"Maka Jika Para Kekasih Sejati Telah Melewatinya, Cinta Tegak Berdiri sebagai Sebuah Hukum Pasti Dalam Takdir."
Sebuah novel yang mengisahkan perjalanan epik seorang pemuda dalam mengarungi samudera kehidupan, menghadirkan Hamzah sebagai tokoh utama yang akan membawa pembaca menyelami kedalaman emosional. Dengan pendalaman karakter yang cermat, alur cerita yang memikat, serta narasi yang kuat, karya ini menjanjikan pengalaman baru yang penuh makna. Rangkaian plot yang disusun bak puzzle, saling terkait dalam satu narasi, menjadikan cerita ini tak hanya menarik, tetapi juga menggugah pemikiran. Melalui setiap liku yang dilalui Hamzah, pembaca diajak untuk memahami arti sejati dari perjuangan dan harapan dalam hidup.
"Ini bukan hanya novel cinta yang menggetarkan, Ini juga sebuah novel pembangun jiwa yang akan membawa pembaca memahami apa arti cinta dan takdir yang sesungguhnya!"
More about me:
Instagram: antromorphis
Tiktok:antromorphis
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Antromorphis, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Guru dan Murid
Malam itu, suasana di dalam kamar Hamzah dan Robi terasa hangat dan akrab. Di tengah obrolan mereka yang santai, tiba-tiba Robi terkejut dengan berita yang disampaikan Hamzah mengenai harga ikan arwana. "Apa Zah? Lima milyar?" serunya dengan nada tak percaya, matanya membelalak lebar. Robi begitu tak percaya dengan harga ikan yang terbilang cukup fantastis itu
"Iya, satunya lima milyar," jawab Hamzah dengan tenang, seakan angka tersebut adalah hal biasa.
"Berarti sepasang sepuluh milyar dong Zah?" sambung Robi, masih tidak bisa mempercayai apa yang baru saja didengarnya.
"Iya benar, Rob, satu pasang seharga sepuluh milyar" timpal Hamzah, tersenyum melihat reaksi sahabatnya.
Setelah itu, Hamzah duduk di atas tempat tidurnya, disusul oleh Robi yang juga mengambil posisi duduk di sebelahnya. Hamzah terlihat memposisikan senyaman mungkin dalam duduknya. Namun ttidak dengan Robi, ia terlihat mulai memainkan ponselnya. Dalam keheningan sejenak, Hamzah memecah kebisuan. "Rob," ucapnya pelan.
"Ada apa Zah?" jawab Robi sambil asyik memainkan ponselnya, tampak tidak terlalu fokus pada pembicaraan.
"Dari pembicaraan kita seputar arwana, aku jadi ingat suatu kisah," ungkap Hamzah dengan nada serius. Namun hal tersebut masih belum bisa mengalihkan perhatian Robi dari ponselnya.
"Emang bagaimana Zah?" tanya Robi, meskipun pandangannya masih terfokus pada layar ponsel.
Hamzah tersenyum lebar sebelum melanjutkan ceritanya, Hamzah mencoba menata kalimatnya se rapih mungkin. "Jadi begini Rob, ada suatu kisah. Kisah ini aku terima dari Pak Kyai. Jadi, ada seorang murid yang sedang membersihkan akuarium milik gurunya. Saat ia membersihkan aquarium tersebut, ia melihat ikan arwana yang indah yang sedang menari di dalam akuarium. Tanpa disadari oleh si murid, gurunya memperhatikan ia dari belakang."
"Mmm, terus-terus Zah?" potong Robi yang mulai tertarik meskipun masih mengalihkan perhatiannya ke ponsel.
"Lalu dari arah belakang, guru itu bertanya kepada muridnya tentang berapa harga ikan arwana yang ia lihat. Namun si murid tidak tahu harga ikan tersebut," jelas Hamzah.
"Nah kemudian gimana Zah?" tanya Robi, kini benar-benar penasaran dengan cerita Hamzah.
"Sang guru tadi menyuruh muridnya untuk menawarkan ikan arwana itu kepada tetangganya. Si murid pun patuh dan segera memfoto ikan tersebut sebelum bergegas pergi ke rumah tetangganya untuk menawarkannya," lanjut Hamzah.
"Wah, pasti tetangganya tidak mau beli ikan itu, benerkan Zah?" potong Robi dengan nada skeptis.
Hamzah tersenyum mendengar komentar sahabatnya. Hamzah kemudian melanjutkan certanya, "Setelah sampai di rumah tetangganya, murid itu menawarkan ikan tersebut. Apa yang terjadi? Tetangganya kemudian menawar dengan harga lima puluh ribu. Setelah mendapat tawaran itu, murid kembali ke rumah sang guru dengan perasaan senang, karena ikan tersebut laku diharga lima puluh ribu dan ia segera melaporkan kepada gurunya. Setelah ia sampai dirumah gurunya, lantas ia menceritakan perihal tersebut. Namun sang guru hanya tersenyum mendengarnya. Kemudian sang guru memerintahkan si murid untuk pergi ke toko ikan dan menawarkannya kembali."
Robi mulai meletakkan ponselnya dan memberi perhatian penuh pada cerita Hamzah. "Lalu bagaimana Zah, apakah ditawar lebih tinggi?" tanyanya penuh rasa ingin tahu.
Hamzah yang melihat temannya sudah mulai antusias, lantas Hamzah melanjutkan ceritanya dengan semangat, "Si murid kemudian berjalan menuju toko ikan dan langsung menawarkan ikan itu kepada penjual. Setelah beberapa saat bernegosiasi, si penjual menawarkan harga delapan ratus ribu untuk ikan arwana tersebut. Si murid pun pulang dengan perasaan gembira karena harga tawaran meningkat pesat dari sebelumnya," sambung Hamzah.
"Terus-terus Zah, di lepas dong pasti, harganya naik berkali lipat, pasti di lepas dong sama gurunya?" tanya Robi lagi, kini benar-benar terlibat dalam cerita ini.
"Setelah berjalan dengan perasaan bahagia, si murid sampai di rumah gurunya dan memberitahu bahwa ikan tersebut ditawar delapan ratus ribu. Sang guru tersenyum mendengar kabar baik itu dan masuk ke dalam rumah sejenak sebelum kembali dengan membawa sebuah sertifikat."
"Sertifikat apa Zah? Tanah?" potong Robi lagi dengan rasa ingin tahunya.
"Bukan sertifikat tanah, Rob! Dengerin dulu," sahut Hamzah sambil tertawa kecil.
"Sertifikat itu adalah bukti bahwa ikan arwana tersebut pernah menjadi juara dalam sebuah perlombaan."
Robi tertawa mendengar godaan sahabatnya. "Hehehehe."
"Sang guru kemudian meminta si murid untuk menawarkannya kepada seorang fulan dengan membawa sertifikat yang ada di tangannya," lanjut Hamzah. Namun, sebelum Hamzah melanjutkan ceritanya, Hamzah menggoda Robi, bahwa ia ingin tidur lebih awal. Robi yang mendengar hal itu lantas merasa kesal.
"Yeee, ya jangan gitu dong. Dilanjutkan dulu ceritanya sampai selesai baru kamu boleh tidur," pinta Robi sedikit kesal ketika Hamzah berusaha mengakhiri cerita.
"Hahaha! Tadi kamu tidak tertarik dengan cerita ini, tapi kenapa tiba-tiba kamu tertarik," sindir Hamzah sambil tersenyum lebar.
"Iya Zah, tadi belum terlalu menarik ceritanya," jawab Robi sambil menggaruk kepalanya yang tak gatal.
Hamzah pun melanjutkan ceritanya. "Kemudian si murid bergegas meninggalkan rumah sang guru dan menuju rumah si fulan tersebut. Setibanya di sana, ia langsung menawarkan ikan arwana sembari menyerahkan sertifikat kepada si fulan. Setelah si fulan melihat ikan dan sertifikatnya, si fulan pun menawarkan harga fantastis, yaitu lima puluh juta untuk ikan arwana itu!" kata Hamzah dengan semangat.
“Mendengar tawaran fantastis itu, si murid terkejut dan segera berlari kembali ke rumah sang guru untuk melaporkan kabar baik tersebut. Setibanya di rumah, sang guru mendengarkannya dengan senyum lebar. Kemudian guru tersebut berkata kepada si murid bahwa ia sedang mengajarkan jika seseorang hanya akan dihargai dengan benar ketika berada di lingkungan yang tepat," jelas Hamzah.
Robi terdiam merenungkan makna dari cerita tersebut. Hamzah melanjutkan narasinya dengan penuh penghayatan. "Sang guru kemudian berkata lagi bahwa jangan pernah tinggal di tempat yang salah lalu marah karena tidak ada yang menghargaimu. Mereka yang mengetahui nilai-nilai kamu akan selalu menghargaimu."
Hamzah menarik napas dalam-dalam sebelum melanjutkan lagi. "Kita semua adalah orang biasa dalam pandangan orang-orang yang tidak mengenal kita. Kita adalah orang yang menarik di mata orang yang memahami kita. Kita istimewa dalam pandangan orang-orang yang mencintai kita. Mendengar nasihat bijak itu, si murid tertunduk diam merenungkan kata-kata gurunya. Sang guru kemudian menambahkan bahwa kita adalah pribadi yang menjengkelkan bagi orang-orang yang penuh kedengkian terhadap kita dan kita adalah orang-orang jahat dalam cerita orang-orang yang iri kepada kita," lanjut Hamzah seraya menepuk-nepuk pundak Robi seolah ingin menekankan pentingnya nasihat tersebut.
"Pada akhirnya," kata sang guru dalam cerita itu, "setiap orang memiliki pandangannya masing-masing; maka tidak usahlah berlelah-lelah agar tampak baik di mata orang lain."
Hamzah mengakhiri ceritanya dengan kalimat sederhana namun penuh makna: "Kita memang harus terus berusaha untuk menjadi lebih baik dari hari ke hari, tetapi kita tetap tidak bisa mengontrol bagaimana orang lain memandang kita."
***
Setelah selesai bercerita, suasana hening sejenak menyelimuti kamar mereka. Robi terdiam merenungkan pelajaran hidup yang baru saja didapatnya dari kisah sederhana tentang ikan arwana itu. Beberapa saat kemudian ia membuka suara dengan lembut.
“Terimakasih ya Zah,” ucap Robi tulus.
“Lhoh? Terimakasih untuk apa Rob?” tanya Hamzah bingung.
“Untuk ceritamu tadi,” jawab Robi sambil tersenyum hangat kepada sahabatnya.
Hamzah membalas senyuman itu dengan tulus. “Intinya kita harus tetap berusaha menjadi orang yang baik dari waktu ke waktu,” ujarnya bijaksana. “Walaupun kita tidak bisa menyuruh semua orang untuk memandang baik kita; yang terpenting adalah kita selalu berusaha menjadi pribadi yang lebih baik.”
“Iya Zah,” balas Robi penuh rasa syukur. “Sekali lagi terimakasih ya.”
“Iya Rob,” sahut Hamzah sambil meregangkan tubuhnya. “Kita bersama-sama berusaha menjadi lebih baik dari hari ke hari.”
“Yasudah kalau begitu,” kata Hamzah menutup obrolan malam itu. “Aku mau tidur dulu.”
“Iya Zah,” jawab Robi mengangguk pelan. “Aku juga mau tidur. Capek banget hari ini.”
Dengan senyuman manis di wajah mereka masing-masing, Hamzah merebahkan tubuhnya di atas kasur sementara Robi berjalan ke arah saklar untuk mematikan lampu utama kamar mereka. Dalam waktu singkat setelah lampu padam, keduanya larut dalam tidur malam yang nyenyak—dikelilingi mimpi-mimpi indah serta harapan untuk masa depan yang lebih baik.