Enam tahun silam, dunia Tama hancur berkeping-keping akibat patah hati oleh cinta pertamanya. Sejak itu, Tama hidup dalam penyesalan dan tak ingin lagi mengenal cinta.
Ketika ia mulai terbiasa dengan rasa sakit itu, takdir mempertemukannya dengan seorang wanita yang membuatnya kembali hidup. Tetapi Tama tetap tidak menginginkan adanya cinta di antara mereka.
Jika hubungan satu malam mereka terus terjadi sepanjang waktu, akankah ia siap untuk kembali merasakan cinta dan menghadapi trauma masa lalu yang masih mengusik hidupnya?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon DityaR, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Keluarga Kita
...Tama...
...ΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩ...
Enam tahun yang lalu...
Ian tahu.
Karena gue harus kasih tahu dia. Sejak minggu pertama Yesica ada di sekolah, dia tahu kalau semuanya berubah.
Iya, dia juga tahu kalau Yesica pindah ke rumah gue sekarang, dan Yesica juga tahu kalau Ian mengetahui semuanya. Tapi dia enggak akan bilang apa-apa.
Gue kasih Yesica kamar gue pas dia pindah, dan gue ambil kamar belakang. Karena kamar gue satu-satunya kamar yang punya kamar mandi sendiri. Gue mau Yesica dapat kamar yang terbaik.
“Lo mau gue taruh kardus ini di sini, Yes?” tanya Ian ke Yesica. Yesica tanya isinya apa, dan Ian bilang kalau itu semua isinya Bra dan celana dalam dia. “Mungkin gue harus taruh aja di kamarnya Tama.” Imbuh Ian.
Yesica melotot ke Ian. “Husssh,” katanya.
Ian ketawa. Dia suka karena dia ikut tahu rahasia pribadi kayak begini. Itu kenapa Yesica enggak bakal bilang apa-apa.
Ian pergi setelah semua kardus diangkut.
Bokap gue lewat dan berhenti. Berhenti berarti gue juga harus berhenti. “Terima kasih, Tama.”
Dia pikir gue oke dengan ini. Dengan kenyataan kalau dia membiarkan wanita lain menggantikan sisa-sisa kenangan Nyokap gue.
Gue enggak oke dengan itu. Gue cuma berpura-pura menerima, karena semuanya enggak penting.
Cuma Yesica yang penting.
Bukan dia.
“Oke,” jawab gue.
Bokap gue mulai jalan, terus berhenti lagi. Dia bilang dia menghargai gue yang selama ini sudah bersikap baik sama Yesica. Dia juga bilang kalau dia sebenarnya berharap dia dan Mama dulu bisa kasih gue seorang saudara waktu gue masih kecil. Dia bilang gue pasti bakal jadi kakak yang baik.
Kakak...
Yang...
Baik...
Kata-kata mengerikan itu keluar dari mulutnya.
Gue balik ke kamar Yesica. Gue tutup pintunya. Hanya kita berdua. Kita tersenyum.
Gue jalan ke dia, peluk dia, terus cium lehernya. Sudah tiga minggu sejak malam pertama gue cium dia. Gue bisa hitung berapa kali gue cium dia sejak itu.
Kita enggak bisa kayak begini di sekolah. Kita enggak bisa kayak begini di tempat umum. Kita juga enggak bisa kayak begini di depan orang tua kita.
Gue cuma bisa menyentuh dia pas kita lagi sendirian di rumah, dan kita belakangan ini jarang banget sendirian.
Kalau sekarang?
Sekarang gue cium dia.
“Kita harus bikin kesepakatan, biar kita enggak kena masalah,” katanya.
Dia menjauh dari gue. Dia duduk di meja belajar gue, dan gue duduk di tempat tidur gue.
Salah, dia duduk di mejanya, dan gue duduk di tempat tidurnya. Karena sekarang tempat ini bukan lagi kamar gue.
“Pertama,” katanya, “Jangan ciuman saat mereka di rumah. Gue takut.”
Gue enggak mau setuju dengan aturan itu, tapi gue malah mengangguk.
“Kedua, enggak ada raba-raba.”
Gue enggak mengangguk lagi.
“Selamanya?” tanya gue. Dia mengangguk.
Oh, gue benar-benar benci anggukan itu.
“Kenapa?”
Dia mengambil napas berat. “Itu bakal bikin semuanya jauh lebih sulit saat waktu kita mau habis. Lo tahu itu.”
Dia benar. Tapi dia juga sepenuhnya salah, dan gue punya firasat dia bakal sadar nanti.
“Boleh gue tanya aturan nomor tiga sebelum gue setuju sama aturan nomor dua?”
Dia senyum. “Gak ada aturan nomor tiga.”
Gue senyum. “Jadi raba-raba aja, kan yang dilarang? Tapi kalau pegang-pegang, boleh, kan?”
Dia nutup mukanya dengan tangan. “Ya, Tuhan, sama aja!"
Dia lucu banget pas malu. “Gue punya banyak banget hal yang pengen gue lakuin sama lo dan cuma ada enam bulan lagi untuk ngelakuinnya.”
“Kita lihat nanti, tergantung situasi,” katanya.
“Oke,” sahut gue, sambil mengagumi kemerahan di pipinya. “Yesica? Lo belum pernah?”
Pipinya jadi lebih merah. Dia geleng-geleng kepala dan bilang enggak. Dia tanya balik ke gue.
“Enggak sama sekali,” jawab gue, jujur. Dia mau pastikan kalau gue perjaka atau enggak, tapi suaranya malu-malu.
“Tapi sekarang setelah ketemu lo, gue enggak kepingin lagi jadi perjaka.”
Dia suka gue bilang itu ke dia.
Gue berdiri dan siap-siap ke kamar baru gue buat mulai beres-beres.
Sebelum keluar, gue kunci pintu kamar dia dari dalam, terus gue balik dan senyum ke dia.
Gue pelan-pelan jalan ke dia. Ambil tangan dia dan tarik dia sambil berdiri. Gue peluk dia dari belakang dan tarik dia ke arah gue.
Gue cium dia.
...Sintia...
...ΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩ...
"Gue harus ke toilet."
Amio mengeluh, "Lagi?"
"Ya iyalah, gue enggak pipis hampir dua jam," jawab gue sambil bertahan.
Sebenarnya, gue enggak benar-benar kebelet, tapi gue cuma butuh keluar dari mobil ini.
Setelah mengobrol sama Tama semalam, mobil ini rasanya beda kalo ada dia di dalamnya. Rasanya semakin canggung karena tiap menit yang lewat tanpa ada suara dari dia bikin gue jadi berpikir, sebenarnya apa yang ada di kepalanya?
Apa dia menyesal dengan obrolan kita semalam?
Apa dia bakal pura-pura itu enggak pernah terjadi?
Gue harap Bokap gue juga pura-pura kalau itu enggak pernah terjadi. Sebelum kita cabut tadi pagi, gue duduk di meja makan sama Bokap waktu Tama masuk.
“Tidur nyenyak, Tama?” tanya Bokap gue waktu dia duduk.
Gue kira dia bakal malu, tapi dia malah menyengir kecil.
“Enggak terlalu,” jawabnya. “Anak Om ngorok kalau tidur,”
Bokap gue mengangkat gelasnya ke arah Tama. “Bagus, itu akibatnya kalau kamu sekamar sama Amio.”
Untung saja Amio belum duduk dan dengar komentar Bokap gue soal itu. Tama diam sepanjang sarapan, dan satu-satunya waktu gue lihat dia ngomong lagi adalah waktu kita bertiga sudah di mobil.
Tama datangi Bokap dan salaman, ngomong sesuatu yang cuma bisa didengar sama Bokap gue. Gue coba baca ekspresi Bokap, tapi dia pintar banget buat menutupinya.
Bokap gue hampir sama jagonya kayak Tama dalam menyembunyikan pikiran.
Gue benar-benar ingin tahu apa yang Tama bicarakan ke Bokap tadi pagi sebelum kita cabut. Gue juga ingin tahu balasan Bokap gue dari pertanyaan-pertanyaan Tama.
Dulu waktu kecil, gue dan Amio selalu setuju kalo kita punya kekuatan super, kita berdua ingin bisa terbang. Tapi sekarang setelah gue kenal Tama, gue berubah pikiran.
Kalo gue punya kekuatan super, gue ingin bisa menyusup. Gue ingin masuk ke dalam pikirannya biar bisa lihat semua yang dia pikirkan. Gue ingin masuk ke hatinya dan sebarkan diri gue kayak virus. Gue bakal menyebut diri gue The Infiltrator.
Iya, itu keren juga kedengarannya.
“Yaudah, sono pipis,” kata Amio dengan nada kesal sambil mengerem mobil.
Gue harap gue masih SMA biar bisa memanggil dia ‘berengsek’. Tapi orang dewasa enggak panggil saudara mereka dengan sebutan itu.
Gue keluar dari mobil dan merasa sedikit lebih lega, sampai Tama juga keluar dari mobil dan masuk ke dunia luar.