Aku wanita yang menjunjung tinggi kesetiaan dan pengabdian pada seorang suami.
3 tahun mengarungi bahtera rumah tangga, aku merasa menjadi wanita paling bahagia karena di karuniai suami yang sempurna. Mas Dirga, dengan segala kelembutan dan perhatian yang selalu tercurahkan untukku, aku bisa merasakan betapa suamiku begitu mencintaiku meski sampai detik ini aku belum di beri kepercayaan untuk mengandung anaknya.
Namun pada suatu ketika, keharmonisan dalam rumah tangga kami perlahan sirna.
Mas Dirga diam-diam mencari kebahagiaan di tempat lain, dan kekecewaan membuatku tak lagi memperdulikan soal kesetiaan.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Clarissa icha, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 8
Seperti yang sudah dikatakan oleh Mas Dirga tadi pagi kalau dia akan pulang malam, sepertinya benar-benar akan pulang malam. Saking malamnya, aku bahkan sampai mengantuk menunggu Mas Dirga yang tak kunjung pulang karna sudah pukul 11 malam.
Ponselnya tidak aktif, terakhir kali mengirimkan pesan jam 8 malam. Dia bilang masih banyak yang harus di kerjakan. Mas Dirga juga berbesan agar aku tidak perlu menunggunya pulang dan tidur lebih dulu.
Tapi karna aku pikir Mas Dirga akan pulang jam 9 atau 10, aku memutuskan untuk tetap menunggunya tanpa bilang pada Mas Dirga.
"Ya ampun Mas, kamu bikin aku khawatir saja,," Aku bicara sendiri sambil terus berusaha menghubungi nomor Mas Dirga yang tidak aktif.
Kalau tau suatu saat akan seperti ini, harusnya aku menyimpan salah satu nomor rekan kerja Mas Dirga agar bisa menghubunginya di saat ponsel Mas Dirga tidak aktif.
Aku sama sekali tidak punya nomor teman sekantor Mas Dirga. Bahkan nomor ponsel Mbak Marissa saja aku tidak punya, padahal beberapa kali kami pernah bertemu dan mengobrol.
Aku memutuskan keluar rumah dan duduk di teras. Padahal sudah sangat mengantuk, tapi rasanya tidak akan mungkin bisa tidur sebelum Mas Dirga pulang.
Hampir 15 menit berada di luar, kardigan panjang yang aku pakai tak bisa lagi memberikan kehangatan dari dinginnya angin malam yang berhembus. Menyilangkan kedua tangan di dada, aku memeluk tubuhku sendiri yang rasanya akan menggigil sebentar lagi.
"Kenapa duduk di luar malam-malam begini.?" Teguran Mas Agam sontak membuatku menoleh.
"Eh,, i,,iitu Mas,," Aku bingung harus menjawab apa. Rasanya malu kalau sampai bilang aku sengaja duduk di luar larut malam begini untuk menunggu Mas Dirga pulang.
"Dirga belum pulang.? Apa keluar kota.?" Tebaknya setelah tatapan mata Mas Agam tertuju pada carport rumahku yang kosong.
Aku terpaksa mengangguk karna Mas Agam sudah terlanjur menebaknya.
"Iya belum pulang." Ucapku lirih.
"Kenapa nggak tunggu di dalem aja.? Di luar dingin Bia, lagian bahaya duduk sendirian malem-malem begini." Ujarnya.
"Bahaya kenapa Mas.? Kan aman, di depan cluster ada satpam yang jaga. Nggak mungkin ada perampok masuk kan.?" Tanyaku yang lebih tertarik dengan ucapan terakhir Mas Agam. Kalau masalah dingin aku sudah tau, karna sudah sejak tadi aku merasakannya. Hembusan angin sampai terasa menusuk kaki yang tak terbalut apapun.
"Bukan soal perampok, tapi yang tak kasat mata." Jawab Mas Agam cepat. Aku sontak membulatkan mata, tiba-tiba jadi tegang karna takut lantaran Mas Agam membahas tentang sesuatu yang tak kasat mata.
Sejujurnya aku sangat penakut dan paling tidak suka membahas hal seperti itu karna akan membuatku tidak berani sendirian di dalam rumah.
Selama ini aku tenang-tenang saja sendirian di rumah karna sebelumnya tidak ada pembahasan soal makhluk halus.
"Jangan nakut-nakutin dong Mas, nanti aku parno sendirian di rumah." Pintaku memelas.
"Aku tuh penakut, jadi nggak usah cerita yang aneh-aneh." Aku beranjak dari kursi dan pamit masuk ke dalam rumah. Daripada Mas Agam bicara aneh-aneh, lebih baik aku masuk saja.
"Aku nggak nakuti-nakutin. Lagipula yang kasat mata itu nggak selalu berkaitan sama yang horor." Jawab Mas Agam. Aku sempat berhenti karna tidak paham maksud ucapannya, tapi karna sudah terlanjur takut, aku memilih untuk mengabaikannya dan buru-buru masuk ke dalam rumah.
...*****...
Semalam aku ingat ketiduran di sofa ruang tamu saat menunggu Mas Dirga pulang. Tapi pagi ini saat membuka mata, aku sudah berada di atas ranjang dengan tangan besar milik Mas Dirga yang melingkar di pinggangku. Mas Dirga memelukku dari belakang. Hembusan nafasnya yang teratur terasa menyapu tengkuk ku.
Entah jam berapa Mas Dirga sampai di rumah. Tapi aku yakin pasti di atas jam 12 malam.
Dengan hati-hati aku menyingkirkan tangan Mas Dirga. Aku harus membuat sarapan karna sekarang sudah pukul 7 pagi.
"Mau kemana Dek.? Tidur lagi saja,," Ucap Mas Dirga dengan suara seraknya seraya mendekapku semakin erat.
"Udah jam 7 Mas, aku mau buat sarapan." Jawabku tapi tidak berusaha menyingkirkan tangan Mas Dirga lagi.
"Nanti aja Dek, lagian Mas juga libur. Nggak masalah kalau sarapannya agak siang."
Aku diam saja tanpa menanggapi ucapan Mas Dirga. Karna sebenarnya aku sangat ingin bertanya pada Mas Dirga jam berapa dia pulang dan kenapa bisa sampai pulang selarut itu. Sedangkan selam ini Mas Dirga tidak pernah pulang larut malam.
"Semalam ponselnya mati, Mas lupa nggak bawa charger. Maaf ya kalau Mas bikin kamu khawatir." Mas Dirga berucap lembut setelah beberapa saat kami terdiam.
Aku menarik nafas dalam. Sebenarnya agak kecewa karna Mas Dirga membiarkan ponselnya tetap mati. Padahal dia bisa saja meminjam charger pada temannya. Aku yakin dari sekian banyak teman kerja di kantornya, pasti ada yang membawa charger ke kantor.
"Nggak cuma bikin khawatir aja Mas, tapi bikin aku berfikir macam-macam sama Mas Dirga."
"Belakangan ini Mas tuh sering pulang larut malam, nggak biasanya loh Mas pulang malam selama Mas kerja." Keluhku. Walaupun kesal, aku masih bicara dengan santai tanpa nada tinggi.
Beberapa saat suasana hening, tak ada tanggapan apapun dari Mas Dirga.
"Mas.? Mas Dirga denger nggak sih aku ngomong apa.?" Tegurku seraya berbalik badan untuk menatapnya.
"I,,iiya Dek denger,, Mas ngantuk banget jadi nggak fokus." Mas Dirga tampak gugup menjawabnya. Atau mungkin tadi sempat akan tidur lagi, jadi kaget begitu aku mendadak berbalik badan.
"Ya udah Mas tidur lagi aja. Aku mau masak dan beres-beres." Aku beranjak dari ranjang di saat Mas Dirga tak lagi memelukku.
"Dek,," Panggil Mas Dirga lirih. Sontak aku menghentikan langkah dan berbalik.
"Iya Mas, kenapa.?" Ku tatap lekat wajah Mas Dirga yang terlihat ragu untuk bicara padaku.
"Kamu nggak marah kan sama Mas.?" Pertanyaan itu terlontar dari bibirnya. Lirih, namun penuh kekhawatiran dalam sorot matanya. Sekhawatir itukah Mas Dirga kalau aku marah padanya.? Atau mungkin Mas Dirga mengkhawatirkan hal lain.?
Aku menggeleng.
"Mas tau sendiri kan aku nggak pernah marah selama ini." Ucapku kemudian tersenyum tipis dan pamit ke dapur.
sesuai judul selimut tetangga...
kalo security yang datang kerumah Bianca... judulnya pasti rubah jadi selimut security /Smile/
klo bia membalas selingkuh dngn agam sama aja 11 12 dong