Yaya pikir mereka benar sebatas sahabat. Yaya pikir kebaikan suaminya selama ini pada wanita itu karena dia janda anak satu yang bernasib malang. Yaya pikir kebaikan suaminya pada wanita itu murni hanya sekedar peduli. Tak lebih. Tapi nyatanya, ia tertipu mentah-mentah.
Mereka ... sepasang kekasih.
"Untuk apa kau menikahi ku kalau kau mencintainya?" lirih Yaya saat mengetahui fakta hubungan suaminya dengan wanita yang selama ini diakui suaminya sebagai sahabat itu.
(Please yg nggak suka cerita ini, nggak perlu kasih rating jelek ya! Nggak suka, silahkan tinggalkan! Jgn hancurkan mood penulis! Dan please, jgn buka bab kalo nggak mau baca krn itu bisa merusak retensi penulis. Terima kasih atas pengertiannya.)
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon D'wie, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Dapur
Rafi tampak bersemangat sekali siang ini. Itu karena ia akan makan siang dengan Yaya. Mereka sudah janjian di sebuah cafe yang tak jauh dari rumah sakit.
Rafi mengenakan kemeja berwarna hijau sage. Dipadupadankan dengan celana bahan berwarna hitam. Rambut tapi tertata klimis. Jangan lupakan aroma parfum yang tidak menyengat, tapi mampu membuat orang yang menghidunya terpesona. Belum lagi saat Rafi tersenyum membuat para wanita tak urung ikut menarik selarik senyum sebagai balasan.
Rafi yang penampilannya sudah rapi pun bergegas melintasi koridor lalu masuk ke salah satu lift yang akan mengantarkannya ke lantai dasar dimana tempat parkir khusus para staf medis berada. Saat pintu baru saja hendak tertutup, tiba-tiba pintu lift kembali terbuka. Lalu seorang gadis cantik masuk ke dalamnya.
"Raf, kamu mau kemana?" tanya gadis yang tak lain adalah Nora itu.
"Ada urusan," jawab Rafi datar.
"Kamu ada janji sama seseorang ya?" Nora menilik penampilan Rafi yang rapi. Belum lagi aroma parfum yang menguar menguatkan dugaannya kalau Rafi sedang ada janji dengan seseorang. Rafi memang sudah biasa berpenampilan rapi, hanya saja, di mata Nora Rafi terlihat jauh berbeda. Ia semakin memukau saja di matanya.
"Bukan urusanmu." Rafi bersikap acuh tak acuh. Kedua tangannya ia masukkan ke dalam saku celana.
"Ketus banget sih, Raf. Eh iya, Raf, boleh tanya sesuatu nggak?"
Dahi Rafi berkerut. "Apa?"
"Em, mbak Yaya itu ... beneran saudara kamu atau ... "
"Bukan urusanmu." Kembali jawaban itu yang Rafi lontarkan.
"Astaga, Raf, nggak bisa apa kamu lembut sedikit sama aku! Aku nanya baik-baik juga, tapi malah tanggapan kamu ketus banget." Nora mencebikkan bibirnya.
"Maaf kalau kamu merasa terganggu dengan sikapku. Aku hanya ingin menjaga jarak sebab jujur saja aku merasa risih dengan omongan orang-orang. Semua staf di sini hampir semua suka menggunjing ku dan mengatakan yang tidak-tidak tentang kita. Sampai-sampai kalau aku ngobrol dengan staf perempuan, mereka akan tak segan-segan menyindir seolah-olah aku sudah mengkhianati kamu. Kau pikir saja, siapa yang tidak risih diperlakukan seperti itu?" ucap Rafi tenang sambil menatap Nora lamat-lamat.
Nora merasa salah tingkah sendiri. Sedikit banyak, semua ada andil dirinya. Dirinya yang selalu mengekori Rafi lalu tanpa malu mengatakan para rekan-rekannya kalau ia memiliki hubungan spesial dengan Rafi. Meskipun belum jadian, tapi mereka sedang melakukan pendekatan.
"Maaf, aku ... aku ... "
Ting ...
Denting lift berbunyi nyaring bersamaan dengan pintu yang terbuka. Lalu tanpa menunggu jawaban dari Nora, Rafi pun segera beranjak menuju motor matic miliknya. Untuk memudahkan dirinya, memang Rafi lebih memilih menggunakan motor sebagai kendaraan. Apalagi ia hanya sementara saja di sana. Tak lama lagi, ia akan segera menyelesaikan masa koasnya dan melanjutkan tahap selanjutnya dengan mengikuti ujian sertifikasi yang diselenggarakan oleh instansi terkait, salah satunya adalah Kemristekdikti. Ujian ini bertujuan untuk memperoleh SKD atau Sertifikasi Kompetensi Dokter. Calon dokter yang lulus ujian sertifikasi akan kembali diwisuda dan diambil Sumpah Dokternya. Barulah setelahnya Rafi akan mengikuti program intenship selama 1 tahun agar ia bisa membuka praktik atau bekerja di rumah sakit yang dituju.
Melihat Rafi mengabaikannya begitu saja, jelas saja membuat Nora kesal sekaligus kecewa. Ia awalnya ingin berbalik naik ke lantai atas lagi, namun saat melihat salah seorang rekan kerjanya baru tiba mengendarai motornya, Nora pun segera meminjam motor itu untuk mengikuti kemana Rafi pergi.
Sementara itu, Rafi yang baru saja tiba di cafe pun melambaikan tangan saat melihat sosok yang ternyata telah tiba lebih dulu. Rafi tersenyum lebar sambil melangkah mendekat ke meja Yaya.
"Maaf, Mbak, telat."
"Nggak papa. Aku juga belum lama sampai kok."
"Mbak udah pesan?"
Yaya menggeleng. "Nunggu kamu biar pesen bareng."Rafi mengangguk. Lalu ia memanggil waiters dan mulai melakukan pemesanan. Setelah mencatat semua menu yang Yaya dan Rafi inginkan, waiters itupun segera pergi dari sana.
"Jadi nggak sampai 2 Minggu lagi masa koasmu selesai?" tanya Yaya antusias. Apapun yang berhubungan dengan kedokteran, Yaya memang selalu seantusias itu.
Rafi mengangguk. "Insyaallah. Doain ya, Mbak. Semoga nggak ada halangan."
"Aamiin. Doa yang terbaik untukmu." Rafi tersenyum.
"Setelah mengikuti ujian sertifikasi, kamu mau lanjut internship?"
"Iya, Mbak." Saat menjawab ibu, seorang pramusaji datang dan menghidangkan menu yang mereka pesan. Setelahnya, ia pun segera berlalu. Yaya dan Rafi pun kembali melanjutkan percakapan sembari makan siang.
"Dimana?"
"Dimana apanya?" Karena obrolan mereka sempat terpotong, Rafi jadi sedikit nge-blank.
Yaya terkekeh. "Internal dimana?"
"Antara dua pilihan sih, Mbak. Di sini atau di Jakarta."
"Di jakarta?"
"Ya. Kebetulan orang tuaku tinggal di sana."
"Wah, sama dong berarti!" Mata Yaya tampak bersinar antusias. Mereka pun melanjutkan percakapan mereka sambil menikmati santapan makan siang. Tanpa mereka sadari, ada sepasang mata yang sedang menatap mereka dengan penuh amarah.
"Sialan tuh cewek! Sebenarnya dia siapa sih? Kenapa Rafi jadi bela-belain ke sini cuma buat makan siang sama dia doang? Jangan-jangan benar kata kak Elvan. Kalau dia bukan saudara perempuannya, lantas siapa?" desis Nora penasaran.
Nora yang melihat bagaimana lembut dan perhatiannya Rafi pada Yaya sontak saja tersulut amarah. Tak mampu membendung emosinya yang kian meletup akibat cemburu, Nora pun memilih menyingkir dari sana.
...***...
Malam hari, di kediaman Andrian. Tampak laki-laki itu sudah tertidur pulas setelah mendapatkan service dari sang istri. Marissa yang memang belum memejamkan matanya pun memainkan ponselnya. Hingga sebuah chat masuk dan langsung dibuka Marissa.
[Kau belum tidur, Sayang?]
[Belum.]
[Bisa keluar sekarang?]
[Kemana?]
[Tempat rahasia kita. Diikuti emoji berbentuk hati di belakangnya.]
[Wait, me!] Balasnya yang juga disertai emoji berbentuk hati.
Marissa menutup aplikasi chat miliknya. Lalu berjalan mengendap-endap keluar setelah sebelumnya memastikan Andrian benar-benar tertidur pulas. Melihat situasi aman, ia pun diam-diam keluar kamar dan berjalan menuju dapur.
Saat tengah malam bahkan menjelang dini hari seperti ini, seperti biasa dapur akan begitu sunyi. Semua orang sudah tidur. Begitu pula dengan pembantu. Ini merupakan peluang emas bagi Marissa untuk bertemu dengan seseorang secara kucing-kucingan. Marissa tidak khawatir sama sekali. Sebab saat mereka masih bertetangga saja, mereka bisa mengendap diam-diam untuk bertemu lalu saling menuntaskan hasrat. Apalagi dengan situasi tinggal di satu atap yang sama. Itu bagaikan angin segar bagi keduanya.
Saat keduanya bertemu, tanpa babibu sang laki-laki menarik lengan Marissa dan mengungkungnya di dinding dapur yang remang. Tak butuh waktu lama, perabotan dapur pun menjadi saksi, menyatunya dua insan dalam hubungan terlarang.
...***...
...Happy reading 🥰 🥰 🥰...