Rafael tidak pernah mengira hidupnya akan berubah saat dia menemukan sebuah topeng misterius. Topeng itu bukan sembarang artefak—ia membuka gerbang menuju dunia lain, dunia yang dihuni oleh makhluk gaib dan bayangan kegelapan yang tak bisa dijelaskan. Setiap kali Rafael mengenakannya, batas antara dunia nyata dan mimpi buruk semakin kabur.
Di tengah kebingungannya, muncul Harun, tetangga yang dianggap 'gila' oleh penduduk desa. Namun, Harun tahu sesuatu yang tidak diketahui orang lain—rahasia kelam tentang topeng dan kekuatan yang menyertai dunia lain. Tapi, apakah Rafael bisa mempercayai pria yang dianggap tak waras ini, atau dia justru menyerah pada kekuatan gelap yang mulai menguasainya?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Subber Ngawur, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Tak Bisa Sendiri
Rafael ingat betul pesan Harun: "Jangan pernah sendirian. Topeng itu suka mengganggu pikiran saat kamu sendirian." Dan sekarang, di sekolah, Rafael merasa waspada setiap saat. Meski suasana ramai, dia tetap berusaha untuk selalu bersama teman-temannya—Tristan, Bimo, dan Nasya.
Hari itu berlalu seperti biasa. Mereka tertawa, bercanda, dan membahas hal-hal sepele. Namun, saat bel istirahat hampir habis, Rafael merasakan perutnya mulai memberontak. Toilet. Itu masalah yang cukup pelik sekarang. Pergi ke sana sendirian? Bukan ide yang bagus. Tapi, minta ditemani? Gimana caranya biar gak kelihatan aneh?
Rafael menoleh ke arah teman-temannya yang sedang asyik ngobrol. Dia terdiam sejenak, berusaha menemukan cara agar bisa tetap terlihat normal.
“Eh, gue ke toilet bentar, ya,” kata Rafael dengan santai.
“Yoi, pergi aja,” sahut Bimo tanpa mengalihkan pandangannya dari ponselnya.
Rafael menggigit bibirnya, merasa semakin canggung. "Eh, Tris, lo ikut yuk," katanya sambil berusaha agar terdengar biasa saja, seolah itu hal kecil.
Tristan menatap Rafael bingung. “Ke toilet? Bareng?”
Rafael berusaha terlihat sesantai mungkin. "Ya, sekalian ngobrol aja. Gue ada yang mau gue tanyain soal... tugas. Lo paham kan, yang tadi kita bahas?"
Tristan masih tampak heran, tapi Rafael terus menatapnya, memberi sedikit tekanan yang halus dengan pandangan mata. Akhirnya, Tristan mengangguk. “Yah, oke deh. Tugas... ya.”
Bimo yang duduk di dekat Nasya langsung cekikikan begitu melihat keanehan itu. “Lo ini aneh banget, Raf. Masa ngajak orang ke toilet buat ngobrol tugas?”
Nasya tertawa kecil, tapi Bimo belum selesai. Dia melirik Nasya, tersenyum nakal. “Kenapa gak lo aja yang nemenin crush lo, Nasy? Rafael kan jelas-jelas butuh ‘perlindungan.’”
Muka Nasya langsung memerah. “Apa sih lo, Bi?! Gue gak crush sama siapa-siapa!” dia membalas dengan kesal, tapi malah semakin terlihat jelas betapa dia terganggu dengan godaan itu.
Tristan mengangkat alis, tertawa kecil sambil menepuk pundak Rafael. “Tuh, Raf. Kayaknya yang seharusnya nemenin lo ke toilet bukan gue, tapi si Nasya nih.”
Rafael yang mencoba bersikap santai hanya tersenyum kecil, meski dalam hatinya ingin menghindari situasi canggung ini. “Santai aja, Tris. Lo yang gue ajak, bukan yang lain.”
Tristan menggeleng, lalu berdiri. “Oke, bos. Gue ikut, tapi kalo ini buat ngobrol tugas, gue pastiin lo beneran punya yang mau ditanya, ya.”
Mereka berdua akhirnya berjalan menuju toilet, sementara Bimo dan Nasya masih tertawa kecil di belakang, saling menggoda satu sama lain. Bimo, yang masih belum selesai, terus menyindir Nasya. “Kapan lo mulai ngaku, Nasy?”
Nasya hanya melempar tatapan tajam ke arah Bimo, sebelum melempar tissue ke arahnya, membuat mereka tertawa lebih keras lagi.
Suasana yang awalnya berat bagi Rafael, akhirnya terasa lebih ringan dengan candaan dari teman-temannya. Tapi, di balik semua itu, rasa takut terhadap topeng itu masih ada.
Tristan dan Rafael berjalan menuju toilet. Tristan menoleh ke arah Rafael dengan alis terangkat, mencoba mengingat percakapan tadi. "Jadi, lo mau bahas apa tadi, Raf? Soal tugas?" tanya Tristan, masih terlihat sedikit bingung.
Rafael terdiam sejenak, mencari jawaban yang masuk akal di kepalanya. "Oh... ya, soal tugas Matematika yang disuruh Bu Linda. Gue agak bingung sama soal nomor tiga," jawabnya dengan nada yang berusaha terdengar meyakinkan, meski dia tahu Tristan tidak benar-benar peduli soal itu sekarang.
Tristan hanya mengangguk sambil tersenyum tipis. "Yah, lo biasanya jago ngerjain soal gitu. Tapi ya udah, nanti kita bahas deh."
Sesampainya di toilet, Rafael segera masuk ke dalam bilik untuk menyelesaikan urusannya. Di luar, Tristan berdiri di depan wastafel, mencuci tangan sebentar, lalu mengaca sambil mengotak-atik ponselnya. Keheningan terasa nyaman sampai tiba-tiba ponsel Tristan berdering. Tanpa berpikir panjang, dia segera mengangkat teleponnya.
"Halo? Iya, gue di toilet. Sekarang? Oke, gue nyusul."
Sambil masih berbicara di telepon, Tristan berjalan ke pintu. "Raf, gue keluar dulu ya!" teriaknya sebelum melangkah keluar.
Rafael yang masih di dalam bilik langsung merasa panik. "Eh, Tris! Tunggu, bentar!" Dia mencoba menahan Tristan, tapi tidak ingin terdengar terlalu cemas. Dengan suara yang agak tergesa, dia menambahkan, "Gue... gue butuh lo buat bahas soal tadi lagi, nanti aja keluar, ya?"
Namun, Tristan sudah pergi. Rafael mendengar suara pintu toilet terbuka, kemudian tertutup kembali, dan Tristan menghilang begitu saja. Jantung Rafael mulai berdegup lebih cepat. Sial... gue gak bisa sendirian di sini.
Rafael berusaha menyelesaikan urusannya dengan cepat. Setelah selesai, dia buru-buru membersihkan diri dan keluar dari bilik. Namun, saat sampai di pintu, ada sesuatu yang aneh.
Pintu toilet... terkunci.
Rafael berhenti sejenak. Kepanikan mulai merayap dalam dirinya. Dia mencoba membuka pintu, tapi itu tidak bergerak sedikit pun. Dia menggedor pintu. "Tris? Ada orang di luar? Tolong dong!" teriaknya, namun tidak ada jawaban.
Rafael terus menggedor, berharap ada yang mendengar. Tapi kemudian, suasana di sekitar mulai berubah. Udara di dalam toilet terasa lebih dingin. Bulu kuduk Rafael mulai berdiri, dan entah kenapa, dia merasa seperti... dia tidak sendirian.
Tiba-tiba, lampu toilet berkedip beberapa kali. Cahaya yang remang-remang membuat suasana semakin mencekam. Rafael melangkah mundur, matanya terpaku pada pintu, berharap seseorang akan datang menolongnya. Namun, semakin dia berdiri di sana, semakin jelas perasaan bahwa ada sesuatu yang mengintai dari balik bayangan.
Desiran angin yang aneh terdengar, seolah-olah ada bisikan samar yang menggema di dinding. "Tidak... tidak mungkin..." bisik Rafael kepada dirinya sendiri. Tiba-tiba, kilatan bayangan aneh muncul di cermin wastafel—wajah yang tidak seharusnya ada di sana, seperti... topeng itu.
Deg! Napas Rafael tersengal. Wajahnya basah oleh keringat yang tiba-tiba membanjiri tubuhnya. Baju seragamnya mulai terasa lengket karena basah kuyup. Dia berlari ke wastafel, menatap cermin dengan perasaan takut yang memuncak. Di cermin, bayangan topeng itu jelas terlihat, seolah sedang mengawasinya dari dalam kaca. Rafael mengusap wajahnya yang basah, berharap ini semua hanyalah halusinasi.
Namun, suara langkah kaki samar terdengar dari balik bilik. Langkah yang berat dan menyeret—seperti ada yang bergerak mendekat. Rafael menahan napas, tubuhnya gemetar. Ini bukan halusinasi...
"Siapa di sana?" teriak Rafael, tapi hanya keheningan yang menjawabnya.
Langkah itu semakin mendekat, dan cermin di depannya berkabut perlahan. Kata-kata tak jelas mulai terbentuk di sana, seolah ada tangan tak terlihat yang menulis pesan di atas permukaan yang berembun. Rafael berbalik menghadap bilik yang kini tampak lebih gelap, seolah bayangan itu berwujud nyata dan semakin mendekat ke arahnya.
Tepat ketika dia merasa segalanya akan berakhir, pintu toilet tiba-tiba terbuka dengan keras, membanting ke dinding. Rafael terlompat mundur, tubuhnya menggigil. Napasnya terengah-engah, dan tubuhnya basah kuyup oleh keringat. Dia tak tahu bagaimana, tapi pintu yang tadinya terkunci itu kini terbuka lebar.
Tanpa pikir panjang, Rafael berlari keluar, hampir tersandung ketika melewati ambang pintu. Sesampainya di luar, dia berusaha menenangkan diri, napasnya masih terengah. Badannya gemetar hebat, tapi dia berhasil keluar. Topeng itu... selalu mengikutinya.
Dia bersandar di dinding luar toilet, menatap langit sambil berusaha mengatur napasnya yang kacau. ‘Apa-apaan tadi itu?’