NovelToon NovelToon
Pembalasan Istri Lemahku

Pembalasan Istri Lemahku

Status: sedang berlangsung
Genre:Time Travel / Cinta Paksa / Tukar Pasangan
Popularitas:2.6k
Nilai: 5
Nama Author: Fitri Elmu

Laras terbangun di tubuh wanita bernama Bunga. Bunga adalah seorang istri yang kerap disiksa suami dan keluarganya. Karna itu, Laras berniat membalaskan dendam atas penyiksaan yang selama ini dirasakan Bunga. Disisi lain, Laras berharap dia bisa kembali ke tubuhnya lagi.

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Fitri Elmu, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Si Tukang Maksa

Sorenya, Aksa datang menjemput. Sebenarnya Laras masih enggan. Tapi tidak mungkin dia menolak. Mama akan curiga kalau mereka sedang ada masalah. Rasa kesalnya masih ada, karna itu sepanjang jalan dia menghindari tatapan Aksa. Melihat pemandangan di luar, meski tak ada yang menarik.

Sampai di rumah, dia juga keluar lebih dulu. Langsung ke kamar tanpa basa basi. Netranya menangkap kertas tiket di atas meja. Tiket dari Aksa semalam. Tangannya bergerak menyingkirkan kertas itu ke tempat sampah. Lalu merebahkan tubuhnya ke ranjang.

.

.

Esok, paginya. Aksa kembali tidak mendapati keberadaan Laras di meja makan.

"Bunga sudah berangkat lagi, Bi?" tanyanya pada bi Imah.

"Belum mas Aksa. Dari tadi pagi bibi belum lihat sama non Bunga."

Aksa mengerutkan dahinya. Sejak pulang kemarin, dia belum ngobrol sama sekali dengan gadis itu. Dan bodohnya dia juga tidak memastikan apakah Laras semalam sudah makan atau tidak.

Aksa beranjak dari duduknya. Memutuskan menemui gadis itu sendiri.

Aksa mengetuk pintu kamar Laras yang masih tertutup. Mengulangi beberapa kali, karna belum ada sahutan. Barulah, setelah ketukan yang kesekian, mendapat sahutan dari dalam.

"Iya, bentar." Suara serak Laras dari dalam.

Tak berapa, pintu terbuka. Menampilkan sosok Laras yang baru bangun tidur. Aksa menatapnya heran.

"Kamu belum bersiap?" tanyanya. Disela kelegaan, melihat gadis itu baik-baik saja. Maksudnya, dia fikir Laras sakit, karna tumben jam segini belum nongol.

"Ngapain siap-siap.  Emangnya kemana," ketus Laras, kembali ke dalam. Kembali rebahan di kamar. Memainkan ponselnya, meski entah apa yang dibukanya.

Aksa menatapnya lamat.

"Kamu marah?"

"Marah buat apa? Gak tuh," sahut Laras tanpa mengalihkan netranya dari ponsel.

"Lalu, kenapa belum bersiap?"

"Lah, gue kan dipecat. Bikin nama baik kantor lo jelek gara-gara gue bikin rusuh," ketusnya.

Aksa merapatkan dahinya. Jadi karna ini ....

"Apaan sih Aksa, lepas!" Laras terkejut Aksa menarik tangannya setelah sebelumnya menyingkirkan ponselnya, memaksa bangun.

"Mandi, aku tunggu."

"Gak mau!"

Penolakan yang percuma. Aksa mendorongnya masuk ke kamar mandi. Tubuh tingginya menyandar ke pintu, bersilang tangan.

"Mandi, atau aku awasi dari sini," tegasnya, setengah mengancam.

Laras menggerutu. "Iya ... Gue mandi. Tapi lo pergi lah. Mau ngintip?"

Aksa menaikkan sebelah alisnya.

"Ish! Pergi dulu, lah. Dasar mesum," usir Laras, mendorong tubuh liat Aksa. Berat sih. Tapi Aksa tidak menolak.

Blam!

Laras langsung mengunci pintunya. Mengomel dengan sejuta sumpah serampah.

"Mandi yang bersih. Aku tunggu di bawah," suara Aksa terdengar.

Laras makin mengumpat.

Beberapa saat, sekitar setengah jam kemudian, Laras muncul. Duduk di tempatnya. Aksa meliriknya sekilas, menyungging senyum samar.

"Di kantor, aku bossmu, tidak ada yang berani memecatmu kecuali aku sendiri, kau dengar?"

Laras mengunyah makanannya dengan mulut manyun.

"Berani-beraninya kamu, baru kerja dua hari sudah minta resign. Memang dikira nyari pengganti itu mudah. Lagipula pekerjaan ini cocok untukmu."

Aksashit! Kirain bakal dibelain, eh malah dijatuhkan lagi.

Karna itu, hari ini mereka masuk lebih siang. Bodo amat kalau dia kena semprot nini nini itu.

.

.

Di luar bayangannya. Laras tidak mendapati ocehan Desi, ataupun tatap sinis Dina dan Loli. Justru beberapa rekannya yang lain melempar senyum padanya. Bahkan ada juga yang menyapanya, meski masih terkesan canggung. Aneh sih, dia datang terlambat, tapi mereka sama sekali tidak membahasnya. Dina dan Loli malah hari ini tidak kelihatan batang hidungnya.

Tak mau ambil pusing, lagian bukan urusannya. Laras gegas mengganti pakaiannya dengan seragam khusus.

"Gue aja yang anter. Di ruangan mana?"

Indah yang diajaknya bicara nampak terkejut.

"Eng ... Gak usah, Bung. Aku aja."

"Gak papa. Gue aja. Lagian gue dateng telat. Kalian udah kerja, gantian gue."

Indah masih ragu, tapi Laras segera mengambil alih troli.

"Em ... Ya udah kalau gitu. Itu buat divisi manajemen."

Laras mengangguk. Lalu mendorong trolinya, ke ruangan yang dimaksud.

Begitu sampai, dia meletakkan minuman sesuai pesanan yang dicatat Indah.

"Thanks."

Laras menanggapinya dengan senyum tipis. Bahkan hari ini dia mendapat ucapan terimakasih. Biasanya aja enggak.

Selesai mengantarkan pesanan, Laras kembali mendorong trolinya. Melewati orang-orang yang sibuk dengan pekerjaannya itu.

Tiba di ujung dekat pintu, dia dikejutkan dengan kemunculan sosok dari arah luar.

"Laras?"

Astaga ... Ternyata Andre.

"Eh, Ndre," Laras menyahutnya dengan senyum tipis.

"Kamu ...." menunjuk arah dalam.

"Anter minum."

Andre manggut-manggut. Membantu Laras mengeluarkan trolinya, karna ada yang hendak lewat. Troli Laras menutupi jalan.

"Gue duluan, Ndre," ujarnya.

"Tunggu, Ras!"

Laras menoleh. Urung mendorong trolinya. Menautkan alis.

"Kamu kemana, kemarin?"

Astaga! Laras menepuk dahinya. Dia lupa!

"Elo, nungguin gue?"

"Hem. Gue nunggu di depan."

"Duh, sory, Ndre. Gue kemarin pulang duluan, soalnya ... Gak enak badan. Gue lupa buat ngabarin elo. Sory banget ya?" Laras jadi gak enak hati. Bisa-bisanya dia kelupaan kemarin. Gara-gara kesal sama Aksa, Andre yang jadi korbannya.

Andre menggeleng, "Gak papa, Ras. Ada temenmu yang ngasih tahu kalau kamu sudah pulang. Tenang saja, aku gak kelamaan nunggu kok," jelasnya, dengan senyum yang entah kenapa, setia nangkring di bibirnya. Orang sebaik Andre dia bikin kecewa. Keterlaluan, lo, Ras.

"Beneran ya, gue gak enak hati."

Andre malah terkekeh. Mengusak kepala Laras, yang membuat gadis itu seketika mematung. "Gak papa, Ras. Santai aja."

Raba dada jangan nih. Jangan ah. Bahaya. Tapi jantungnya deg-degan.

Andre melongok ke dalam. Ada yang memanggilnya.

"Em, aku duluan, Ras."

Laras mengangguk. Sekali lagi, pemuda itu memamerkan senyumnya. Lantas berjalan masuk.

Laras menggelengkan kepala.

"Heuh, Laras kumat," gumamnya. Dia mendorong trolinya. Mengembalikan lagi ke dapur.

"Eng ... Udah, Bung?" Indah tersenyum menyambutnya. Tapi entah kenapa, ada senyum kecanggungan disana.

"Udah, Ndah," balasnya, tersenyum membalas.

"Makasih, ya."

"Haha. Kayak apa aja, Ndah. Lagian, ini kan tugas gue juga."

"I-iya sih. Hehe."

Laras tersenyum. Sebenarnya dia merasa aneh dengan situasi hari ini. Apa sesuatu terjadi, saat dia pulang kemarin? Hem ....

"Ndah," panggilnya.

"Eh, iya, Bung? Eng ... Gak papa kan aku panggil pake nama aja?"

"Ha? Gak papa. Emang ada yang marahin?"

Indah meringis, senyum yang kaku.

"Btw, bu Desi nyariin gue gak, kemarin?"

"Bu Desi?"

Laras mengangguk. "Iya. Gue kemarin pusing. Jadi pulang duluan. Gak sempet izin."

"Eng .... Gak kok. Bu Desi kan dipecat."

"Hah? Kok? Yang mecat siapa?"

Pantesan, wanita itu gak marahin dia. Juga, Dina dan Loli juga gak nongol.

"Pak Aksa."

Aksa?

Laras mengerutkan dahi. Aksa yang mecat bu Desi?

"Kok bisa? Maksud gue, kok tiba-tiba. Perasaan, kemarin baik-baik aja."

Indah menggaruk pelipisnya. Nampak dia sendiri masih canggung ngobrol dengannya. Padahal, Laras santai. Maksudnya biar akrab, gitu.

"Gara-gara ...."

"Jangan bilang karna keributan kemarin?" tebak Laras. Dan bingo! Indah mengangguk.

"Pak Aksa memarahi siapa saja yang berani melukai kamu. Apalagi, seharusnya kami menghormati kamu, istri pak Aksa."

Laras tertegun. Aksa ... Membela dirinya? Berarti saat dia dipulangkan kemarin, Aksa kembali ke kantor mengamuk dan memecat orang-orang itu? Eh, berlebihan gak sih, kalau dia katakan Aksa mengamuk? Tapi, buktinya, orang-orang yang mengganggunya itu dipecat. Pantas saja, orang-orang jadi mendadak ramah padanya. Tidak ada tatapan sinis dan meremehkan seperti kemarin-kemarin. Yah, meski masih terkesan canggung. Jadi penasaran, sepias dan seheboh apa orang-orang kemarin, saat Aksa ternyata membelanya. Tapi, memang seharusnya mereka sadar diri sih. Memang mereka siapa? Gak ada hormat dengan istri atasan.

Tapi, meski begitu, dia gak terima. Dan dia harus mencari perhitungan dengan Aksa. Kalau saja Aksa membelanya sejak dulu, maka yang seperti ini gak bakal terjadi.

1
kuncayang9
keren ih, idenya
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!