Gara, cowok dengan semangat ugal-ugalan, jatuh cinta mati pada Anya. Sayangnya, cintanya bertepuk sebelah tangan. Dengan segala cara konyol, mulai dari memanjat atap hingga menabrak tiang lampu, Gara berusaha mendapatkan hati pujaannya.
Tetapi setiap upayanya selalu berakhir dengan kegagalan yang kocak. Ketika saingan cintanya semakin kuat, Gara pun semakin nekat, bahkan terlibat dalam taruhan konyol.
Bagaimana kekocakan Gara dalam mengejar cinta dan menyingkirkan saingan cintanya? Akankah Gara mendapatkan pujaan hatinya? Saksikan kisah cinta ugal-ugalan yang penuh tawa, kejutan, dan kekonyolan!
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Nana 17 Oktober, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
5. Tes Gravitasi?
Di luar, Gara mulai panik. Ia menggantung tanpa ada cara turun. ”Mampus gue! Ini gimana turunnya?" bisik Gara menyadari kakinya terjepit di jendela.
Dari dalam, lampu kamar tiba-tiba menyala. Anya, dengan wajah bingung dan mata masih setengah terpejam, keluar sambil mengucek matanya. Saat pandangannya fokus, ia terkejut melihat sosok Gara bergelantungan di luar jendelanya seperti koala kelelahan. Helm motornya masih nangkring di kepala, dan wajahnya pucat pasi.
"Astaga ...! Gara?! Apa-apaan ini?!" Anya menatapnya dengan campuran kaget dan tak percaya.
Gara, sambil tersenyum kaku dan berkeringat dingin, langsung memutar otak secepat kilat, "Eh ... gue cuma tes ... ya, tes ketinggian aja. Lagi eksperimen soal gravitasi, gitu ...." jawabnya dengan nada canggung, berharap Anya tidak semakin marah.
"TES GRAVITASI?" Anya menggeleng, menatapnya dengan tatapan tidak percaya, melipat tangan di dada. "Gravitasi? Tengah malam gini? Lo gila, Gar?"
Gara tertawa garing, mencoba tetap tenang meskipun wajahnya semakin canggung. "Eh, iya ... gravitasi. Maksud gue, 'kan penting tuh, buat tahu seberapa kuat ... gravitasi di sini. Jadi gue coba aja manjat biar ... ya, gitu deh," jawabnya terbata-bata, jelas-jelas kehabisan akal.
Melihat Anya masih menatapnya dengan wajah tidak percaya, Gara berusaha tersenyum, tapi kakinya yang terjepit di sela jendela malah mulai kejang. "Gue cuma ... mau kasih lo kejutan, gitu. Tapi kayaknya malah gue yang kaget sendiri."
Di saat yang sama, pintu kamar Anya terbuka. Orang tua Anya masuk dan melihat pemandangan di luar nalar itu: Di depan mereka, pemandangan yang absurd terjadi. Gara si cowok yang terkenal ugal-ugalan, tergantung dengan konyol di jendela kamar putri mereka. Satu kakinya tersangkut di sela jendela.
Bola mata Gara hampir keluar dari kelopaknya saat melihat kedua orang tua Anya. "Mampus gue! Ketahuan ortu Anya," batin Gara. Ekspresi wajahnya semakin amburadul seperti isi kepalanya yang acak adul mencari alasan apa yang akan ia katakan pada kedua orang tua Anya, jika kedua orang tua Anya bertanya tentang posisinya saat ini.
Ayah Anya mencoba menahan tawa, sementara Ibu Anya sudah setengah histeris. "Gara! Ngapain kamu di situ?!"
Gara tersenyum kecut. "Eh ... Bu. Saya cuma ..." Sementara tangannya mencoba mencengkeram apa pun yang bisa dia raih untuk menahan diri. Tetapi malang benar-benar tak dapat ditolak, untung tak dapat diraih.
*Krakk*
Mata Gara membulat bak bola pingpong. Jendela tempatnya bergantung itu terasa bergerak ke bawah.
*Brakk*
*Akhh!*
Jendela itu rusak, engselnya lepas, dan Gara jatuh bersama jendela yang dia cengkeram.
Gara terjerembab di lantai ketimpa daun jendela, meringis kesakitan. “Bu, ini nggak seperti yang ibu pikirkan. Saya cuma ... aaah! Sakit!”
Gara yang sudah setengah patah semangat dan tubuhnya mungkin hampir patah juga, hanya bisa menjawab dengan suara lemah, “Saya cuma ... cuma mau bilang hai ke Anya." Gara mengangkat sebelah tangannya dari lantai dengan susah payah, lalu melambaikannya.
“Hai?! Lewat jendela?!” Ibu Anya hampir tak percaya dengan jawaban konyol itu.
Ayah Anya yang masih mencoba menahan tawa di balik ketegangan, menatap Gara dengan tatapan penuh heran, "Kenapa nggak ketuk pintu aja? Ngapain kamu manjat jendela malam-malam kayak maling begini?"
Sementara Anya, yang berdiri di sudut ruangan dengan wajah memerah, setengah malu dan setengah bingung, hanya bisa memijat dahinya, tak tahu harus tertawa atau marah. "Lo nggak apa-apa?” tanya Anya akhirnya, memecah keheningan dengan suara pelan, meski terlihat jelas ia sedang menahan tawa melihat kekonyolan Gara.
Gara mengangkat satu jempol, masih meringis kesakitan. “Iya, cuma sedikit lecet ... dan mungkin ... terluka harga diri ... sedikit.”
Ayah Gara akhirnya tak bisa menahan tawa lagi. “Kamu benar-benar ugal-ugalan dalam segala hal, Gar. Lain kali, ketuk pintu saja kalau mau bilang hai. Nggak usah gaya ala Spiderman segala!"
"I-iya, Pak," sahut Gara’ sambil ngangguk cepat, terus buru-buru pamit. Gara kabur sebelum orang tua Anya sempet tanya lebih lanjut dengan helm masih nangkring di kepala.
Melihat Gara kabur dengan helm masih terpasang di kepalanya, Anya, yang tadinya berusaha menahan tawa, akhirnya tak bisa lagi menahan geli. Dia menutup mulutnya sambil tertawa kecil melihat kelakuan Gara yang konyol. Tatapannya penuh keheranan, tapi juga sedikit terhibur. Dalam hati, dia berpikir, "Orang ini benar-benar absurd, tapi lucu juga."
Sementara itu, ayah Anya masih tertawa sambil menggelengkan kepala. “Anak itu benar-benar ugal-ugalan. Tapi niatnya, ya, ada, meskipun caranya ... ya gitu deh.”
Ibunya Anya menatap daun jendela yang jatuh, sedikit terkejut tapi juga tersenyum geli. “Kasihan juga sih, mungkin dia beneran malu.”
Mereka bertiga sempat diam sebentar, lalu ayah Anya melanjutkan, “Jangan-jangan, besok dia nekat lagi bikin aksi baru buat bilang hai. Mungkin terjun payung dari atap rumah sebelah?”
Anya tertawa lebih keras kali ini. “Jangan sampai, Pak. Nanti genteng tetangga yang jadi korban.”
Ibunya ikut tertawa sambil berkomentar, “Ya, kalau begitu, kita siapin pintu aja buat diketuk, biar aman.”
***
Besok sorenya, Gara turun dari *Si Ugal*, motor bebek kesayangannya yang kelihatan lebih tua daripada si penunggangnya. Motornya sering dimodif sana-sini, tapi yang paling bikin bangga adalah “history-nya”. Dulu motor ini dibelinya dengan uang hasil jerih payahnya sendiri dari bekerja memetik lada dan kopi, cerita yang selalu diulang-ulang saat ngopi di warung Mas Jon. Begitu turun dari motor, langkah Gara terlihat agak pincang. Ternyata, aksinya tadi malam untuk membuat Anya terkesan malah berakhir tragis.
Masuk ke warung kopi dengan gaya sok santai, Gara menarik kursi dan duduk sambil mengusap-usap lututnya. “Yoyok, lu bikin gue malem-malem jadi atlit parkour gagal! Gue jatuh dari atap plus ditimpa jendela,” kata Gara sambil menyeringai menahan sakit.
Yoyok, yang duduk di ujung meja, langsung cengengesan, menyadari Gara menjalankan ide gilanya. “Eh, semua itu ada risikonya, bro! Lagian lu juga yang pengen manjat atap, 'kan? Gue cuma kasih ide, tapi eksekusi tetep di tangan lu!”
Darto, yang sedang mengaduk kopi tanpa gula, ikut angkat bicara. “Ya elah, Yoyok, lu kayak sales asuransi aja! Apa-apa ada risikonya. Gara udah kayak orang habis ditimpuk genteng, masih aja lu belain diri.”
Sambil menahan tawa, Yoyok menjawab, “Biarin aja, yang penting Anya bakal inget lu seumur hidup, Gar. Coba bayangin, cewek mana yang bakal lupa sama cowok yang jatuh dari atap dan ketimpa jendela? Itu epic, bro! Berkesan banget!”
Gara menggeleng lemah sambil menahan sakit di kakinya, “Epic apanya, yang ada ntar dia lihat gue langsung kabur! Gue turun dari atap, bukannya gaya pahlawan, malah jatuh kayak panci jatuh dari rak dapur. Untung aja gue pakai helm.”
Darto tak mau kalah komentar, “Helm itu nyelametin lu dari kena ‘cium’ daun jendela dan lantai, bro. Kalo enggak, sekarang kepala lu benjolnya udah kayak bola pingpong dan mungkin gegar otak. Tapi tetep aja, manjat atap demi bikin cewek terkesan? Lu mikirnya gimana, sih?”
Yoyok, yang sepertinya masih merasa aksinya bagus, angkat tangan, “Bro, setiap langkah di cinta itu harus berani ambil risiko! Orang yang nggak berani manjat atap, ya nggak dapet hati cewek. Lagian, mana ada cewek yang terkesan sama cowok yang cuma dateng, diem, ngopi doang? Pfft, lu harus beda, Gar! Makanya gue kasih ide itu.”
...🌸❤️🌸...
.
To be continued