Tak kunjung garis dua, Inara terpaksa merelakan sang Suami untuk menikah lagi. Selain usia pernikahan yang sudah lima tahun, ibu mertuanya juga tak henti mendesak. Beliau menginginkan seorang pewaris.
Bahtera pun berlayar dengan dua ratu di dalamnya. Entah mengapa, Inara tak ingin keluar dari kapal terlepas dari segala kesakitan yang dirasakan. Hanya sebuah keyakinan yang menjadi penopang dan balasan akhirat yang mungkin bisa menjadi harapan.
Inara percaya, semua akan indah pada waktunya, entah di dunia atau di akhirat kelak.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Ika Oktafiana, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 8. Perdebatan
Titik tertinggi dari mencintai diri sendiri adalah berdoa supaya dilapangkan hati untuk menerima segala situasi. Berdoa supaya Allah memberikan kekuatan dalam segala ujian-Nya.
Rutinitas pagi harus kembali terjadi. Satu meja dengan ibu mertua, ipar, dan sang Madu seakan sudah tak bisa lagi dihindari. Arjuna selalu mendatangi kamar dan meminta Nara untuk turun ke meja makan bersama.
Seperti pagi ini. Nara sudah mengumpulkan banyak alasan agar tidak ikut sarapan pagi itu. Namun, baru saja dihadapkan dengan sang Suami, semua kata yang sudah Nara susun buyar seketika.
"Assalamu'alaikum, Mas," sapa Nara ketika pintu telah terbuka, menampakkan Arjuna lalu di sampingnya ada Nadya.
"Waalaikumsalam. Kita sarapan bersama ya?" pinta Arjuna lembut yang sulit sekali untuk Nara tolak. Pada akhirnya, Nara mengangguk mengiyakan. Ketiganya berjalan beriringan dengan Nara di samping kanan Arjuna sedangkan Nadya berada di sisi kirinya.
Sejauh ini, hubungannya dengan Nadya msh terbilang aman. Tidak ada drama saling iri antara istri pertama dan istri kedua. Hingga sampai di ruang makan, semua mata langsung tertuju pada ketiganya.
"Eh, mantu baru Mama akhirnya turun juga. Kita sudah menunggu loh." Sambut Bu Azni yang Nara tahu hanya ditujukan untuk Nadya.
Nara melirik Nadya yang tersenyum bahagia mendapat sambutan tersebut. Nara menghembuskan napasnya pelan agar tak lagi sakit hati dengan tingkah ibu mertuanya.
Bersamaan dengan langkah Nadya yang mendekat pada meja, Nara merasakan genggaman pada telapak tangannya. Kepala Nara tertunduk menatap tangan Arjuna yang menggenggam tangannya. Lalu mendongak lagi hingga tatapnya bertemu dengan mata teduh suaminya.
"Tetap tersenyum," gumam Arjuna yang membuat Nara mau tidak mau memaksakan bibirnya tertarik ke atas. Setelah Arjuna mengangguk, Nara kembali berjalan dan duduk seperti biasa.
Saat makan akan dimulai, suara Bu Azni kembali terdengar. "Mama sudah membelikan tiket bulan madu untuk kamu dan Nadya ke Jepang. Seminggu setelah jatah kamu dan Nara habis, kalian langsung saja berangkat."
Nara membuka matanya lebar dengan bibir yang menganga. "Tapi, Ma, bukankah bulan maduku dulu hanya ke Bali? Kenapa sekarang Nadya ke Jepang? Itu tidak adil untukku," protes Nara tak ingin bungkam terus-menerus.
Bu Azni melirik Nara tajam. "Dulu ya dulu. Sekarang ya sekarang. Dulu dan sekarang sudah berbeda zaman. Mana bisa kamu banding-bandingkan," ketus beliau dengan wajah kesalnya.
"Mas? Ini tidak adil untukku," ucap Nara kepada suaminya. Dia tidak akan protes pada seseorang yang tidak mau mendengar suaranya.
"Ngadu lagi. Heran. Ada ya, orang model seperti kamu. Kenapa banyak protes? Tidak bersyukur sama sekali padahal cuma hidup numpang," sahut Antika yang ikut tidak terima dengan protes Nara.
"Kakak! Jangan pernah sekali-kali menghina Nara! Harusnya kamu sadar diri siapa yang sebenarnya menumpang. Kamu itu sudah mempunyai suami, tetapi mengapa banyak numpang di sini?!" Keluar sudah semua sumpah-serapah Arjuna.
Dia sudah tidak tahan mendengar hinaan yang dengan terang-terangan Antika dan ibunya lakukan. Semua diam mendengar suara Arjuna yang menggelegar. Ini pertama kalinya Arjuna marah dengan meninggikan suaranya.
"Ma! Lihat putra kesayangan Mama. Dia sudah berani berkata buruk tentangku!" pekik Antika tak mau kalah. Air matanya sudah membasahi pipi dan isakan kecil pun terdengar.
"Sudah! Ini semua tidak akan terjadi jika tidak ada wanita sok suci dan sok eksklusif ini!" Bu Azni berteriak dengan telunjuk yang mengarah pada Nara.
Suasana meja makan seketika terasa menegangkan. Nadya sudah ketakutan melihat pertengkaran yang terjadi dalam keluarga tersebut. Begitu juga Beta yang kini sudah beringsut mundur. Dia sama takutnya melihat kemarahan sang Kakak.
Nara menunduk menatap ujung gamisnya. Air matanya kembali luruh. Mengapa hanya Nara yang dijadikan pihak bersalah? "Aku pergi dulu, Mas. Assalamu'alaikum," pamit Nara lalu segera berlari menuju garasi tempat motornya terparkir.
"Nara! Tunggu!" pekik Arjuna lalu mengejar Nara ke garasi.
Setelah menaiki motor, Nara merasakan lengannya disentuh oleh tangan besar. Ketika menoleh, suaminya sudah berdiri dan menatap Nara dengan memelas.
Nara menghembuskan napasnya lelah. "Sampai kapan hal ini akan selalu terjadi, Mas? Mungkin aku masih bisa mengontrol perasaanku ketika kamu harus menikah lagi. Tetapi bagaimana dengan Mama dan saudara perempuan kamu yang tidak pernah berhenti melakukan ujaran kebencian?"
"Sebenarnya, kamu masih cinta tidak kepadaku, Mas?" tanya Nara tiba-tiba meragukan perasaan Arjuna.
"Kamu bicara apa sih? Jelas Mas masih sangat mencintai kamu. Apakah kamu mulai meragukan perasaan yang Mas miliki?" Kini Arjuna balik melemparkan pertanyaan.
Hening. Nara sibuk dengan pikirannya sendiri. "Mas? Sepertinya aku butuh waktu sendiri," cetus Nara dengan tatapan mata kosong.
Arjuna mengusap wajahnya kasar. Tidak mau membiarkan Nara sendirian. "Kenapa? Besok adalah jatah Mas bersama kamu. Tolong jangan hindari Mas lagi setelah satu Minggu ini kita tidak bisa bersama," ucap Arjuna begitu frustasi.
Nara terkekeh getir. "Ini jalan yang Mas pilih sendiri. Jadi, Mas harus siap dengan konsekuensinya," sindir Nara merasa puas.
"Nara!" peringat Arjuna yang langsung mendekap tubuh Nara dalam rengkuhannya. Seketika hal itu membuat Nara terisak kecil. Jika boleh jujur, dia sangat merindukan dekapan suaminya itu. Sangat. Sampai Nara tidak tahu bagaimana cara mengatakannya.
Karena pada kenyataannya, Arjuna kini telah terbagi dan Nara tidak bisa sembarangan meminta suaminya untuk menemani. "Aku tidak tahu apakah sanggup bertahan atau tidak, Mas," racau Nara tidak terlalu jelas karena teredam dada Arjuna.
"Kita pasti bisa, Sayang. Mas janji untuk selalu adil dan memperhatikan kalian berdua," ucap Arjuna bersungguh-sungguh.
...ΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩ...
...mampir juga kesini yuk 👇👇...