Di pertengahan tahun 1980, Dewi merasakan pedihnya dijadikan tulang punggung layaknya sapi perah, tapi tetap dianggap sebagai benalu. Bahkan, KDRT kerap Dewi maupun anaknya dapatkan dari suami dan juga keluarga suami, yang selama 5 tahun terakhir Dewi nafkahi. Karenanya, Dewi nekat menjadikan perceraian sebagai akhir dari rumah tangganya.
Dewi bertekad bahagia bahkan sukses bersama kedua anaknya. Segala cara Dewi lakukan, termasuk menjadi ART, sebelum akhirnya menjadi warung keliling. Namun pada kenyataannya, menjadi sukses bukanlah hal mudah. Terlebih, Dewi masih saja diganggu orang-orang dari masa lalunya. Dewi sampai berurusan dengan hukum akibat fitnah keji, sebelum akhirnya mengikuti program transmigrasi di era Orde Baru yang tengah berlangsung.
Akan tetapi karena sederet cobaan itu juga, Dewi menemukan cinta sejati sekaligus kesuksesan yang selama ini Dewi perjuangkan. Kesuksesan yang membuat Prasetyo sekeluarga sangat menyesal!
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Rositi, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
8 : Tak Terima
“Saya tahu, Pak Mahmud dan Ibu Aminah peduli ke Dewi. Saya paham, Bapak dan Ibu sangat sayang kepada anak-anak kami. Namun jika cara kalian sampai ikut campur terlalu jauh, hal tersebut juga tidak dibenarkan!” ucap Prasetyo.
“Karena urusan pribadi kami, tidak sepantasnya dicampuri. Sementara alasan saya baru bisa datang, itu karena kemarin saya sakit dan sampai dirawat inap.”
“Kemarin, pas antar bos saya ke Purwokerto, yang awalnya mau sebentar agar saya bisa secepatnya urus Dewi dan anak-anak kami, saya malah baru bisa ke sini sekarang!”
Prasetyo berbicara panjang lebar dan sengaja mencari alasan paling masuk akal. Prasetyo yakin, alasannya akan membuat siapa pun yang mencoba menentangnya, menjadi merasa bersalah. Baik itu Dewi, maupun kedua bos Dewi yang tengah menghalang-halanginya.
Keyakinan Prasetyo barusan terbukti setelah ia melihat Dewi yang tak terlihat kesal seperti sebelumnya. Emosi di wajah Dewi meredup. Membuat wajah cantik yang jadi berseri-seri layaknya wajah bidadari, kembali diselimuti kedamaian.
“Benar kata ibu Retno. Wanita baru melahirkan memang jadi cantik banget melebihi saat masih perawan!” batin Prasetyo yang diam-diam mengagumi kecantikan sang istri.
“Jika alasannya memang begitu, ... aku mau-mau saja pulang dengan Mas, asal,” ucap Dewi sengaja menggantung ucapannya.
“Asal apa?” sergah Prasetyo jadi was-was.
“Beri aku dan anak-anak tempat tinggal khusus!” ucap Dewi. “Aku enggak mau disatukan lagi dengan keluarga kamu, jika aku yang selalu mereka anggap benalu dan tak hentinya mereka mak.i, terus diperlakukan layaknya budak!”
“Aku juga ingin kamu lebih tegas. Bedakan kewajiban kamu ke istri dan anak. Dengan kewajiban kamu mendidik keluargamu.”
“Andaipun kamu mau berbakti kepada ibumu, aku beneran enggak akan melarang. Namun tolong, bereskan dulu kewajiban kamu kepadaku dan anak-anak.”
“Kamu suamiku, tapi yang kamu nafkahi ibu dan saudara kamu. Menikah denganmu bukan membuatku menjadi tulang rusuk. Karena bersamamu dan keluargamu, aku malah kalian jadikan tulang punggung.”
“Jika memang Mas tidak sanggup, ... biarkan saya fokus menjadi tulang punggung anak-anak saja. Daripada bersama Mas, aku malah selalu kerja rodi. Jangankan dihargai, kepada anakku yang jelas-jelas darah daging kamu saja, kalian tega!” Air mata Dewi menetes membasahi pipi. Dewi sungguh menyinggung perceraian dan kali ini, ia mengucapkan dengan tegas.
“Mas sanggup?” tanya Dewi memastikan sambil menatap kedua mata suaminya penuh kepastian.
“Biar Pak Mahmud dan ibu Aminah menjadi saksi,” lanjut Dewi. Kemudian, ia menatap kedua bosnya yang duduk di sebelahnya.
Pak Mahmud dan ibu Aminah memang meminta Dewi duduk di sofa sebelah mereka. Keduanya tengah menjadi penengah, mencoba memperjuangkan nasib Dewi dan anak-anaknya. Sementara Prasetyo duduk di sofa tunggal depan mereka.
“Bagaimana Mas Pras? Mas Pras, sanggup?” tanya pak Mahmud sambil sesekali melirik iba pada Dewi yang jadi sibuk menyeka air mata.
Ibu Aminah merangkul Dewi, mengelusnya dan memang menguatkan.
“Duh, ... kok jadi gini? Kalau Dewi malah minta pisah dari keluargaku, siapa yang urus keluargaku? Mereka susah dapat kerjaan. Masa aku hanya diam sementara ketimbang mereka, Dewi lebih gampang cari kerjaan,” pikir Prasetyo.
“Soalnya satu bulan lalu, Mas Prasetyo pernah janji tapi ingkar. Saat itu pun, aku sudah sempat minta cerai. Aku dijanjiin secepatnya cari tempat tinggal pisah dari keluarganya. Mas juga janji akan berubah, tapi kemarin sebelum aku lahiran, mas malah gebu.kin Alif!” ucap Dewi.
“Andai sampai kejadian lagi, ... aku enggak segan lapor polisi loh, Mas!” lanjut Dewi.
Pada akhirnya, Prasetyo gagal mengajak Dewi pulang. Dewi tetap menolak, tak mau pulang ke kontrakan, meski Prasetyo berdalih Dewi dan anak-anaknya hanya akan satu malam di sana.
“Kalau kamu enggak mau pulang, ... masa iya, aku di sini juga?” keluh Prasetyo.
“Enggak apa-apa, Mas Pras. Untuk sementara kalian tinggal di sini. Daripada ditumpuk jadi satu di kontrakan. Dewi harus meladeni keluargamu. Fatalnya, anak-anak kamu termasuk yang masih bayi juga merasakan dampaknya,” ucap pak Mahmud.
Seseorang mengetuk pintu ruang tamu selaku ruang pertama setelah pintu masuk, dari dalam. Kemudian, pintu dibuka dengan hati-hati dan itu memang Alif seperti yang sudah Dewi maupun kedua bosnya duga.
Tangis bayi perempuan juga terdengar seiring pintu yang makin dibuka lebar. Alif melirik takut sang papa dan itu membuat jantungnya berdentam sangat kencang.
“Kenapa, Mas?” sergah Dewi yang sebelumnya sudah menyeka air matanya. Ia menghampiri Alif.
Tanpa berani untuk sekadar melirik Prasetyo, Alif berkata, “Mama ... dedek nangis.”
“Oh ... iya, iya. Ayo.” Dewi segera menggandeng sekaligus menuntun sebelah tangan Alif meninggalkan kebersamaan.
Sambil melangkah pergi, Alif melirik takut Prasetyo tanpa berani menyapanya. Alif masih sangat ingat, dirinya diam.uk oleh pria yang ia ketahui sebagai papanya, padahal dirinya korban. Kejadian itu terjadi kemarin pagi, sebelum mamanya melahirkan. Iya, saat itu Alif kembali merasakan sik.saan dari sang papa yang baginya jauh lebih sayang ke anak saudaranya, ketimbang kepadanya. Sang papa yang lebih mengutamakan anak saudaranya, ketimbang kebahagiaan Alif maupun Dewi.
Sikap keras Prasetyo tak hanya membuat Alif babak belur. Karena Prasetyo yang terus memak.sa Alif mengalah untuk tidak makan agar anak kakak adik Prasetyo bisa makan, membuat Alif sering kelaparan. Lambung Alif sering terasa sangat perih. Dan semua kejadian tersebut membuat Alif kecewa bahkan, dendam kepada papanya.
“Aku enggak boleh hanya diam. Aku harus menyusul dan meyakinkan mereka,” batin Prasetyo segera menyusul istri dan anak-anaknya. Tak lupa, ia juga sengaja izin dengan santun kepada pemilik rumah.
“Sepertinya mereka sudah telanjur kecewa kepadaku makanya mereka susah buat percaya. Beneran celaka kalau Dewi tetap enggak mau pulang!” batin Prasetyo.
Prasetyo langsung melakukan pendekatan. Namun di pojokan tempat tidur, Alif sudah diam ketakutan sambil menahan kebencian kepada papanya.
“Cantik sekali ...,” puji Prasetyo berusaha mengemban putrinya. Namun, tangis sang putri malah makin menjadi-jadi.
“Mungkin dia sudah sangat kecewa. Karena kalau Mas memang niat memperbaiki hubungan kita, apa pun caranya, pasti Mas bakalan langsung cari tempat tinggal buat kita,” ucap Dewi.
“Paling tidak, minimal Mas arahin keluarga Mas buat cari kerja. Masa hidup cuma makan sama dandan dan apa-apa harus disediakan. Kalau memang mereka niat kerja, jualan makanan apa jadi pembantu kayak aku juga bisa makan loh, Mas.”
“Bukan karena mereka enggak nemu-nemu kerjaan. Namun memang enggak niat. Atau kalau tidak, coba diajak kerja ke bos Mas. Sudah pada rumah tangga loh. Cuma bikin anak, dan masih kita juga yang hidupin!” ucap Dewi.
Kedua tangan Prasetyo mengepal kencang di sisi tubuh, sementara tatapan maupun rahangnya, benar-benar tajam kepada Dewi. Dewi paham, jika sudah begitu, Prasetyo sedang sangat marah. Begitulah Prasetyo, akan sangat marah jika keadaan keluarganya diusik. Padahal adik termuda Prasetyo saja, usianya dua tahun lebih tua dari Dewi dan itu laki-laki.
“MULUTMU KALAU MENGHINA KELUARGAKU MEMANG PALING BISA! MEMANGNYA KAMU PUNYA APA, BERANI BILANG BEGITU?!” tegas Prasetyo dengan suara lirih, tapi sangat geregetan. Suaranya saja sampai gemetaran di tengah dadanya yang bergemuruh menahan kesal.
“Loh, memangnya Mas amnesia? Jangan lupa, selama lima tahun terakhir, aku juga ngasih makan mereka. Mereka jadikan aku sebagai bu.dak!” lembut Dewi tapi itu karena ia sudah sangat kesal. Tak beda dengan Prasetyo, suaranya juga sampai bergetar, dan dadanya pun bergemuruh hebat.
Balasan Dewi makin membuat Prasetyo kesal. Rasa kesal yang menggebu-gebu dan membuat tangan kanannya terangkat tinggi. Ia sungguh siap menam.par Dewi yang telah lancang mengata-ngatai keadaan keluarganya, meski apa yang Dewi katakan, tidak ada yang salah.