Pernikahannya dengan Serka Dilmar Prasetya baru saja seminggu yang lalu digelar. Namun, sikap suaminya justru terasa dingin.
Vanya menduga, semua hanya karena Satgas. Kali ini suaminya harus menjalankan Satgas ke wilayah perbatasan Papua dan Timor Leste, setelah beberapa bulan yang lalu ia baru saja kembali dari Kongo.
"Van, apakah kamu tidak tahu kalau suami kamu rela menerima Satgas kembali hanya demi seorang mantan kekasih?"
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Hasna_Ramarta, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 11 Mulai Melupakan
Dilmar merasa bingung dengan balasan chat yang diberikan Vanya. Lalu ia mencoba menghubungi Vanya dengan vidio call. Akan tetapi lagi-lagi Vanya tidak mengangkatnya.
"Kenapa sih Vanya ini, tidak pernah mau mengangkat telponku?" kesalnya penuh emosi.
Dilmar begitu frustasi, sampai ia mengabaikan panggilan Danton Baja melalui HT nya.
"Danru Dilmar, bagaimana situasi dan kondisi di sana? Apakah aman?" ulangnya, kali ini Dilmar menyadarinya.
"Siap. Ijin menyampaikan, situasi dan kondisi di pos 45 aman terkendali, tidak ada pergerakan yang mencurigakan dari negara tetangga," balas Dilmar.
"Siap, laporan diterima." Danton Baja mengakhiri panggilan di HT nya. Dilmar lega. Namun kepalanya kembali dilanda frustasi memikirkan sikap Vanya yang semakin hari semakin berubah dan tidak peduli. Dilmar belum sadar bahwa perubahan Vanya dipicu oleh foto-foto dirinya yang dikirimkan salah satu temannya dan juga Sela.
***
Besoknya, setelah pergantian jaga, Dilmar segera menuju barak untuk membersihkan diri. Kepalanya yang pening sejak semalam, rasanya ingin segera ia siram dengan air. Sebelum tiba di barak, Dilmar sempat bertemu dengan Sela yang sudah berpakaian Perawat. Dia sudah berada di depan mess sembari memberikan sebuah senyuman manis untuk Dilmar.
Dilmar tidak membalas, yang ada kepalanya tambah sakit, saat ingat kalau Sela justru mengabadikan foto ciuman itu di dalam barak pengobatan. Dilmar jadi was-was jika foto itu kemudian disebar Sela pada pihak lain.
"Celaka jika Sela menyebarkan foto itu," renungnya lagi sembari mempercepat jalannya menuju barak.
Di dalam barak, Dilmar tidak segera menuju pemandian, ia justru membaringkan tubuhnya yang lelah secara fisik maupun pikiran.
Dilmar termenung kembali, kata-kata Dilan tempo hari yang memperingatinya untuk segera menyudahi hubungannya dengan Sela, ternyata kini ada benarnya. Sela mulai berani ambil foto kedekatan mereka lalu dikirim untuknya, tidak menutup kemungkinan Sela mengirimkan foto itu pada yang lain. Dilmar menghembuskan nafasnya kasar berulang kali, menandakan ia sedang gelisah dan galau. Hal ini disadari oleh kedua teman leting, Roby dan Dilan.
"Ada yang sedang galau nih, Danru Dilmar galau karena beda shift dengan Suster Sela," goda Roby sembari membaringkan tubuhnya di dipan besi Dilmar seperti biasanya.
Dilmar tidak menyahut, kepalanya cukup pusing jika harus melayani satu makhluk usil seperti Roby yang cukup frontal jika sudah menggodanya.
"Ngopi dulu, Pot." Dilan datang memberikan kopi kepada Dilmar dan Roby. Roby langsung bangkit menerima kopi buatan Dilan. Dilan memang salah satu teman leting yang sedikit bijaksana dibanding Roby yang kadang mulutnya comel. Tapi anehnya mereka masih tetap dekat, meskipun sesekali pertemanan mereka terlibat cek-cok.
"Beda shift, baguslah itu." Dilan menanggapi celotehan Roby diawal. Kembali otak Dilmar memanas karena kedua temannya justru masih membahas Sela yang kini beda shift dengannya.
"Bisa, tidak, kalian duduk diam sambil menikmati kopi di gelas kalian? Tidak perlu menyinggung urusan orang lain, lama-lama kalian persis ibu-ibu komplek yang suka ngerumpi lalu gibahan kejelekan orang," sungut Dilmar kesal.
"Ada yang marah rupanya? Sepertinya setelah dicuekin yang di rumah, kini baru terasa kehilangan. Persis lagunya Bang Haji Rhoma, kalau sudah tiada, baru terasa, bahwa kehadirannya sungguh berarti," goda Rudy lagi seolah tahu apa yang sedang Dilmar rasakan saat ini.
Dilmar mengalihkan tatap pada Roby, dia curiga Roby tahu sesuatu. Ditatap penuh curiga seperti itu, Roby santai saja sembari menyeruput kopinya dengan nikmat.
"Wowww, nikmatnya kopi buatan Serka Dilan, tiada duanya," cetusnya sembari mengangkat cangkir kopi itu tinggi-tinggi. Dilan mesem, ia tahu apa yang dilakukan Roby hanya pengalihan isu.
"Sebulan lagi kita akan kembali ke kesatuan, pastinya kita akan merindukan kembali masa-masa perjuangan kita di sini," ujar Dilan sembari melempar tatapnya ke depan.
"Pastinya dong, terlebih yang punya cem-ceman di sini, pasti susah melupakan," sindir Roby lagi seraya mengalihkan tatap ke arah Dilmar.
Dilmar bangkit, lalu meletakkan cangkir bekas kopinya di atas meja dengan kasar sehingga menimbulkan suara gaduh. Roby dan Dilan saling lempar tatap dan memberi kode. Setelahnya mereka berdua melihat Dilmar menyambar handuknya yang digantung, lalu bergegas menuju pemandian.
"Biarkan dia pening sendiri memikirkan jadwal shift yang berbeda dengan Suster Sela. Kalau dipisahkan, kemungkinan bertemu mereka akan sedikit," tukas Dilan seraya bangkit menuju dipannya dan bersiap mandi menyusul Dilmar.
***
"***Sayang, tolong angkat telpon abang, abang mau bicara***," pintanya suatu kali kepada Vanya yang diketahui WA nya sedang on. Sayang sekali Vanya tidak membalas apapun.
"***Ada apa sih kamu, angkat telpon aku? Aku mau bicara dan memberitahu kamu. Tolong hargai aku, aku sudah pergi ke tempat yang banyak sinyal untuk menghubungi kamu, tapi kamu tidak peduli***," pesannya lagi dengan nada marah. Dilmar tidak habis pikir ada apa dengan Vanya.
"Sialan," umpatnya.
"***Aku hanya ingin bertanya samamu Vanya, kenapa uang yang setiap bulan aku kasih lewat ATM yang kamu pegang, tidak pernah kamu pakai? Apakah kamu sudah merasa banyak uang sehingga tidak memakai uang kiriman aku***?" Kembali Dilmar mengirimkan pesannya dengan nada tegas.
Pertanyaan itu sepertinya cukup memancing Vanya untuk membalas chat dari Dilmar.
"***Nanti ATM nya Vanya kembalikan setelah Abang pulang***." Jawaban Vanya cukup menohok ulu hati Dilmar, dia merasa disepelekan oleh Vanya.
"***Tunggu aku pulang. Kamu akan tahu apa yang akan aku lakukan padamu atas sikap tak acuh mu padaku, Vanya***," balasnya dengan caption marah. Dan Vanya tidak lagi membalas pesan WA Dilmar. Ia keluar dari ruang chat dan WA nya kembali tidak aktif.
"Sialan." Dilmar emosi mendapati sikap Vanya yang cuek. Dilmar tidak sadar bahwa sikap Vanya seperti itu adalah akibat dirinya.
***
Bulan pun berganti, hanya tinggal sebulan lagi Dilmar dan rekan-rekannya bertugas di perbatasan Papua dan Timor Leste. Dilmar merasa bahagia, karena sebentar lagi ia akan kembali ke kesatuannya.
Namun, bahagia Dilmar tidak disertai dengan kebahagiaan yang lain. Sebab, selama kurang lebih delapan bulan dirinya bertugas di perbatasan Papua-Timor Leste, sikap Vanya berubah dan seolah tidak peduli dengannya. Vanya tidak pernah berusaha menghubunginya, Vanya benar-benar seakan melupakan dirinya.
Bahkan sejak itu, Vanya tidak lagi membuat status apa-apa. Tentang dirinya atau tentang apapun.
"***Kak Dilmar, nanti malam kita ke kafe di desa sebelah. Aku ada kejutan untuk Kak Dilmar***." Sebuah pesan WA masuk dari Sela. Dilmar tersenyum. Untuk sejenak kebersamaannya dengan Sela bisa melupakan sikap Vanya yang tidak menghiraukannya. Dilmar menganggap kalau Selalah orang yang selalu menghiburnya dikala hatinya sedih karena dicuekin Vanya.
***
nyesel atau marah sama Vanya....
lha gmn tidak ..ms Vanya masih kepikiran takut kalau gigi Dilmar ompong ...😁
𝗅𝖺𝗇𝗃𝗎𝗍 𝗒𝖺 𝗄𝖺