Siapa sangka, Alya yang pernah memutuskan Randy 8 tahun lalu, membuat lelaki itu memiliki dendam mendalam. Hingga saat ini, Randy masih mencari Alya hanya untuk membalaskan rasa sakitnya. Sisa cinta dan dendam seakan saling bertarung di hati Randy.
Kehidupan Alya yang berubah drastis, membuatnya mau tak mau bekerja sebagai asisten rumah tangga yang tergabung di salah satu yayasan penyalur ART ternama.
Hingga takdir mempertemukan mereka kembali, Alya bekerja di rumah Randy yang kini sudah beristri. Di situ lah kesempatan Randy memperlakukan Alya dengan buruk. Bahkan, menghamilinya tanpa tanggung jawab.
“Andai kamu tahu apa alasanku dulu memutuskanmu, kamu akan menyesal telah menghinakanku seperti ini.” – Alya.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Byiaaps, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 16
Keesokan harinya, Randy dan Geni kembali mendatangi Gio di sekolahnya. Tapi kali ini, tampak Nana bersama Bu Puri sudah menunggu di sana. Entah mengapa, hari ini Bu Puri ikut menjemput anak-anak.
“Mau bertemu Gio lagi?” tebak Bu Puri ketika Randy dan Geni berjalan semakin dekat ke arah mereka.
Menganggukkan kepalanya penuh hormat, Randy meminta izin ingin menemui Gio sebentar saja.
“Bisa kita bicara?” tanya Bu Puri memberikan kode tangannya bila Randy bersedia bicara padanya.
Randy pun mengikuti Bu Puri sedikit menjauh dari tempat Nana dan Geni berdiri.
“Kamu ayah biolog*snya Gio? Ini alasanmu ingin terus menemui Gio?” Pertanyaan Bu Puri seketika menghunjam jantung Randy.
Terdiam sejenak, Randy kemudian mengangguk pelan. “Sebelum saya tahu Gio anak saya, hati saya seakan sudah jatuh padanya. Setelah tahu Gio anak saya dengan Alya, saya semakin rindu ingin bertemu setiap hari.”
“Masih bisa kamu mengakui dia anakmu, setelah apa yang sudah kamu lakukan pada Alya dan Gio saat dalam kandungan? Asal kamu tahu, saat itu, jam 3 dini hari, Alya datang sendirian ke panti dengan fisik yang rentan hingga akhirnya dia pingsan. Gio hampir cacat karena kondisi mental dan fisik ibunya bermasalah saat itu, karena ulahmu dan keluargamu! Sekarang, Alya pun masih berjuang menyembuhkan traumanya. Dia selalu ketakutan setiap bertemu dengan orang baru. Dia bisa tiba-tiba histeris, ketika ada orang asing yang mendekatinya, terlebih laki-laki,” jelas Bu Puri.
Bu Puri juga mengatakan bahwa untungnya Alya masih mengingat dirinya dan langsung menuju ke panti saat itu, andai mereka tak kenal, entah bagaimana nasib Alya dan anaknya kini.
“Mungkin dia sudah menjadi santapan orang-orang jahat sepertimu di jalanan,” lanjut Bu Puri.
Tak hanya itu, Bu Puri juga menceritakan betapa beratnya Alya menanggung kehamilannya sendirian tanpa suami. “Hingga saat ini pun dia tak tahu harus bagaimana menjelaskan pada Gio tentang statusnya. Lahir tanpa ayah dan tanpa pernikahan!”
Randy tertunduk lesu, penyesalannya begitu menyesakkan dada. Hanya bisa menelan salivanya kasar, ia pun menyadari sikapnya yang sudah melewati batas, padahal selama ini ia tak pernah dididik menjadi laki-laki kejam. Terlebih, ia melakukannya pada Alya, wanita yang masih ada di hatinya sampai saat ini.
Maaf pun tak akan cukup untuk menebus segalanya.
“Berhenti menemui Gio. Jangan buat hidup Alya semakin hancur. Biarkan dia memiliki hidup yang baru, tanpa terbayang-bayang masa lalunya yang kelam. Melihatmu hanya akan membuat psikologisnya semakin terguncang. Saya mohon,” tegas Bu Puri membuat Randy hanya bisa memandangi sang pemilik yayasan itu dengan mata nanar.
Tak lama, keseriusan pembicaraan mereka pun usai setelah mendengar teriakan Gio.
“Om,” panggil bocah kecil itu.
Gio pun berlari menghampiri Randy dan mengucapkan terima kasih padanya atas pemberian pizza kemarin. “Teman-teman Gio senang sekali, Om. Oh iya, Gio juga sudah sampaikan ke mama kalau Om minta maaf.”
Menyejajarkan tubuhnya setinggi Gio, Randy yang tak kuasa menahan kesedihannya setelah mendengar permintaan Bu Puri, berusaha tetap tersenyum lalu mengusap lembut kepala Gio.
“Mama bilang apa?” tanyanya dengan mata yang berkaca-kaca.
“Mama hanya bilang iya,” jawab bocah lucu itu.
Hingga Bu Puri mengajak Gio pulang, sedangkan Nana mengawal anak-anak panti yang lain untuk ikut pulang dengannya.
Hanya bisa diam, Randy tak ingin meminta waktu lebih untuk bertemu anaknya.
“Om, ayo ikut Gio ke panti. Nanti aku kenalkan sama mama dan teman-temanku yang lain,” ajak Gio membuat Randy tertegun dan semakin menahan perih hatinya.
Tanpa menunggu jawaban, Bu Puri kembali mengajak Gio pulang dan langsung menggandengnya begitu saja.
Dengan wajah sendunya, Gio terus memandangi Randy hingga jauh, begitu pun dengan Randy yang hanya bisa melambaikan tangan hingga air matanya terjatuh begitu saja tanpa bisa dikontrol.
***
Siang harinya, Bu Puri memanggil Alya untuk mengajaknya makan siang bersama.
“Kok Nana tidak diajak, Bu? Tadi katanya mau makan siang berempat.” Alya tak melihat temannya itu berada di meja makan.
Mengatakan bahwa mereka memang akan makan siang berempat, tapi bukan dengan Nana.
Tak lama, Pak Antonio datang bersama seorang lelaki dengan perawakan yang tak kalah gagah dari Randy.
Seketika Alya berlindung di balik tubuh Bu Puri.
“Tenang, Alya, dia orang baik kok. Bapak dan Ibu ingin mengajak kamu makan siang bersama Davin. Davin ini anak dari rekan kerjanya Bapak dulu. Sekarang, dia melanjutkan profesi ayahnya sebagai pengacara juga,” tutur Bu Puri memperkenalkan lelaki itu pada Alya.
Menyodorkan tangannya untuk bersalaman, Davin tak mendapat respon dari Alya yang masih tampak ketakutan.
Bu Puri lalu menarik tangan kanan Alya untuk menyambut uluran tangan Davin.
“Davin, senang bertemu denganmu, Alya,” ujar Davin memperkenalkan dirinya.
Hanya diam, Alya tak bicara.
Bu Puri lalu mempersilakan mereka semua untuk duduk dan mulai menyantap hidangan. Tak lupa, Bu Puri juga memamerkan masakan Alya pada Davin. Pemilik panti itu tak henti memuji keahlian Alya dalam memasak.
“Cocok, ya, jadi istri,” goda Bu Puri membuat Davin dan Alya tersipu malu.
Hanya mengambil makanan sedikit, Alya ingin cepat menghabiskannya agar ia bisa segera meninggalkan meja makan.
“Bu, Pak, Alya ke dalam ya,” pamitnya lalu bergegas pergi.
“Ya begitu lah Alya sekarang. Dia punya trauma seperti yang Ibu bilang tadi. Sulit sekali rasanya di bisa berbaur dengan orang baru, apalagi dengan laki-laki,” jelas Bu Puri.
Memakluminya, Davin merasa apa yang terjadi pada Alya biasa terjadi pada wanita yang pernah mengalami kekerasan fisik maupun mental dan seksu*l.
“Kalau Ibu tahu pelakunya, kenapa tidak diperkarakan saja? Itu sudah termasuk tindak kekerasan dan pemerkos*an,” lanjut Davin.
Menengahi percakapan antara Davin dan istrinya, Pak Antonio merasa hal itu tak perlu dilakukan, karena mereka tak ada bukti. Visum pun sudah terlambat. Lagi pula, memperkarakan hal ini hanya akan membuat trauma Alya semakin parah.
Hingga begitu lama berbincang setelah makan siang, Davin pun pamit kembali ke kantornya.
“Hati-hati, ya. Jangan lupa sering mampir ke sini untuk ajak Alya ngobrol,” pinta Bu Puri lirih.
Setelahnya, Pak Antonio mengajak istrinya bicara. “Jangan begitu, Bu. Alya berhak menentukan kehidupannya sendiri. Lagi pula, kita tidak tahu bagaimana si Davin itu.”
Merasa hal itu perlu ia lakukan, Bu Puri hanya ingin trauma Alya bisa sembuh dan mulai memperkenalkan kehidupan baru pada anak sahabatnya itu, setidaknya ia ingin Alya melanjutkan masa depannya juga masa depan Gio.
“Bapak lebih tahu tentang dunia pengacara,” ujar Pak Antonio berlalu pergi.
...****************...