Cintailah pasanganmu sewajarnya saja, agar pemilik hidupmu tak akan cemburu.
Gantungkanlah harapanmu hanya pada sang pencipta, niscaya kebahagiaan senantiasa menyertai.
Ketika aku berharap terlalu banyak padamu, rasanya itu sangat menyakitkan. Kau pernah datang menawarkan kebahagiaan untukku tapi kenapa dirimu juga yang memberiku rasa sakit yang sangat hebat ?
~~ Dilara Annisa ~~
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Bunda Yuzhi, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Maria Istriku
" Abang ! " Lirih suara Dilara sambil menatap dua sosok yang berdiri di belakang sang suami. Seorang wanita cantik berambut hitam lebat sebahu, tergerai indah. Dan tunggu dulu wanita itu lagi hamil kah ? Terlihat perutnya sedikit membuncit di balik dress selutut berwarna kuning pucat, sangat kontras dengan kulitnya yang putih bersih.
Di sisi wanita cantik itu, berdiri gadis kecil berwajah begitu mirip dengan sang wanita tersebut. Rambut gelombang gadis kecil itu dikuncir kuda dengan poni yang menutupi dahi, terlihat lucu dan menggemaskan.
" siapa mereka ? " Batin Dilara tiba-tiba resah. Dia jadi ingat percakapan sang suami dengan seseorang di telpon waktu itu. " Apakah mereka berdua ini yang menelpon abang waktu malam itu ? " Batinnya terus menerka.
Dilara mengerjapkan mata berkali-kali. Firasatnya mengatakan sesuatu yang buruk akan dialaminya hari ini. Seketika dia merasa denyutan nyeri bukan hanya terasa di dadanya. Perutnya tiba-tiba berdenyut hebat. Tubuhnya menegang menahan sakit yang menusuk nusuk di perut bagian bawahnya. Wajah cantik nan anggun itu seketika menjadi pucat pasi.
" Umi. Abi ! Kapan datang ? " Ucap Fikri canggung karena diperhatikan intens oleh istrinya. Laki-laki itu maju mencium takzim punggung tangan kedua orang tuanya.
Umi dan Abi Fikri belum menjawab. Atensi mereka berpusat pada dua sosok yang bersama Fikri tadi.
" Siapa mereka ? " Tanya Umi Fatimah lirih. Mata bulatnya menyorot tajam ke arah Fikri menuntut jawaban. Insting sebagai seorang wanita seketika waspada.
Fikri menelan salivanya dengan kasar. Ini bukan rencananya. Kenapa harus ada kedua orang tuanya di saat situasi seperti ini. Entah sejak kapan kedua orang tuanya ada di sini, dia tidak tahu. Andai dia mengatahui hal ini, dia pastikan rencananya akan berjalan mulus.
" Sayang ! " bukan menjawab pertanyaa ibunya, Fikri malah berjalan mendekati Dilara.
" Sayang ! " Fikri kembali memanggil istrinya yang terpaku dengan wajah terlihat pucat.
" Siapa mereka bang ? " Desis Dilara tanpa menyalami suaminya seperti biasa. Cilla yang tadinya merasa lapar langsung duduk di samping Dilara melihat kecanggungan yang tiba-tiba mencekam. Gadis kecil itu seperti merasakan hawa mencekam menyelimuti suasana yang tadinya hangat.
" Siapa mereka, Fikri ! " Sentak Umi Fatimah geram tak kunjung mendapatkan jawaban dari Fikri.
Fikri berdiri kaku menatap istri, orang tua dan kedua orang yang bersamanya tadi secara bergantian.
" Kenalkan ini Maria dan Annelies. " Ucap Fikri dengan suara lirih. " Maria adalah istriku. " Lanjutnya lagi semakin terdengar lirih di penghujung kalimat
" Duar " Ibarat suara petir menyambar, meskipun lirih, tapi ucapan Fikri mampu membuat Dilara dan kedua orang tuanya sangat terkejut, seperti disengat listrik.
" I-stri ?! " Gumam Dilara mirip bisikan. Tatapannya mendadak kosong. Tangannya bergerak meremas perutnya yang semakin nyeri. Aliran darah di tubuhnya seketika memompa deras memenuhi kepalanya. Seketika pendengarannya menjadi senyap.
" Plak ! " Suara renyah itu terdengar memecah kesunyian. Wajah tampan Fikri tertoleh ke samping. Umi Fatimah telah mengangkat tangannya menampar wajah tampan sang putra.
" Sejak kapan ? " Desis Umi Fatimah berang mendelik ke arah Fikri. Abi Farizi hanya mematung dengan tatapan tak dapat diartikan.
" Sejak kapan kau curangi menantuku ? " Sentak Umi Fatimah mengulang pertanyaannya. " Kapan kau menikah lag tanpa restu dari kami sebagai orang tuamu, haa ?! " pekiknya lagi.
" Dua bulan lalu. " Sahut Fikri lesu sambil tertunduk.
" Bruk ! "
" Bunda ! " Pekikan Cilla mengalihkan atensi orang yang sedang bersitegang.
Dunia Dilara menggelap. Wanita anggun itu kalah oleh keadaan. Kejutan yang membuatnya terkejut hebat serta tekanan sakit di fisiknya, telah mengalahkannya. Dia jatuh tak sadarkan diri.
" Bunda ! Bunda napa ? Huuu..uuu ! " Cilla histeris.
Fikri terkejut dengan mata melebar melihat tubuh sang istri rubuh di atas gazebo. " Sayang ! " Pekiknya panik.
Umi Farida dan Abi Farizi juga ikut terkejut. Kedua paruh baya itu bergegas mendekati Dilara.
" Sayang ! Kamu kenapa ? " Ucap Fikri panik sambil memeluk tubuh ramping sang istri.
" Bawa ke rumah sakit ! Kenapa kau hanya diam ! " bentak Umi lagi merasa geram melihat putranya tak juga bertindak.
Fikri tersentak seperti baru disadarkan. Sontak dia membopong Dilara dan berlari menuju mobilnya yang terparkir di pelataran rumah, di susul oleh Umi dan Abi.
" Cilla sama mbak Ina dulu. Nenek sama kakek bawa bunda ke rumah sakit. " Ujar Umi Fatimah sebelum menyusul Fikri.
" Iya, Nek. " Sahut Cilla patuh dengan isakan yang masih tersisa. Sedikitnya gadis kecil itu bisa mengerti keadaan.
Umi Fatimah menoleh sekilas ke arah wanita bersama anaknya tadi. " Urusan kita belum selesai ! " Ujarnya sinis lalu melanjutkan langkahnya.
" Glek " Maria mebelan salivanya. Dia merasa takut melihat tatapan tajam mengintimidasi dari Umi Fatimah. Wanita cantik berpostur sedang itu meremas cemas ujung rok yang dikenakannya.
Mbak Ina yang mengerti situasi datang menghampiri Cilla. " Dek Cilla, mari sama Mbak Ina. Kita makan di dalam ya sayang ! " Ucap art itu lembut kemudian menatap dua wanita beda generasi di depannya.
" Mari istirahat di dalam dulu bu. " Ajaknya juga pada tamu majikannya. Setidaknya wanita bersuku Jawa itu sudah mendengar tadi bahwa tamu ini adalah istri majikannya juga. Meskipun geram, dia tahu batasan. Dia hanyalah pembantu di sini. Dia wajib melayani tamu majikannya.
Fikri memangku kepala Dilara dengan penuh kecemasan. " Sayang, maafkan abang ! Maaf sudah menyakitimu sampai membuatmu shock. Bangun sayang ! Buka matamu ! " Ucap Fikri sambil mencium seluruh wajah istrinya dengan lembut.
" Abi.. Tolong cepat sedikit ! Aku tidak mau Lara kenapa-napa. " titah Fikri melupakan sopan santunnya.
Umi melirik putranya dengan tatapan sinis dari jok depan di samping Abi yang sedang mengemudi. " Cih...baru sadar menyakiti istri. Waktu menikah kemarin kemana otakmu ? Ada apa-apa dengan menantu Umi, Umi tidak akan memaafkanmu. " Tandas Umi tegas.
Fikri terkesiap. " Maaf ! " Lirihnya sambil tertunduk. Abi yang kosentrasi mengemudi hanya melirik sekilas pada Fikri lewat kaca spion. " Ini bukan waktunya berdebat ! " Ucap Abi singkat dengan suara tegas tidak ingin dibantah.
Umi melengos dengan wajah menyimpan kekesalan untuk anaknya. " Awas saja kalau menantu Umi kenap-napa, Umi tidak mengakui lagi dirimu sebagai anak Umi. " Sela Umi tanpa menghiraukan teguran Abi tadi.
Fikri hanya bisa tertunduk lesu tanpa ada niat menimpali Uninya.
Lima belas menit kemudian, mobil yang dikendarai oleh Abi memasuki gerbang rumah sakit dan langsung menuju depan bangunan ruang UGD.
Fikri membopong tubuh sang istri dan disambut oleh petugas nakes dengan brangkar. Laki-laki berbadan tegap itu meletakkan pelan tubuh istrinya dan membantu nakes mendorong brangkar.
" Bapak boleh tunggu di luar, kami akan menangani istri bapak. " Cegah salah satu nakes ketika melihat Fikri hendak ikut masuk.
" Tolong istri saya. " Ujar Fikri memelas dengan wajah frustasi.
" Kami akan berusaha sebaik mungkin pak ! " Sahut nakes itu menenangkan Fikri.
lanjut thor
..