WA 089520229628
Sebuah kisah tentang seorang istri yang dikhianati suami juga sahabat baiknya sendiri. Yuk mampir biar karya ini ramai kayak pasar global.
Karya ini merupakan karya Author di akun lain, yang gagal retensi. Dan kini Author alihkan di akun Hasna_Ramarta. Jadi, jika kalian pernah membaca dan merasa kisahnya sama, mungkin itu karya saya.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Hasna_Ramarta, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 5 Bima Mencari Sauza
Subuh menjelang, adzan Subuh pun terdengar di mana-mana, sehingga membuat Bima terbangun. Saat tubuhnya mulai tersadar, Bima meraba sisi sampingnya yang ternyata sudah kosong. Sauza tidak ada dan menghilang.
Bima bangkit lalu memeriksa lemari baju Sauza yang masih penuh. Tapi sepertinya ada sebagian yang sudah tidak di dalamnya.
"Sauzaaa, kamu di mana, kamu jangan pergi," teriak Bima sembari mencari Sauza ke seluruh ruangan. Tapi Sauza sudah benar-benar tidak ada. Bima kembali ke kamarnya dan termenung di ranjang.
Sauza pergi dan hanya membawa barang-barang pribadinya. Ia membawa sebagian bajunya dan perhiasan emas pemberian mahar saat menikah dengan Bima.
"Sauza, kamu berani pergi. Lihat saja, aku pasti menemukanmu." Bima kesal dan melempar semua benda yang berada di meja rias.
Sebelum mama dan papanya datang, Bima segera beranjak dari kamar. Dia bermaksud mencari Sauza.
"Pokoknya aku harus menemukanmu, Za. Kenapa kamu pergi, Za?" gumamnya sambil meraih jaket dan mengenakannya, lalu bergegas keluar kamar dan menuruni tangga.
Bima segera mengayun langkah menuju mobilnya. Mobil itu pun melaju membelah jalanan kota yang kira-kira dilewati Sauza.
"Akan ke manakah dia? Sejauh ini Sauza hanya menghabiskan hari-hari di sekitar kota ini. Mana mungkin dia bisa keluar kota, dan itu sangat tidak mungkin. Tapi, Suaza dulu pernah ke terminal bus. Ahkk, jangan-jangan dia ke sana," duga Bima baru kepikiran. Dan firasatnya kini justru menduga kalau Sauza sedang menuju terminal antar kota antar provinsi.
"Aku harus segera ke sana, mudah-mudahan saja Sauza masih di sekitaran terminal. Ya Tuhan, kenapa harus seperti ini jadinya? Kenapa Sauza bisa memergoki aku dan Mira di hotel, dan kenapa Sauza bisa membuntuti mobilku?" Bima meremat rambutnya kasar dengan sebelah tangannya, dan tangan sebelah kanan tetap fokus dengan setir.
"Ayolah, Za, perlihatkan dirimu. Kamu tidak mungkin pergi jauh, kamu jarang bepergian keluar kota. Aku yakin kamu masih di dalam kota ini," harap Bima masih melajukan mobilnya di jalanan kota Bandung yang masih lancar karena masih pagi.
Satu jam kemudian, Bima sudah tiba di terminal Leuwipanjang, terminal yang bisa menghubungkan antar kota antar provinsi. Bima tahu bis-bis AKAP di terminal ini, hanyalah mengantarkan penumpang ke kota-kota bagian barat dari provinsi Jawa Barat. Dan jika dugaan Bima benar, Sauza pasti akan pergi yang paling jauh hanyalah ke kota-kota wilayah barat provinsi Jawa Barat saja.
"Apakah bis MGI itu?" duganya menunjuk bis berwarna biru tua dengan tulisan MGI italik besar berwarna putih yang khusus mengantar penumpang ke kota Sukabumi. "Atau Prima Jassa yang mengantar penumpang ke kota Bekasi, Cikarang dan sekitarnya. Atau Arimbi, yang mengantarkan penumpang khusus ke pelabuhan Merak dan sekitarnya?"
Bima melajukan mobilnya melewati lajur angkot yang mulai dilewati angkot-angkot. Matanya fokus ke sebelah kiri memperhatikan setiap bis yang mulai berjalan menuju pintu keluar.
Setelah lajur angkot habis, Bima menepikan mobilnya tepat di samping kiri pintu keluar bis. Lalu ia keluar dan berdiri di atas trotoar mengamati satu per satu bis yang akan melewati jalur itu, berharap Sauza ada dalam salah satu bis yang lewat itu.
Bis yang diduga dinaiki Sauza, mulai diamati Bima satu persatu. Dengan berdiri mendongak seperti itu, ia bisa mengenali Sauza dari luar meskipun hanya terlihat kepalanya saja.
"Ya ampun sudah beberapa bis AKAP yang aku amati, tapi Sauza belum terlihat kepalanya, bagaimana ini. Harus ke mana aku mencari dia?" gumamnya frustasi.
Sementara Sauza, yang kini masih berada di dalam area terminal, baru saja memasuki satu bis yang arah tujuannya menuju terminal kampung rambutan. Sebelum menaiki bis, Sauza sempat mampir ke WC dan warung kecil untuk membeli minuman mineral dan makanan kecil untuk cemilan di dalam bis.
"Bismillah," ucapnya sembari memasuki bis dengan kaki kanannya. Bis mulai melaju perlahan. Penumpangnya masih hitungan jari dan hanya ada delapan. Biasanya bis ini akan dapat penumpang di jalan-jalan yang dilewatinya.
"Rambutan-rambutan." Seorang Kernet berpakaian awak bis meneriaki calon penumpang tepat bis sudah berada di pintu keluar bis. Bis sengaja menepi dan beberapa saat ngetem di sana.
"Mas Bima!!!" kejutnya, disertai degupan jantung yang tiba-tiba kencang ketika matanya melihat mobil dan Bima berada di pinggir kiri jalan. Sauza segera merunduk menghindari dari penglihatan Bima. Sementara bis mulai melewati mobil Bima dan jarak tiga meter di depan Bima, bis berhenti untuk menunggu penumpang di sana.
"Rambutan-rambutan, Cililitan-litan-litan," teriaknya lagi tidak patah semangat. Sauza terus merunduk dan berharap bis yang ia tumpangi segera pergi dari situ.
Beberapa pedagang asongan mulai menaiki bis.
"Bang rokoknya dua batang, ya ampun sudah saya teriaki malah tidak noleh," protes suara yang sangat Sauza kenal yang saat ini seakan begitu dekat, karena Bima memang menaiki bis itu untuk menyusul pedagang asongan penjual rokok dan minuman.
"Maafkan Mas, saya tidak kedengaran tadi. Dengan kopinya?" Pedagang itu mulai menawarkan dagangan lainnya.
"Tidak, rokok saja." Bima menjawab, lagi-lagi suaranya sangat dekat. Sauza sudah bergetar takutnya Bima berjalan ke lorong depan dan sengaja mencari dirinya. Kalau Bima berjalan ke depan kursi bis, jelas dia akan ketahuan.
"Ya Allah jangan sampai Mas Bima ke depan dan mencari aku. Kalau sampai terjadi, aku pasti akan ketemu," harap Sauza.
Untungnya Bima sepertinya tidak ke depan, dia mulai turun dan menyalakan rokoknya di luar bis.
"Apakah Mas Bima sudah keluar dari bis ini?" Sauza cemas dan masih merunduk, sebab Bima masih berada di sekitar situ. Beberapa penumpang mulai memasuki bis, dan hampir setengahnya kursi bis itu penuh. Bis pun mulai berjalan meninggalkan simpang tiga pintu keluar terminal.
"Selamat tinggal Mas, aku terpaksa pergi, karena sudah tidak kamu inginkan lagi." Sauza menangis sembari perlahan menaikkan kembali tubuhnya dan duduk dengan benar seperti tadi.
Bis semakin jauh dan jauh, Sauza lega, kini ia bisa bebas duduk di kursi bis tanpa takut harus ketahuan Bima.
Sementara itu, Bima kini mulai bosan dan lelah mencari dan mengamati satu per satu bis yang melewati simpang tiga pintu keluar terminal. Hatinya kalang kabut karena tidak bisa menemukan Sauza. Terpaksa dia kembali dan memutar balik mobilnya dan kembali pulang seraya berharap di jalan ia bisa menemukan Sauza.
"Ya ampun Za, ke mana kamu pergi? Kenapa kamu harus nekad? Coba aktifkan sekali saja Hp mu Za, biar aku bisa melacak keberadaanmu," doanya, tidak terasa air matanya turun dari sudut mata. Mungkin Bima baru sadar bahwa kepergian Sauza baru terasa semenyakitkan ini. Belum lagi nanti di rumah tentu saja akan mendapat interogasi dari kedua orang tuanya. Dan yang paling Bima takutkan adalah kemarahan sang papa.
🤣🤣🤣🤣
Mira kau tak berkaca siapa dirimu, berapa lama jadi simpanan Bima, sebelum hamil kau dengan siapa?
Ukur baju orang lain jangan dengan ukuran tubuhmu, ya! Kau ingin memanasi Sauza, kan. Kutunggu, dengan setia.