Ditalak ketika usai melahirkan, sungguh sangat menyakitkan. Apalagi Naura baru menginjak usia 20 tahun, harus kehilangan bayi yang dinyatakan telah meninggal dunia. Bagai jatuh tertimpa tangga dunia Naura saat itu, hingga ia sempat mengalami depresi. Untungnya ibu dan sahabatnya selalu ada di sisinya, hingga Naura kembali bangkit dari keterpurukannya.
Selang empat tahun kemudian, Naura tidak menyangka perusahaan tempat ia bekerja sebagai sekretaris, ternyata anak pemilik perusahaannya adalah Irfan Mahesa, usia 35 tahun, mantan suaminya, yang akan menjadi atasannya langsung. Namun, lagi-lagi Naura harus menerima kenyataan pahit jika mantan suaminya itu sudah memiliki istri yang sangat cantik serta seorang putra yang begitu tampan, berusia 4 tahun.
“Benarkah itu anak Pak Irfan bersama Bu Sofia?” ~ Naura Arashya.
“Ante antik oleh Noah duduk di cebelah cama Ante?” ~ Noah Karahman.
“Noah adalah anakku bersama Sofia! Aku tidak pernah mengenalmu dan juga tidak pernah menikah denganmu!”
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Mommy Ghina, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 9. Telepon Dari Irfan
Naura masih menikmati sepotong cake red velvet usai mengisi perutnya dengan makanan berat, sementara Alma sedang mencuci piring di dapur. Dalam waktu yang bersamaan ponsel Naura berdering dari nomor yang tidak ia kenali sama sekali, dan seperti biasanya takut yang menghubungi dari relasi bisnis Damar lantas ia memutuskan untuk menerima telepon.
“Halo, selamat sore,” sapa Naura dengan ramahnya tanpa ada prasangka buruk.
“Oh jadi begini ya kebiasaannya, belum jam pulang kerja tapi sudah meninggalkan kantor tanpa laporan terlebih dahulu pada atasannya!” tegur Irfan dalam panggilan teleponnya.
Naura menundukkan kepalanya, suara yang dulu sering meneleponnya dengan lembut serta penuh perhatian, kini menyapa dalam panggilan telepon. Naif rasanya jika Naura tidak mengingatnya, meski ia telah melupakannya.
“Kamu dengar saya bicarakan!?” tegur pria itu, meradang tidak ada respon dari Naura.
Wanita itu mendesah pelan dan kembali mengangkat wajahnya. Haruskah ia minta maaf karena sudah melanggar peraturan perusahaan? Yang memang selama ini Naura sangat mematuhinya, namun manusiawi’kan jika karyawan melakukan kesalahan, itu pun ada pemicunya sendiri. Naura bukan boneka atau batu yang tidak memiliki perasaan.
“Terima kasih atas tegurannya Pak Irfan. Apakah ada yang ingin Pak Irfan sampaikan kembali sampai seorang Presdir menelepon saya?” tanya Naura dengan sopan dan ramah, meski wajahnya tidak seramah itu.
Suara pria itu berdecak terdengar jelas ditelinga Naura. “Kamu tahukan jika pulang tidak pada jamnya tanpa ada pemberitahuan ke atasan akan dikenakan potongan pada tunjangan kehadiran?” tanya Irfan dengan tegasnya.
“Cukup tahu, dan saya menimpa konsekuensi dari segala tindakan saya. Lagi pula saya tidak lama lagi akan mengundurkan diri. Jadi terima kasih sekali lagi telah mengingatkan saya. Untungnya Pak Irfan tidak mengingatkan masa lalu yang begitu menyakitkan,” sindir Naura dengan lembutnya namun penuh penekanan.
Irfan terdiam.
“Ada lagi yang ingin Pak Irfan sampaikan pada saya? Atau mungkin saja ingin mengungkit masa lalu. Aah, maaf saya tiba-tiba berbicara seperti ini, padahal saya baru pertama kali bertemu dengan Pak Irfan Mahesa, mana mungkin mengungkit masa lalu. Sepertinya saya salah orang, di Jakarta ini banyak sekali nama Irfan. Sekali lagi saya minta maaf ... jika tidak ada yang ingin disampaikan lagi, saya akan menyudahi perbincangan ini karena saya butuh istirahat,” tutur Naura yang berani menyindir Irfan secara halus.
Irfan menarik kerah kemeja, entah mengapa ucapan Naura membuat tenggorokannya tercekat. “Besok kamu datang seperti biasa, tidak boleh telat!” perintah Irfan, setelah itu ia memutuskan panggilan teleponnya.
Naura terkekeh pelan seraya menarik ponsel dari daun telinganya. “Sepertinya hanya aku yang mengingat masa lalu! Tak mengapa ... baiklah Mas Irfan, sekarang aku bukan yang dulu. Mungkin cintamu untukku saat itu untuk mempermainkan dan menipuku, kini aku akan membalas permainanmu yang dulu!” gumam Naura sendiri, tatapannya agak menajam.
***
Mansion Mahesa
Malam pun tiba, Irfan telah kembali ke mansion dan kepulangannya hanya disambut oleh Akbar, kepala pelayannya. “Nyonya dan anak saya ke mana, Pak Akbar?” tanya Irfan sembari memberikan jas yang sudah tersampir di lengannya.
“Nyonya Sofia ada di kamar Tuan, sedangkan Tuan muda sama baby sitternya di ruang tengah,” jawab Akbar.
Tanpa bertanya lagi pria itu bergegas ke ruang tengah, lalu menghampiri putra semata wayangnya yang sedang main mobil-mobilan sama Elin, baby sitter.
“Papi pulang, Noah,” sapa Irfan dengan merentangkan tangan, bocah tampan itu pun menoleh lalu beranjak dari duduknya di atas karpet, kaki mungilnya berlarian dan masuk ke dalam pelukan Irfan. Pria itu lantas mencium pipi Noah, lalu menatap dalam anaknya dengan tatapan yang berbinar-binar.
“Noah sudah makan?” tanya Irfan penuh perhatian.
“Cudah, tadi dicuapin cama Mba Elin, Pih,” jawab Noah apa adanya.
Irfan tersenyum getir mendengar jawabnya. “Kalau begitu Papi ganti baju dulu, sekarang Noah sama Mbak Elin di sini ya,” pinta Irfan sembari mengurai pelukannya.
Noah mengangguk paham, namun sebelum ia melanjutkan bermain bocah itu bertanya, “Papi oleh ecok Noah itut Papi ke kantor?”
Irfan yang baru saja ingin menegakkan punggungnya, kembali berjongkok dengan alisnya terangkat sebelah.
“Buat apa Noah ikut Papi ke kantor? Papi ke kantor untuk bekerja bukan buat bermain, Nak,” balas Irfan tanpa meninggikan suaranya.
“Noah au kasih aadiah, Papi,” ungkap Noah dengan bola mata mungilnya mengerjap-ngerjap.
“Kasih hadiah? Buat siapa hadiahnya?” tanya Irfan penasaran.
Nah, di sinilah Noah agak takut mengatakannya, bocah itu hanya menundukkan kepalanya. “Papi ndak oleh tau, anya Noah aja yang tau,” balas Noah pelan.
Perasaan Noah sangat halus dan termasuk tipikal yang sensitif, serta ingatannya sangat kuat. Dan, bocah ini suka berterima kasih pada seseorang dengan cara memberikan sebuah hadiah, hadiah kecil versi anak-anak. Tapi membuat hatinya sangat bahagia jika melakukannya.
Irfan menarik napas pelan, tangannya terulur mengusap pundak anaknya. “Jangan takut Nak, katakan sama Papi memangnya Noah mau kasih hadiah buat siapa? Nanti Noah bisa titipkan sama Papi, biar Papi yang berikan,” ujar Irfan tampak sangat sabar.
Noah mengangkat wajahnya, kembali menatap papinya. “Noah au na acih cendili Papi, oleh ya Noah itut, cebental aja, abis itu Noah ulang cama Mba Elin,” rayu Noah dengan kedua tangannya terkatup di dadanya, tatapannya pun memelas, memohon.
Hati Irfan penuh tanda tanya siapa yang mau ditemui sama Noah, tapi sehubungan kepalanya sedang tidak bisa diajak kerja sama akhirnya Irfan mengiyakan keinginan anaknya. Lalu ia lanjut menuju kamar utama.
Setibanya di kamar, tampak Sofia berbaring di sofa panjang, tatapannya fokus pada ponselnya. Dan sudah tentu jika di dalam kamar wanita itu tidak menggunakan hijabnya. Pria itu hanya terdiam melihat istrinya sibuk dengan ponselnya, sampai ia masuk ke dalam kamar tidak di sapa.
“Eh, Mas udah pulang, kapan nyampainya? Kok aku gak tahu?” tanya Sofia baru engeh.
Pria itu hanya tersenyum getir, “sejak kamu sibuk dengan ponselmu,” sindir Irfan.
Sofia langsung berdiri dan menghampiri suaminya yang kini sedang membuka kancing kemeja. “Maaf ya Mas, aku sampai gak tahu. Tadi aku lagi chat sama mama, habis curhat,” keluh Sofia.
“Ada masalah apalagi?” tanya Irfan seraya menatap wajah istrinya.
Sofia menarik napas dalam-dalam, iris matanya tampak mulai berkaca-kaca. “Tadi sore mama Mas ke sini, mama menyinggung masalah adik buat Noah. Mas, bukankah cukup dengan kehadiran Noah jadi penerus Mahesa. Kenapa sekarang diungkit lagi masalah anak! Aku udah sangat rela saat itu Mas menikah lagi tanpa sepengetahuan orang tua kita ... hingga wanita yang tidak aku kenal itu mengandung anak Mas. Tapi, untuk kali ini aku sudah tidak rela kalau Mas sampai menikahi wanita lain demi seorang anak lagi. Hatiku sakit dan tidak kuat berbagi suami dengan wanita lain. Andaikan waktu itu kita tidak mengalami kecelakaan mobil, mungkin rahimku gak diangkat dan aku pasti bisa mengandung anak Mas sendiri.” Tangisan Sofia pecah, kedua tangannya memukul-mukul dada pria itu, lantas Irfan memeluknya dengan perasaan bersalahnya.
Bersambung ... ✍️