“Meski kita sudah menikah, aku tidak akan pernah menyentuhmu, Mbi. Haram bagiku menyentuh wanita yang tidak mampu menjaga kesuciannya seperti kamu!” Kalimat itu Ilham ucapkan dengan tampang yang begitu keji, di malam pertama mereka.
Selain Ilham yang meragukan kesucian Arimbi walau pria itu belum pernah menyentuhnya, Ilham juga berdalih, sebelum pulang dan menikahi Arimbi, pria itu baru saja menikahi Aisyah selaku putri dari pimpinan tertinggi sekaligus pemilik pondok pesantren, Ilham bernaung. Wanita yang Ilham anggap suci dan sudah selayaknya dijadikan istri.
Arimbi tak mau terluka makin dalam. Bertahun-tahun menjadi TKW di Singapura demi membiayai kuliah sekaligus mondok Ilham agar masa depan mereka setelah menikah menjadi lebih baik, nyatanya pria itu dengan begitu mudah membuangnya. Talak dan perpisahan menjadi satu-satunya cara agar Arimbi terbebas dari Ilham, walau akibat talak itu juga, Arimbi mengalami masa-masa sulit akibat fitnah yang telanjur menyebar.
(Merupakan kisah Mas Aidan, anak Arum di novel : Pembalasan Seorang Istri yang Dianggap Sebagai Parasit Rumah Tangga)
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Rositi, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
23 : Selalu Merasa Benar Bahkan Suci
Sifat bahkan watak seorang Aisyah perlahan-lahan menguap tanpa harus diminta apalagi dipancing. Mungkin karena sudah menjadi kebiasaan dari Aisyah, yang mana Ilham juga menjadi berpikir, itu juga yang menjadi alasan Romo Kyai buru-buru menikahkan Aisyah. Agar ada yang bertanggung jawab secara khusus kepada Aisyah. Ibaratnya, Ilham mendapatkan sumbangan beban berupa Aisyah yang tak hanya bar-bar, tapi juga kriminal. Padahal jika melihat riwayat hidup walau hanya anak sambung, harusnya kehidupan di pesantren dan itu bukan hitungan hari, melainkan hitungan tahun, mampu menyadarkan Aisyah. Harusnya semua itu mampu melembutkan hati sekaligus pikiran seorang Aisyah.
“Aishh, kamu beneran bikin malu! Aku bahkan sudah berusaha menutupi aib kamu, tapi kamu malah cari gara-gara!” ucap Ilham yang masih membonceng Aisyah.
“Mas lagi, dari tadi terus belain Arimbi. Mas enggak tahu betapa terlukanya aku, setelah dia pamer tebar pesona ke orang tua Mas dengan cara pura-pura sibuk dan rajin padahal tadi Mas lihat sendiri Arimbi lagi kumpul-kumpul sama laki-laki dan bisa jadi, sebentar lagi, Arimbi juga digilir!” kesal Aisyah langsung berucap kencang sekaligus cepat.
Ilham menghela napas kemudian menggeleng tak habis pikir. “Dari dulu, Arimbi memang rajin, Aish. Dia sibuk kerja dari subuh sudah siap pecel dan jualannya itu. Dagang, dan sebelum kerja di rumah majikannya, dia masih sempat mampir ke rumah orang tuaku urus semua keperluan. Kamu jangan mikir macam-macam, kalau orang tuaku sampai bandingin kamu sama Rimbi, wajar. Habis terbiasa diurusi berlian yang sengaja kami buang malah dapat batu kali keropos dan lumutan macam kamu. Coba kamu ngaca, memangnya kamu istimewa? Kamu bisa apa? Tiga hari di rumahku kamu cuma di kamar dan baru keluar kalau lapar. Itu pun kamu enggak mau makan masakan ibuku!”
“Kamu enggak usah sibuk urusin kehidupan orang lain apalagi kehidupan Arimbi karena kamu saja enggak suci. Yang sudah terbiasa digilir bahkan menyerahkan diri buat dieksekusi celup-celup itu kamu, bukan Arimbi maupun wanita lain.”
“Terbukti, yang ada di pikiran kamu ya begituan semua. Terbukti, yang keluar dari mulut kamu enggak jelas semua. Alasan yang bikin aku, ihhh ... aku sampai jijiiik buat nyentuh kamu apalagi menggaulli kamu!” Ilham benar-benar geregetan.
“Kalau Mas terus memojokkan aku, aku enggak segan minta teman-temanku buat kasih Mas pelajaran!” ancam Aisyah masih merasa dirinya paling benar.
“Alahh, taiii, lah. Kamu otaknya beneran sudah rusakk. Kamu coba ngaca, otak sama hati bahkan kelaammin kamu enggak kalah rusak dari fisik kamu! Lihat saja nanti apa yang terjadi kalau kamu terus bikin ulah gini!” balas Ilham muak. Namun, Ilham juga sangat terkejut lantaran Aisyah tak segan membogem punggung kepalanya.
“Adduh, Aisyhhhhhh! Sakit!” kesal Ilham. Ia buru-buru menghentikan laju motornya, memaksa Aisyah untuk turun.
“Kurang ajjar kamu yah! Beneran wanita demit! Sudah pernah dicerai beberapa kali masih enggak introspeksi!” kesal Ilham sambil menatap marah Aisyah. “Pokoknya mulai hari ini juga, kamu wajib urus pekerjaan rumah, kamu juga urus sawah, biar kamu ada kesibukan, enggak sibuk urus orang terus!” tegas Ilham tak menerima bantahan.
“Kamu berani suruh-suruh aku apalagi atur-atur hidup aku sesuka kamu, aku pastikan kamu enggak punya tempat lagi di pesantren, Mas!” ancam Aisyah.
“Alah, taaai, lah. Dikiranya kamu sehebat itu? Kalau orang pesantren masih mau urus kamu, mereka enggak mungkin sumbangin kamu yang bermasalah, cuma-cuma ke aku!” balas Ilham tak mau ditindas.
Aisyah langsung mingkem dan melirik sinis Ilham yang baru saja kembali menyalakan mesin motornya. “Pokoknya nanti malam aku mau, yah, Mas!”
Dengan entengnya, Ilham berkata, “Sana sama kucing!” Ia mengemudikan motornya lagi dan kali ini sengaja memilih jalan yang rusaak.
“Dosa kamu kalau tetap enggak mau mengaulli aku karena sudah jadi kewajibanmu memberiku nafkah lahir batin!” sewot Aisyah.
“Tergantung sikap kamu, kalau kamu masih enggak bisa jaga sikap, ya maaf. Lihat kamu sama kelakuanmu saja, aku nadjjees!” balas Ilham tak mau ambil pusing.
Membuat sekelas Aisyah makin kesal dan lagi-lagi menargetkan Arimbi sebagai pelampiasannya. “Ini Mas apa-apaan, sih? Pilih jalan kok yang rusakk, enggak jelas gini!” Kesalnya apalagi ia sampai nyaris jatuh dari boncengan hingga ia buru-buru mengeratkan dekapannya terhadap pinggang Ilham.
“Nasibku sudah telanjur russak semenjak aku nikahin kamu! Beneran ibarat beli kucing dalam karung!” balas Ilham sambil terus memilih jalan berlobang bahkan sampai yang digenangi air sisa hujan dan itu mirip susu cokelat yang sangat kental.
“Mas, ih. Gamis aku kotoooor! Itu saja lima belum dicuci sama ibu kamu, padahal sudah aku taruh terang-terangan di sumur!” protes Aisyah.
“Geblek saja, mertua kok disuruh nyuci baju mantu perempuan! Kurang ajjar banget, bukannya nyuciin punya mertua malah nyuruh-nyuruh buat nyuciin!” balas Ilham.
“Makanya beliin mesin cuci, biar gampang! Masa iya, anak petinggi sekaligus pemilik pondok pesantren ternama, diperlakukan semena-mena.
“Anak apaan? Kamu hanya anak sambung dan kamu enggak berhak menuntut lebih apalagi jadi ahli waris!” balas Ilham.
“Seenggaknya derajatku lebih tinggi dari kamu, Mas!” yakin Aisyah.
Ilham yang telanjur kesal, sengaja menabrakkan motornya ke batu agak besar di hadapannya. Ulahnya itu tak hanya membuat Aisyah akhirnya jatuh. Karena ban depan pun langsung kempes.
“Kebangetan kamu Mas!” kesal Aisyah.
Sepanjang perjalanan pulang menuju rumah Ilham dan masih jauh selain jalannya yang sangat memprihatinkan, Aisyah tak sudi mendorong motor walau itu bertujuan membantu Ilham.
“Kamu kualat Mas, makanya jangan jahat-jahat ke istri sendiri!” kesal Aisyah.
Ilham tak menggubris teguran Aisyah yang terus mengeluh di belakangnya. Keluhan yang tentu saja membuat beban hidupnya makin membludak.
Sementara itu, dalam diamnya Arimbi terus bertanya-tanya, apa yang membuat wanita suci sekelas Aisyah tampak begitu dendam kepadanya, padahal jika melihat pada kasus mereka, harusnya malah Arimbi yang dendam.
“Kalau dia sampai macam-macam, Mbak balas saja. Bilang ke saya, nanti saya yang urus! Lagian, tuh orang ngapain masih di sini, enggak balik ke pesantren saja?!” ucap Mas Aidan yang jujur saja masih sangat kesal.
Arimbi yang baru akan membungkus pecel pesanan pembeli, langsung mengangguk-angguk sambil menatap mas Aidan. “Iya, Mas. Makasih banyak.”
“Ya sudah, saya pamit dulu, harus siap-siap kerja,” lanjut mas Aidan.
Azzam yang dari awal, sudah langsung menyimak, buru-buru memesan sepuluh porsi pecel lengkap dengan lontong dan gorengan. “Mbak Arimbi ini, diperhatikan mas Aidan saja enggak baper. Apalagi kalau modal rayuan gombal,” batinnya yang kemudian memberanikan diri untuk berkata, “Yang jual, sekalian dibungkus, dijadikan istri, boleh, enggak, Mbak?”
“Enggak boleh, Mas. Nanti enggak ada yang jualan pecel lagi,” balas Arimbi yang langsung menggeleng tegas sambil menatap Azzam.
Mas Aidan tak bisa berkomentar. Ia mesem sambil mengelus-elus punggung sang adik yang tetap tersenyum ceria memandangi wajah Arimbi walau rayuan gombalnya terus ditolak.
bnyk pelajaranny...
bikin kita ga stres
malah ky orang stres ktawa mulu
thor tetep sabar dan ikhlas ya
pokoknya novelmu sungguh luar biasa...
semangat 💪
Semangat ya bikin ceritanya/Rose/