NovelToon NovelToon
Serat Wening Ening Kasmaran

Serat Wening Ening Kasmaran

Status: sedang berlangsung
Genre:Percintaan Konglomerat / Mengubah Takdir
Popularitas:893
Nilai: 5
Nama Author: RizkaHs

Pada masa penjajahan Belanda, tanah Jawa dilanda penderitaan. Mela, gadis berdarah ningrat dari Kesultanan Demak, terpaksa hidup miskin dan berjualan jamu setelah ayahnya gugur dan ibunya sakit.

Saat menginjak remaja, tanah kelahirannya jatuh ke tangan Belanda. Di tengah prahara itu, ia bertemu Welsen, seorang tentara Belanda yang ambisius. Pertemuan Welsen, dan Mela ternyata membuat Welsen jatuh hati pada Mela.

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon RizkaHs, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

ꦠꦶꦒꦥꦸꦭꦸꦢꦸ

Setelah Herlic tiba di rumahnya, ia langsung memanggil salah satu bawahannya yang sedang berjaga di depan pintu. Wajahnya tampak pucat, dan keringat dingin mulai mengalir di pelipisnya. Rasa perih dari luka cambukan yang meskipun hanya sebatas peringatan itu terasa menjalar ke seluruh tubuhnya. Ia berusaha tetap tegak, tetapi setiap langkah yang ia ambil terasa menyiksa.

"Segera panggil Mentri," perintahnya dengan suara yang berat, sambil mencoba menahan rasa sakit.

Bawahannya menatap Herlic dengan cemas. "Tuan, apakah Anda baik-baik saja?"

"Jangan banyak tanya! Panggil Mentri sekarang!" bentaknya dengan sisa tenaga.

Tanpa membuang waktu, bawahan itu bergegas pergi memanggil tabib bernama Mentri, yang memang dikenal ahli dalam mengobati berbagai luka. Sementara itu, Herlic melepas jasnya dan duduk di kursi panjang di ruang tengah. Ia menarik napas panjang, mencoba meredakan rasa nyeri yang terus menghujam.

Beberapa menit kemudian, Mentri datang dengan membawa kotak perlengkapannya. Wajahnya langsung berubah serius begitu melihat Herlic yang tampak kelelahan dan menahan sakit.

"Tuan Herlic, apa yang terjadi? Mengapa Anda terluka seperti ini?" tanya Mentri sambil mempersiapkan alat dan bahan-bahan pengobatan.

"Jangan banyak bertanya, Mentri. Fokus saja pada lukaku," jawab Herlic singkat, meskipun nadanya tidak sekeras sebelumnya.

Mentri mengangguk dan mulai membuka baju Herlic dengan hati-hati, memperlihatkan luka memar dan sedikit berdarah di punggungnya akibat cambukan tadi. Luka itu terlihat dalam, meskipun bukan yang terparah yang pernah ia tangani.

"Sabar, Tuan. Saya akan membersihkan lukanya terlebih dahulu," ujar Mentri sambil mengambil kain bersih dan mencelupkannya ke dalam air hangat yang sudah dicampur dengan ramuan herbal.

Saat Mentri mulai membersihkan luka, Herlic meringis, menggenggam tepi kursi dengan erat untuk menahan rasa perih.

"Ini pasti sangat sakit, Tuan, tapi Anda harus bertahan agar tidak terjadi infeksi," kata Mentri pelan, mencoba menghibur.

Herlic hanya mengangguk, menatap kosong ke depan. Dalam pikirannya, ia terus memikirkan keputusan yang telah ia buat. Menolong Mela tadi memang membuatnya melanggar aturan, tetapi entah kenapa ia merasa itu adalah hal yang benar untuk dilakukan.

Setelah selesai membersihkan luka, Mentri mengoleskan salep herbal ke punggung Herlic, lalu menutupinya dengan perban yang rapi.

"Anda harus beristirahat, Tuan. Jangan terlalu banyak bergerak agar lukanya cepat sembuh," pesan Mentri sambil merapikan perlengkapannya.

"Terima kasih, Mentri," ujar Herlic singkat, suaranya terdengar lebih tenang sekarang.

Saat Mentri pergi, Herlic berbaring di kursi panjangnya, memejamkan mata sambil mencoba melupakan rasa sakit. Namun, bayangan Mela dan kata-kata William terus bermain di pikirannya.

Prajurit itu menatap Herlic dengan ragu, seolah tidak percaya dengan apa yang baru saja ia dengar. "Tuan, Anda sudah melanggar aturan hanya untuk seorang pribumi. Bukankah mereka dianggap tidak setara dengan kita? Kenapa Anda rela menerima hukuman hanya untuk itu?"

Herlic menarik napas panjang, mencoba menenangkan dirinya meskipun rasa sakit masih terasa di punggungnya. "Dengar, aku tidak peduli apa yang orang pikirkan. Saat itu, aku melihat seseorang yang kesakitan, dan aku hanya melakukan apa yang menurutku benar. Aku tidak bisa menutup mata dan berpura-pura tidak melihatnya."

Prajurit itu mengerutkan kening, merasa bingung. "Tapi, Tuan, aturan kita jelas. Jika kita menolong mereka, kita akan dianggap lemah. Bahkan mungkin kehilangan kehormatan."

Herlic tersenyum tipis, meskipun matanya memancarkan kelelahan. "Kehormatan macam apa yang kita miliki jika kita membiarkan orang lain menderita di depan mata kita? Aku tahu kita hidup di bawah aturan keras, tapi aku masih manusia. Jika aku kehilangan hati nuraniku, apa gunanya semua ini?"

Prajurit itu terdiam, tidak tahu harus berkata apa. Ia tahu Herlic berbeda dari kebanyakan atasannya. Meski keras dan tegas, Herlic memiliki sisi manusiawi yang jarang terlihat pada orang-orang seperti mereka.

"Tuan, apakah Anda benar-benar tidak menyesal telah melanggar aturan untuk menolong gadis itu?" tanyanya akhirnya.

Herlic menatap prajurit itu dengan tegas. "Tidak. Aku tidak menyesal. Hukuman ini adalah harga yang harus aku bayar, dan aku menerimanya. Tapi jangan pernah berpikir untuk menyakiti gadis itu, atau siapa pun, hanya karena kesalahan ini."

Prajurit itu mengangguk perlahan, meskipun ia masih belum sepenuhnya memahami keputusan Herlic. "Baik, Tuan. Saya tidak akan melanggar perintah Anda. Tapi Anda harus berhati-hati. Jika hal seperti ini terulang, mungkin hukumannya akan lebih berat."

Herlic tersenyum pahit. "Aku tahu risikonya. Tapi kadang, risiko itu sepadan jika itu berarti aku bisa menjaga kemanusiaanku."

Prajurit itu mengangguk pelan, tetap menunduk sebelum akhirnya berbalik dan meninggalkan ruangan. Langkah kakinya terdengar berat, seolah ia sedang memikirkan sesuatu yang tak mampu ia ungkapkan.

Herlic memandang punggung bawahannya yang perlahan menjauh, lalu menghela napas panjang. Pikirannya masih dipenuhi oleh bayangan Mela dan apa yang telah terjadi. Luka di punggungnya terasa semakin perih, tapi rasa itu tidak sebanding dengan pergulatan di dalam hatinya.

***

"Tuan, apa kau bisa berdiri? Punggungmu juga masih terlihat merah. Jika tidak bisa, beristirahatlah di rumah ini. Biarkan kami yang memantau para pribumi itu, dan kau cukup istirahat."

Herlic menoleh ke arah prajurit yang berbicara, ekspresinya datar namun matanya memancarkan ketegasan. Ia menghela napas panjang, mencoba menahan rasa sakit yang masih terasa di punggungnya.

"Terima kasih atas perhatianmu, tapi aku tahu tugasku," jawab Herlic singkat sambil mencoba berdiri.

Namun, begitu ia bergerak, rasa nyeri yang menusuk membuat tubuhnya hampir kehilangan keseimbangan. Prajurit itu sigap membantunya duduk kembali.

"Sudah kubilang, Tuan. Kondisi Anda belum pulih sepenuhnya. Tidak ada salahnya jika Anda beristirahat sehari saja. Kami bisa menangani semuanya di seberang. Tuan tidak perlu memaksakan diri," ujar prajurit itu dengan nada penuh kekhawatiran.

Herlic menggeleng pelan. "Aku tidak terbiasa menyerahkan tanggung jawabku pada orang lain. Apa pun yang terjadi, aku akan tetap pergi."

"Tuan, kami hanya khawatir. Anda sudah melakukan lebih dari cukup. Biarkan kami yang melanjutkan tugas ini. Luka Anda masih terlihat merah dan bisa saja infeksi jika terus dipaksakan," bujuk prajurit itu lagi.

Herlic terdiam sejenak, memikirkan kata-kata bawahannya. Ia tahu bahwa kondisinya memang belum ideal untuk melakukan perjalanan, tetapi rasa tanggung jawabnya terlalu besar untuk diabaikan.

"Baiklah," katanya akhirnya, nada suaranya melembut. "Aku akan mempertimbangkan usulmu. Tapi jika ada sesuatu yang mendesak, pastikan kau segera melaporkannya padaku. Jangan mengambil keputusan tanpa persetujuanku."

Prajurit itu tersenyum lega. "Tentu, Tuan. Kami akan memastikan semuanya berjalan lancar."

Herlic menatapnya sejenak, lalu mengangguk. "Sekarang pergilah dan siapkan semuanya. Aku ingin laporan lengkap tentang kemajuan pembangunan jembatan itu sebelum sore ini."

"Baik, Tuan," jawab prajurit itu sambil memberi hormat sebelum meninggalkan ruangan.

1
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!