Hanung Rahayu, seorang gadis periang dengan paras menawan. Sejak kematian sang ayah, Hanung tinggal bersama Ibu tiri dan ketiga adiknya.
Ibu Jamilah, Ibu tiri Hanung dulunya adalah abdi dalem di sebuah pondok pesantren yang ada di kotanya. Ketika Bu Nyai datang melamar Hanung untuk putranya, Ibu Jamilah menyerahkan keputusan sepenuhnya di tangan Hanung.
Dengan rela Hanung menerima lamaran tersebut, tanpa tahu calonnya seperti apa. Akankah Hanung mundur dari pernikahan? Bagaimana Hanung menjalani kehidupannya kedepan?
Note: Jika ada kesamaan nama, dan setting, semuanya murni kebetulan.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Meymei, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
2. Menabrak
Selesai dengan kegiatan pagi, Hanung bersiap untuk pergi ke kota menemui temannya. Katanya ada lowongan kosong di bagian fotokopi, sehingga Hanung mengenakan pakaian formal seperti kemeja dan rok untuk melamar. Tak lupa ia juga membawa berkas lengkap.
"Ibu nitip ini untuk Bu Nyai Khairunnisa, ya? Bayaran les kamu melimpah sampai kulkas tidak muat lagi. Kalau dikirim ke pesantren, bisa manfaat untuk santri-santri disana." kata Ibu Jam yang meletakkan kardus dan kantong plastik di meja.
"Iya, Bu. Tapi apa Ibu sudah mengabari beliau? Hanung takut jadi kambing cengo disana."
"Mana ada kambing cengo! Kang Rahim penjaga gerbang saja sudah kenal kamu." Hanung meringis.
Tentu saja kenal. Setiap ada kajian dan Ibu Jam tidak repot, beliau akan membawa Hanung ikut bersama menghadiri kajian.
"Siapa tahu bukan Kang Rahim yang menjaga, Bu." kilah Hanung.
"Benar juga!" Ibu Jam pun mengambil ponsel dan menghubungi Umi Siti, kepala dapur.
Ibu Jam mengatakan kalau Hanung akan kesana mengantarkan bahan makanan. Umi Siti menyambutnya dengan gembira. Beliau mengatakan akan menunggu Hanung di gerbang karena Kang Rahim sedang tidak bertugas.
"Benar kan, Bu?" goda Hanung.
"Iya-iya. Sana berangkat, hati-hati!"
Hanung mencium punggung tangan Ibu Jam. Ia meletakkan kardus di bagian depan motor dan kantong plastik ia masukkan ke dalam bagasi. Ia pun mengucap salam sebelum melajukan motornya ke arah kota.
Sekitar 30 menit kemudian, Hanung sampai di percetakan. Temannya mengatakan jika manager mereka baru saja keluar dan tidak bisa menerima lamaran saat ini. Hanung pun menitipkan berkas kepada temannya dan mengatakan untuk mengabarinya jika ada panggilan. Lalu Hanung beranjak menuju Pesantren Darul Ilmi yang tak jauh dari percetakan.
Hanung pun sampai 15 menit kemudian. Jika biasanya pesantren ada di pedesaan atau pinggiran, Pesantren milik Kyai Kholiq ini berada di kota dan dikelilingi kompleks perumahan. Akses kepasar bisa berjalan kaki, dekat dengan terminal bus dan tak jauh dari Sekolah Muslimin Muslimah tempat santri dan santriwati menimba ilmu selain ilmu pesantren.
"Hanung!" seru Umi Siti yang melihat Hanung berhenti di depan gerbang.
Segera petugas gerbang membukakan gerbang dan Hanung pun masuk ke parkiran yang disediakan. Setelah memberi salam dan mencium tangan Umi Siti, Hanung mengeluarkan kantong plastik yang ada di jok.
"Biarkan Rahmat yang mengangkatnya. Kamu ikut Umi." Umi Siti meminta Rahmat yang sebelumnya membukakan gerbang untuk mengangkat bawaan Hanung.
"Tumben sepi, Umi?"
"Iya, sebagian santri dan santriwati pulang karena libur 4 hari. Makanya Umi senang kamu datang."
"Jangan bilang Umi mau menahanku disini?" Hanung sudah merinding.
"Kata-kata kamu terlalu kasar! Umi cuma minta tolong kamu bantu-bantu memasak."
"Sama saja, Umi." keluh Hanung yang mendapatkan tawa Umi Siti.
Ia masih tak terbiasa dengan lingkungan pesantren karena ia dari kecil sudah terbiasa bebas. Walapun begitu, Hanung tetap mengikuti Umi Siti sampai ke dapur disusul Rahmat yang membawakan barang.
"Kalian itu suka repot-repot kirim bahan makanan, coba telepon kesini biar anak-anak yang mengambilnya."
"Kata Ibu tidak afdol kalau tidak diantarkan sekalian, Umi."
"Bagus itu, jadi kamu bisa bantu-bantu Umi sekalian." seru Umi yang mulai membuka isi kardus.
Ada pisang, singkong, Ubi, timun dan beberapa sayuran khas panen pedesaan, sedangkan kantong plastik berisi telur. Umi pun meminta Hanung untuk membantu beliau membuat pisang dan Ubi goreng untuk camilan sebelum makan siang.
Hanung menggulung lengannya menyisakan manset dan mengikat hijabnya kebelakang agar tidak terkena getah. Ia mulai mengupas pisang dan dilanjutkan mengupas Ubi, sementara Umi Siti membuat adonan tepung untuk pisang. Setelah mencuci bersih Ubi yang telah dipotong korek api, Hanung menyerahkannya kepada Umi Siti dan ia mengambil alih gorengan pisang.
"Loh, ada Hanung disini. Kapan datang?" tanya Bu Nyai Nisa yang baru saja masuk ke dapur.
"Baru saja, Umi." Hanung meraih tangan beliau untuk mencium punggung tangan.
"Kesempatan Siti ini, ada yang membantu."
"Iya Bu Nyai, kapan lagi Hanung berkunjung kemari." Hanung hanya terseyum.
Bu Nyai pun ikut membantu menggoreng Ubi, sambil menanyakan kabar Ibu Jam. Hanung menjawab pertanyaan beliau dengan antusias. Keduanya akhirnya selesai menggoreng dan Umi Siti juga sudah selesai membuat kopi dan teh.
"Habis ini kamu pulang, Nung?" tanya Bu Nyai.
"I.."
"Habis makan siang, Bu Nyai." jawab Umi Siti mendahului Hanung.
Bu Nyai hanya tersenyum, dan pergi meninggalkan mereka membawa nampan berisi gorengan kopi dan teh untuk Pak Kyai.
"Umi! Hanung ada jadwal les siang ini. Kasihan anak-anak menunggu." protes Hanung setelah tidak ada Bu Nyai.
"Kamu tinggal mengabari mereka apa susahnya?"
"Sebagian dari mereka tidak memiliki ponsel, Umi."
Umi Siti pun menepuk dahi. Beliau lupa kalau tempat tinggal Hanung masih pedesaan. Beliau akhirnya mengizinkan Hanung pulang setelah membantu beliau memarut singkong untuk dibuat bakwan. Hanung mengangguk setuju.
Setengah jam kemudian, mereka telah selesai memarut singkong. Hanung pergi membersihkan tangannya.
"Hanung, sampaikan salam Umi untuk Ibu mu." kata Umi saat Hanung mencium punggung tangan beliau.
"Iya, Umi." Umi Siti memeluk Hanun sebelum mengantar ke parkiran.
"Umi, Hanung ingin ke kamar mandi." cicit Hanung saat mereka hampir sampai di parkiran.
"Kenapa tidak dari tadi?"
"Baru saja ingin, Umi." Umi Siti menggeleng.
"Kearah sana saja lebih dekat. Kamar mandi untuk para ustadzah." tunjuk Umi kearah sela bangunan.
Segera Hanung berlari kearah yang ditunjuk. Sayangnya Hanung salah belok, hingga ia masuk kamar mandi yang merupakan kamar mandi para ustadz. Dan saat Hanung baru saja keluar dari kamar mandi, ia menabrak seseorang.
"Aduh!" seru Hanung yang merasakan sakit di pantatnya.
"Maaf, saya tidak sengaja." kata Hanung yang berusaha berdiri sambil membersihkan roknya.
Hanung menatap orang yang ia tabrak. Seorang laki-laki bertubuh tegap, berpenampilan seperti seorang ustadz dengan paras yang menawan. Tetapi anehnya, laki-laki tersebut hanya diam membatu.
"Maaf, saya tidak sengaja." Hanung mengulangi perkataannya.
Tetapi laki-laki tersebut justru berbalik dan meninggalkan Hanung begitu saja. Hanung bingung dengan situasinya saat ini. Ia pun mengabaikannya dan kembali menemui Umi Siti.
"Kenapa di kamar mandi khusus ustadzah ada laki-laki masuk, Umi?" tanya Hanung.
"Hah?" Umi Siti membola mendengar pertanyaan Hanung.
"Kamu tidak salah?" Umi Siti memastikan.
"Umi menunjuk gang itu kan?" Hanung menunjukan dimana ia menggunakan kamar mandi.
"Hanung.. Kamu salah, yang Umi tunjuk bukan itu. Tetapi yang ada didepannya lagi." Umi Siti kembali menepuk dahi.
"Jadi, Hanung yang salah?" Hanung meringis tanpa merasa bersalah.
Umi Siti hampir saja menjewer telinga Hanung kalau saja tidak berhijab. Beliau pun bertanya bagaimana penampilan ustadz yang ia tabrak dan Hanung menjawab apa adanya.
Hanya ada satu orang yang memenuhi kriteria seperti yang dijabarkan Hanung, tetapi Umi Siti memilih diam dan mengatakan akan mencari tahu nanti.
padahal udah bagus lho