Ayu menggugat cerai suaminya karena tak ingin dimadu. Memiliki tiga orang anak membuat hidupnya kacau, apalagi mereka masih sangat kecil dan butuh kasih sayang yang lengkap, namun keadaan membuatnya harus tetap kuat.
Sampai pada suatu hari ia membanting setir menjadi penulis novel online, berawal dari hobi dan akhirnya menjadi miliarder berkat keterampilan yang dimiliki. Sebab, hanya itu yang Ayu bisa, selain bisa mengawasi anak-anaknya secara langsung, ia juga mencari wawasan.
Meskipun penuh rintangan tak membuat Ayu patah semangat. Demi anak-anaknya ia rela menghadapi kejam ya dunia sebagai single Mom
Bergulirnya waktu, nama Ayu dikenal di berbagai kalangan, disaat itu pula Ikram menyadari bahwa istrinya adalah wanita yang tangguh. Berbagai konflik pun kembali terjadi di antara mereka hingga masa lalu yang kelam kembali mencuat.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Nadziroh, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Kemarahan Harini
Ayu menghentikan motornya di dekat taman. Kakinya mengayun menghampiri kursi yang ada di bawah pohon. Istirahat sejenak untuk mengurai rasa lelah yang mulai melanda. Menghela nafas panjang. Otaknya berkelana mengingat apa yang baru saja dilihat.
''Mungkin saja dia saudaranya Rani. Mengusir prasangka buruk. Sedikitpun tak ingin mengotori otaknya dengan sesuatu yang tidak penting. Terlebih, masalah istri dari mantan suaminya.
Ayu mengambil ponsel dari tas. Menghubungi Ninik yang saat ini mengasuh ketiga anaknya. Hanya mereka yang mampu membangkitkan semangat yang terkadang pudar.
''Halo, Ma,'' sapa Hanan dari layar telepon. Melihat wajah mungil itu saja mampu membuat sekujur tubuh Ayu terasa sejuk. Itulah kenapa dia harus mati-matian mencari rezeki. Hanya Untuk membahagiakan ketiga anaknya.
''Halo, Sayang, sudah makan apa belum?'' tanya Ayu melihat jam di tangan seorang pria yang melintas di depannya.
''Sudah, Ma. Tadi disuapi bi Ninik,'' jawab Hanan jujur. Meskipun Ayu pernah menegurnya untuk selalu makan sendiri, tetap saja meminta tolong pada orang lain.
Ayu memanyunkan bibirnya. Pura-pura marah mendengar penjelasan dari si sulung.
''Bukan aku yang mau, Ma. Tapi bi Ninik yang memaksa,'' imbuh Hanan sambil menundukkan kepalanya. Tak berani melihat wajah sang mama saat dirundung kemarahan.
''Gak papa, besok jangan di ulangi lagi, ya,'' tutur Ayu menegaskan.
Hanan mengangguk. Menggeser layar ponselnya ke arah Alifa dan Adiba yang nampak rukun di ruang tengah.
Dari lubuk terdalam terselip ingin menjaga mereka setiap waktu, namun keadaan memaksa Ayu harus berpisah dengan ketiga anaknya setiap hari.
''Mama sudah lihat kok. Sekarang Hanan belajar, sebentar lagi mama akan pulang.'' Ayu memutus sambungannya. Tak sanggup membendung air matanya, namun tak ingin putranya itu melihatnnya menangis.
''Mama janji akan bekerja keras demi kamu dan adik-adik, Nak. Jangan pernah menyerah dengan keadaan ini. Karena Allah tidak akan menguji kita diluar kemampuan.
Ayu memeriksa barang yang belum terkirim kemudian kembali duduk menghindari panasnya terik.
Ponsel Ayu berdering. Ia segera mengangkatnya setelah melihat nama yang berkelip di layar. Ternyata Irma yang menghubunginya.
''Halo, Yu. Kamu di mana?'' kata Indah kamu mengantarkan barang-barang sendiri. Memangnya gak ada kurir?'' tanya Irma bertubi-tubi.
Ayu tertawa terbahak-bahak mendengar suara sang sahabat yang terdengar khawatir.
''Aku sudah biasa, Ir. Jadi gak perlu khawatir kayak gitu. Lagipula ini pekerjaan yang menyenangkan. Aku bisa melihat luar sambil mencari inspirasi,'' terang Ayu panjang lebar.
Jika sudah seperti itu, Irma tak bisa berbicara apa-apa lagi selain mendukung pilihan Ayu. Sebab, pekerjaan itu pun ada bayaran tersendiri. Artinya Ayu bisa mendapatkan gaji yang lebih.
Ayu melanjutkan aktivitasnya setelah rasa lelah mulai terurai. Tak patah semangat saat bayangan ketiga anaknya melintas.
''Aku yakin Ayu dan anak-anak pasti suka.''
Seorang wanita cantik yang berpenampilan anggun dan glamor itu terlihat bahagia saat keluar dari bandara. Bibirnya terus mengulas senyum mengingat kelucuan keponakannya yang hampir lima tahun tak ditemui.
Dia adalah Harini, saudara dari Ikram yang tinggal di New York dengan suaminya, dan saat ini berkunjung sendiri dan ingin bertemu dengan keluarganya yang ada di Indonesia.
Wanita itu menghentikan taksi yang melintas. Ia tak menghubungi Ikram, ingin memberi kejutan atas kedatangannya.
Sopir taksi turun membantu Harini memasukkan kopernya. Kemudian membuka pintu bagian belakang untuk wanita tersebut.
''Aku yakin Ayu pasti kaget.''
Duduk manis, matanya tak teralihkan dari arah luar. Banyak perubahan hingga membuatnya kagum.
Tak butuh waktu lama, hampir tiga puluh menit mobil yang ditumpangi Harini tiba di depan rumah mewah. Itu adalah rumah Irma yang dibangun saat akan menikah dengan Ayu. Tidak ada yang berubah, bahkan dari arah depan rumah itu tetap sama seperti sebelas tahun yang lalu.
Harini turun. Melambaikan tangannya ke arah satpam yang berjaga di depan.
''Nyonya mencari siapa?'' tanya satpam itu ramah.
Harini menunjuk koper dan berlalu. Memberi kode pada satpam untuk membawanya masuk.
''Apa Ikram ada di rumah?'' tanya Harini tanpa menghentikan langkahnya.
''Ada, Nyonya. Tapi bu Rani tidak ada. Setiap hari beliau pergi pagi pulang malam,'' ujar satpam mengikuti langkah Harini ni.
Secara tidak langsung membeberkan aktivitas harian Rani yang tidak pernah di rumah.
Harini menghentikan langkahnya. Kedua aslinya berkedut mendengar nama yang sangat asing di telinganya.
''Siapa Rani?'' tanya Harini antusias.
Satpam yang belum mengenal Harini itu pun terlihat biasa saja. Menjelaskan status Rani yang sebenarnya.
''Apa?'' Dada harini berdenyut nyeri mendengar ucapan satpam yang masih berdiri di belakangnya. Seolah itu seperti sebuah mimpi yang tak bisa dimengerti.
''Gak mungkin Ikram bercerai dengan Ayu. Merek sudah memiliki tiga anak,'' bantah Harini. Menekankan pak satpam untuk berbicara jujur.
''Tapi memang begitu, Nyonya. Bu Ayu dan pak Ikram bercerai. Sekarang bu Ayu sudah tidak tinggal di sini lagi,'' ucap satpam menjelaskan.
Wajah Harini mendadak pias. Tak menyangka Ikram sudah berani menceraikan Ayu hanya demi wanita yang belum dikenal.
Ia kembali melanjutkan langkahnya. Membuka pintu utama tanpa mengetuk. Matanya langsung mengarah pada Ikram yang ada di ruang tengah.
Ikram yang melihat kedatangan kakak perempuannya itu pun langsung beranjak dari duduknya. Menghampiri Harini yang masih berdiri di belakang pintu.
Plaaaakkk
Sebuah tamparan mendarat di pipi Ikram. Harini yang diselimuti marah pun tak bisa menahan tangannya yang terasa gatal.
Satpam memilih pergi. Tam ingin ikut campur urusan mereka.
Sedangkan Ikram, ia mengusap pipinya yang terasa perih akibat tangan sang kakak.
''Ada apa ini, Mbak?'' tanya Ikram bingung.
Pasalnya, ini pertama kali wanita yang sudah dianggap ibunya itu memukulnya dengan keras.
''Di mana Ayu?'' tanya Harini menekankan.
Ikram membisu. Percuma menjawab, karena Harini tak mungkin bisa menerima apa yang sudah terjadi.
Harini kembali menampar Ikram untuk yang kedua kali. Geram dengan kelakuan sang adik yang tak masuk akal. ''Sekarang katakan! Di mana Ayu dan anak-anak?" Harini mulai menitihkan air mata, takut kehilangan orang yang selama ini ia rindukan.
Ikram tetap diam dan menundukkan kepalanya. Menghindari tatapan Harini yang tak bisa diartikan.
''Jangan bilang kalau kamu mengusirnya?'' pekik Harini tak terima. Sebagai saudara yang lebih tua, ia wajib mengetahui pokok permasalahan yang memicu l perpisahan itu.
''Dia yang memilih pergi, Mbak. Aku sudah memberikan dia pilihan. Tapi dia sendiri yang memutuskan pergi dari rumah ini,'' jawab Ikram setelah sekian menit.
Tangis Harini pecah. Sekujur tubuhnya terasa lemas lunglai mendengar kenyataan pahit itu. Tak menyangka selama berada di luar negeri dan hidup bahagia justru adik iparnya tersakiti.
kueh buat orang susah ga harus yg 500rb
servis sepedah 500rb
di luar nalar terlalu di buat2