Btari harus menjalani pernikahan kontrak setelah ia menyetujui kerja sama dengan Albarra Raditya Nugraha, musuhnya semasa SMA. Albarra membutuhkan perempuan untuk menjadi istru sewaan sementara Btari membutuhkan seseorang untuk menjadi donatur tetap di panti asuhan tempatnya mengajar.
Sebenarnya Btari ragu menerima, karena hal ini sangat bertolak belakang dengan prinsip hidupnya. Apalagi Btari menikah hanya untuk menutupi skandal Barra dengan model papan atas, Nadea Vanessa yang juga adalah perempuan bersuami.
Perdebatan selalu menghiasi Btari dan Barra, dari mulai persiapan pernikahan hingga kehidupan mereka menjadi suami-istri. Lantas, bagaimanakah kelanjutan hubungan kedua manusia ini?
Bagaimana jika keduanya merasa nyaman dengan kehadiran masing-masing?
Hingga peran Nadea yang sangat penting dalam hubungan mereka.
Ini kisah tentang dua anak manusia yang berusaha menyangkal perasaan masing
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Edelweis Namira, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
SEPEDULI ITUKAH?
Kantor sudah sepi. Malam semakin larut. Lampu-lampu kantor yang menyala terang menerangi ruangan tempat Barra, Ryan, dan Dika sedang membahas proyek besar mereka. Di atas meja, blueprint, dokumen, dan laptop tersusun rapi. Proyek ini bukan sekadar pekerjaan biasa—nama baik Barra sebagai arsitek terkenal dipertaruhkan.
Namun, sejak awal pertemuan, Ryan dan Dika memperhatikan bahwa Barra berbeda. Lelaki itu duduk di kursinya, memandangi blueprint tanpa ekspresi, sesekali memainkan bolpoin di tangannya tanpa arah. Biasanya, Barra akan memimpin diskusi dengan semangat dan ide-ide cemerlang, tetapi malam ini... ia hampir tidak bersuara.
"Bar, lo oke?" tanya Ryan akhirnya, menatap Barra dengan dahi berkerut. "Lo kayak nggak ada di sini. Padahal ini proyek yang lo tunggu-tunggu, kan?"
Dika menambahkan sambil melipat tangannya. "Serius, Bar. Ini beda banget sama lo biasanya. Tatapan lo kosong. Diajak diskusi nggak nyambung. Ada masalah?"
Barra tersentak kecil, seolah baru menyadari keberadaan mereka. Ia menghela napas panjang dan mengusap wajahnya dengan tangan. "Maaf, gue nggak fokus."
Ryan dan Dika saling pandang. Mereka tahu Barra bukan tipe orang yang gampang kehilangan fokus, apalagi untuk sesuatu sebesar ini.
"Masalah pribadi?" tebak Dika dengan nada hati-hati. "Bukan tentang Btari,kan?"
Nama itu langsung membuat Barra menunduk, seperti anak kecil yang ketahuan melakukan kesalahan.
"Gue kira Nadea. Tapi kalau lihat mukanya Barra pas lo bilang Btari sih, kayaknya emang itu." Kata Ryan tersenyum kecil.
"Ternyata emang dia yang bikin lo nggak fokus hari ini." Kata Dika setengah bercanda. "Masalahnya dari lo ya? Ada hubungannya sama Nadea?"
Barra menghela napas berat, akhirnya mengakui. "Ya, ini soal dia. Beberapa waktu lalu gue ketemu sama Nadea. Awalnya gak ada masalah. Namun tiba-tiba dia melihat gue pelukan sama Dea saat ia gue suruh nunggu di parkiran."
Ryan mendengus. "Masalahnya emang selalu Nadea, ya."
"Jangan ngomong kayak gitu, Yan. Btarinya aja yang tiba-tiba marah begitu. Gue aja sampai bingung kok bisa dia semarah itu."
Dika mendesah. "Bar, namanya juga perempuan. Tapi modelan Btari gitu kayaknya nggak bakal marah kalo masalah cuma karena lo pelukan sama Nadea."
Ryan mengangguk setuju. "Dengerin, Bar. Kayaknya masalahnua gak cuma itu deh."
"Gue sama Nadea pelukan di tempat acara klien kita beberapa malam kemarin. Dia juga datang sama Ardya. Btari sampai nunggu gue dua jam lebih di parkiran karena gue ketemu sama Nadea."
"Kalau gitu mah wajar dia marah. Lagian lo bisa-bisanya pelukan sama bini orang di tempat umum kayak gitu. Nantang paparazi banget." Sungut Dika.
Ryan hanya geleng-geleng kepala. "Terserah lo deh, ya. Gue nggak mau ngomen apapun masalah ini. Gue harap itu otak lo bisa dipakai buat mikir. Gue cuma butuh lo fokus sama proyek ini. Ini proyek besar, Bar. Saingan kita udah punya nama semua."
"Gue bakal coba," kata Barra akhirnya, meski suaranya terdengar berat. "Gue bakal fokus ke proyek ini dulu."
Ryan menepuk pundaknya, memberikan dorongan. "Gitu, dong. Lo bisa urusin Nadea sama Btari nanti, setelah ini semua kelar. Yang penting sekarang, kita kerjain proyek ini sampai selesai. Semua ada waktunya."
Akhirnya Barra mencoba untuk fokus kembali. Ryan benar, ia harus menyelesaikan masalahnya satu persatu. Hingga ketiganya pun tenggelam dalam pekerjaan.
Namun, bahkan setelah janji itu diucapkan, pikiran Barra tetap melayang pada Btari. Hubungan mereka terlalu penting baginya untuk diabaikan begitu saja, bahkan untuk proyek sebesar ini.
Diabaikan Btari membuatnya jadih aneh sendiri.
Hingga malam mulai menanjak semakin larut. Pekerjaan mereka hampir selesai. Saat memastikan bagiannya sudah kelar, Barra tiba-tiba bersandar di kursinya dan menghela napas panjang. Ryan dan Dika langsung terdiam, menyadari ada sesuatu yang berat yang akan keluar dari mulut sahabat mereka.
"Gue nggak ngerti, Yan, Dik," ucap Barra, suaranya terdengar lelah. Ia menatap blueprint di meja seolah-olah itu bisa memberinya jawaban. "Btari bilang gue harus berhenti peduli sama dia. Dia minta gue bersikap kayak waktu awal kita nikah, waktu semuanya cuma soal kontrak dan kepentingan masing-masing."
Ryan dan Dika langsung saling pandang, kaget mendengar pengakuan itu.
"Ya...terus masalahnya apa?" tanya Ryan, memiringkan kepalanya dengan heran.
"Gue maunya kita jadi teman. Seenggaknya bisa lebih dekat daripada awal kita nikah dulu. Masa iya mau setegang jaman sekolah dulu. ." Jawab Barra enteng.
Dika dan Ryan saling tatap. Namun juga bingung. "Ya wajar Btari ngomong kayak gitu. Lo berdua bakalan susah kalau terlalu dekat. Apalagi sok-sok'an mau temenan." Ujar Ryan.
"Jarang banget ada yang bisa murni temenan antara laki-laki dan perempuan. Mungkin Btari menghindari itu." Ryan bersuara. Lebih santai dari yang tadi.
"Dia mungkin risih sama perlakuan lo." Mata Barra seketika menatap tajam pada Dika. "Ya... Maksud gue, dia mungkin nggak nyaman sama rasa peduli lo itu. Bisa juga dia lagi mengendalikan perasaannya sendiri. Makanya dia kurang suka lo terlalu perhatian sama dia." Ujar Dika.
"Tapi emangnya lo seperduli itu sama Btari sampai-sampai dia keberatan gitu?" Ryan bertanya hati-hati.
Barra terdiam, menunduk sejenak. "Ntahlah. Menurut gue itu biasa aja. Tapi dia malah marah gara-gara gue terus ngurusin dia. Kayak waktu gue nungguin dia pulang malem-malem, atau pas gue masakin buat dia. Dia bilang itu semua nggak perlu, karena... ya, kita nikah cuma buat nutupin skandal gue sama Nadea."
Dika menghela napas panjang. Lalu menatap Barra dengan penasaran. "Tunggu, Bar. Lo beneran udah sejauh ini peduli sama Btari? Maksud gue, dia kan cuma bagian dari... kontrak lo. Apa lo nggak sadar kalau ini bakal bikin lo tambah ribet?"
"Justru itu, Dik!" Barra menyahut dengan nada frustrasi. "Gue sendiri nggak ngerti kenapa gue peduli banget sama dia. Awalnya gue pikir ini cuma rasa tanggung jawab biasa, lo tahu kan, gue nggak mau dia ngerasa sendirian atau nggak dihargai. Tapi sekarang... gue nggak tahu lagi. Gue ngerasa itu harus gue lakuin. Tapi dia malah nggak suka."
Ryan menatap Barra serius. "Lo yakin rasa peduli lo cuma karena tanggung jawab, Bar? Karena dari cara lo cerita, ini udah lebih dari sekadar peduli biasa. Lo tahu nggak, itu mungkin perasaan yang lebih dalam."
Barra menggeleng pelan. "Gue nggak tahu, Yan. Yang jelas, setiap kali gue lihat dia capek atau kesulitan, gue ngerasa harus bantu dia. Gue ngerasa... gue nggak bisa cuek. Tapi dia malah marah. Dia bilang gue nggak perlu terlalu baik sama dia. Lo bayangin, dia marah karena gue baik."
Dika tertawa kecil, meski ada nada prihatin di suaranya. "Bar, itu karena Btari nggak mau terjebak perasaan. Dia sadar lo cuma suami kontraknya, dan dia nggak mau makin susah kalau nanti harus berpisah. Dia lagi pasang tembok buat jaga dirinya sendiri."
Ryan menepuk pundak Barra pelan, mencoba menarik perhatian sahabatnya yang tampak tenggelam dalam pikirannya. "Bar, gue tahu lo itu orangnya nggak bisa diam kalau ada yang lo peduliin. Tapi, lo harus sadar satu hal: Btari itu perempuan. Perempuan, Bar, cenderung lebih mudah kebawa perasaan, apalagi kalau lo terlalu baik atau terlalu perhatian."
Barra mengangkat wajahnya, menatap Ryan dengan alis berkerut. "Maksud lo, gue harus berhenti peduli gitu?"
"Bukan gitu," sahut Dika, ikut nimbrung. "Lo peduli boleh, tapi batasin, Bar. Jangan sampai perhatian lo malah bikin dia makin terjebak perasaan. Lo sendiri bilang kalau kalian nikah cuma kontrak, kan? Kalau lo terus kayak gini, lo sama aja ngasih harapan lebih ke dia."
Barra menghela napas, menyandarkan tubuhnya di kursi. "Gue nggak pernah niat ngasih harapan apa-apa ke Btari. Gue cuma nggak bisa cuek. Gue nggak suka lihat dia capek, atau pulang malem sendirian. Itu salah gue?"
Ryan tertawa kecil, tapi raut wajahnya serius. "Nggak salah, Bar. Tapi lo juga harus mikir. Kalau lo terlalu baik, dia bisa mikir lo lebih dari sekadar suami kontrak. Lo sadar nggak kalau mungkin dia lagi bingung dengan perasaannya sekarang?"
Barra menunduk, tak langsung menjawab. Kata-kata Ryan dan Dika mulai masuk ke pikirannya, meskipun sulit diterima. Ia tahu Btari bukan tipe yang mudah mengungkapkan isi hati, tapi Barra bisa merasakan ada pergolakan di dalam dirinya.
"Kalau lo emang nggak ada niat lebih, ya pedulilah sebagai teman biasa, Bar," lanjut Dika. "Jangan terlalu berlebihan. Temenin dia kalau dia butuh, tapi jangan sampai perhatian lo bikin dia bingung sendiri."
Barra mendesah, memandang kedua sahabatnya dengan pandangan lelah. "Gue ngerti maksud kalian. Tapi... susah. Gue nggak tahu gimana caranya nggak peduli."
Ryan tersenyum kecil, mencoba mencairkan suasana. "Mulai dari hal kecil aja, Bar. Kayak misalnya nggak usah nungguin dia pulang setiap malem. Kalau dia butuh, dia pasti ngomong. Lo jangan jadi 'malaikat penjaga' terus-terusan. Itu bakal bikin dia makin susah ngejar batas yang dia mau."
Dika mengangguk setuju. "Iya, Bar. Lo kasih dia ruang. Biarkan dia ngerasa kalau hubungan kalian ini emang murni profesional, sesuai kesepakatan. Kalau nggak, lo cuma bikin semuanya tambah rumit."
"Tapi gue nggak bisa balik kayak dulu," Barra balas dengan nada tegas. "Gue nggak bisa pura-pura nggak peduli. Gue nggak bisa ngelihat dia pulang malem, kerja sampai kecapekan, dan nggak ngapa-ngapain."
Ryan dan Dika saling menatap lagi, kali ini dengan ekspresi lebih serius. Mereka tahu Barra bukan tipe orang yang gampang melibatkan perasaan dalam urusan pribadi, apalagi dengan seseorang yang awalnya hanya "bagian dari kesepakatan." Namun mereka juga paham, bahwa Barra adalah orang yang punya empati yang besar kepada orang lain. Tapi dengan Btari? Apa iya hanya karena empati?
Dika mengangguk cepat. "Apalagi ini kita tinggalnya serumah. Bayangin aja, kayaak nggak mungkin nggak ada perasaan apa-apa."
Barra terdiam, memandangi kedua sahabatnya. Ia tahu mereka mungkin ada benarnya, tapi ia belum siap mengakuinya—bahkan pada dirinya sendiri. "Gue cuma nggak mau nyakitin dia," gumamnya pelan. "Dan kalau harus mundur biar dia nggak marah lagi... gue akan coba."
"Memang ada baiknya lo kasih Btari ruang. Biar dia juga nyaman tinggal bareng lo. Ya seenggaknya dia nggak banyak menghindari lo." Ucap Ryan lalu mulai merapikan berkas kerjanya.
"Coba dulu. Nggak harus setegang dulu, tapi nggak juga harus sepeduli itu. Bersikap biasa aja." Saran Dika.
Sementara dua sahabatnya itu mulai merapikan berkas mereka tanda sudah waktunya tubuh butuh istirahat. Namun tiba-tiba, sebuah pesan masuk. Karena pesan itulah wajah Barra langsung berubah tegang.
next thor
ceritanya kayak beneran, jd senyum" sendiri