kisah seorang siswi perempuan yang tidak tertarik dengan apapun akhirnya menyukai seorang lelaki yaitu kakak kelasnya,hari demi hari ia lewati tana menyapa ataupun yang lain.hanya sebatas melihat dari jauh orang yang di kaguminya.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Myz Yzy, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Memulai lembaran baru
Yana berdiri di depan cermin, menghapus air mata yang sempat membasahi pipinya. Kata-kata yang ia bisikkan kepada dirinya sendiri beberapa jam lalu—“ternyata dia yang ku kagumi, benar-benar hanya menjadi orang yang ku kagumi, bukan orang yang menemaniku”—terngiang-ngiang dalam benaknya. Ia tahu, keputusan untuk datang ke reuni itu adalah langkah besar, tetapi dampaknya lebih berat dari yang ia bayangkan.
Keesokan paginya, Yana memutuskan untuk mengambil langkah berbeda dalam hidupnya. Ia mulai mencari pelarian dalam kesibukan. Ia mendaftar kelas yoga, bergabung dengan komunitas membaca, dan bahkan memutuskan untuk mengambil kursus melukis, sesuatu yang dulu ia gemari sebelum hidupnya penuh dengan pekerjaan dan rutinitas monoton. Ia ingin mengisi kekosongan dalam hatinya dengan hal-hal yang lebih berarti.
Namun, meskipun ia mencoba menyibukkan diri, bayangan Nabil dan Fresya terus menghantui pikirannya. Setiap kali ia mendengar kabar tentang mereka melalui teman-teman alumni atau melihat unggahan media sosial mereka, rasa sesak itu kembali menyeruak. Ia tahu bahwa ia harus berhenti membandingkan hidupnya dengan hidup mereka, tetapi itu tidak semudah yang ia harapkan.
Di sisi lain, Nabil juga tidak sepenuhnya bisa melupakan Yana. Setiap kali ia melewati tempat-tempat yang biasa mereka kunjungi bersama, kenangan masa lalu itu kembali menghampiri. Namun, ia meyakinkan dirinya bahwa keputusan untuk bersama Fresya adalah pilihan terbaik. Fresya adalah pasangan yang penuh perhatian dan pengertian, seseorang yang membuatnya merasa tenang dan dicintai. Mereka sering menghabiskan waktu bersama, berbicara tentang mimpi-mimpi mereka, dan merencanakan masa depan.
Suatu sore, ketika Nabil dan Fresya sedang menikmati kopi di teras rumah keluarga Fresya, Fresya tiba-tiba berkata, “Kamu kelihatan sedikit melamun akhir-akhir ini. Ada sesuatu yang mengganggumu?”
Nabil tersenyum kecil, mencoba menutupi pikirannya yang sebenarnya. “Tidak, aku hanya sedang memikirkan banyak hal,” jawabnya. Namun, Fresya bukan seseorang yang mudah dibohongi.
“Kalau ada yang perlu kamu ceritakan, aku selalu ada di sini untuk mendengarkan, Nabil,” kata Fresya dengan lembut.
Nabil menghela napas, lalu berkata, “Aku hanya kadang teringat tentang Yana. Maksudku, dia sahabatku selama bertahun-tahun. Kehilangan kedekatan itu... rasanya aneh.”
Fresya terdiam sejenak, lalu meraih tangan Nabil. “Aku tahu Yana adalah bagian penting dari hidupmu, dan aku tidak pernah ingin menggantikan tempatnya. Tapi aku juga percaya, hubungan kita ini bukan tentang melupakan masa lalu, melainkan tentang menciptakan masa depan yang baru. Kalau kamu merasa perlu bicara dengannya untuk menyelesaikan apa yang belum selesai, aku tidak akan melarangmu.”
Kata-kata Fresya membuat Nabil merasa lega sekaligus bersalah. Ia tahu bahwa Fresya begitu tulus, tetapi ia juga tidak ingin membuka luka lama yang mungkin sudah mulai sembuh di hati Yana.
Sementara itu, Yana mulai menemukan sedikit kedamaian dalam rutinitas barunya. Ia menikmati kelas melukisnya dan bahkan berhasil menjual salah satu karyanya dalam sebuah pameran kecil. Prestasi itu memberinya rasa percaya diri yang baru. Ia mulai menyadari bahwa kebahagiaan tidak selalu harus datang dari orang lain; terkadang, itu bisa ditemukan dalam proses mencintai diri sendiri.
Namun, suatu hari, ketika ia sedang menikmati sore yang tenang di kafe favoritnya, sebuah pesan muncul di ponselnya. Itu dari Nabil.
“Hai, Yana. Apa kabar? Aku harap kamu baik-baik saja. Aku merasa kita perlu bicara, kalau kamu tidak keberatan. Aku akan menunggu di taman dekat rumahmu sore ini. Jika kamu tidak ingin datang, aku mengerti.”
Yana tertegun membaca pesan itu. Ia tidak tahu apa yang membuat Nabil tiba-tiba ingin bicara dengannya. Hatinya berdebar, tetapi ia juga merasa ragu. Setelah beberapa menit merenung, ia memutuskan untuk menemui Nabil. Baginya, ini mungkin kesempatan terakhir untuk benar-benar menutup bab dalam hubungan mereka.
Ketika Yana tiba di taman, ia melihat Nabil duduk di bangku panjang, memandang langit senja. Ia terlihat seperti seseorang yang tenggelam dalam pikirannya. Ketika Nabil melihat Yana, ia segera berdiri dan menyambutnya dengan senyuman hangat.
“Terima kasih sudah datang,” kata Nabil.
Yana hanya mengangguk. Mereka duduk dalam keheningan selama beberapa saat sebelum Nabil mulai berbicara. “Aku hanya ingin bilang bahwa aku minta maaf kalau selama ini aku menyakitimu, Yana. Aku tahu hubungan kita berubah, dan itu tidak mudah untuk kita berdua.”
Yana menghela napas, mencoba menahan emosinya. “Nabil, kamu tidak perlu minta maaf. Aku mengerti. Hidup kita memang berubah, dan aku juga tahu bahwa aku tidak bisa mengharapkan semuanya tetap sama selamanya.”
“Tapi aku merasa seperti kehilangan sesuatu yang berharga,” lanjut Nabil. “Persahabatan kita. Itu adalah salah satu hal terbaik dalam hidupku, dan aku tidak ingin kehilangan itu.”
Yana menatap Nabil dengan mata yang berkaca-kaca. “Kamu tidak kehilangan persahabatan kita, Nabil. Itu selalu ada. Hanya saja, bentuknya