anson merasakan Aerin mulai terpancing dengar permainannya, ia pun langsung menghisap lidah Aerin dengan lihai.
Aerin merinding seketika. Ia merasakan getaran aneh menjalar di sekujur tubuhnya. Membuatnya kepanasan.
Mereka sudah berciuman terlalu lama, tanpa jeda. Cukup. Aerin merasa sesak napas. Saat merasakan genggaman Anson di tangannya mulai longgar, Aerin pun mendorong dada pria itu menjauh.
Nafas keduanya tersengal-sengal. Kening mereka menempel. Bagi Aerin, ini ciuman pertama yang sangat panas. Namun hanya Anson yang tahu kalau itu bukan ciuman pertama mereka.
"Aerin ... Aku,"
Sebelum melanjutkan kalimatnya Aerin sudah mendorong lelaki itu keluar pintu dan membanting pintu tersebut kuat-kuat lalu menguncinya.