Pernikahan yang terjadi antara Ajeng dan Bisma karena perjodohan. Seperti mendapat durian runtuh, itulah kebahagiaan yang dirasakan Ajeng seumur hidup. Suami yang tampan, tajir dan memiliki jabatan di instansi pemerintahan membuatnya tidak menginginkan hal lain lagi.
Ternyata pernikahan yang terjadi tak seindah bayangan Ajeng sebelumnya. Bisma tak lain hanya seorang lelaki dingin tak berhati. Kelahiran putri kecil mereka tak membuat nurani Bisma tersentuh.
Kehadiran Deby rekan kerja beda departemen membuat perasaan Bisma tersentuh dan ingin merasakan jatuh cinta yang sesungguhnya, sehingga ia mengakhiri pernikahan yang belum genap tiga tahun.
Walau dengan hati terluka Ajeng menerima keputusan sepihak yang diambil Bisma. Di saat ia telah membuka hati, ternyata Bisma baru menyadari bahwa keluarga kecilnya lah yang ia butuhkan bukan yang lain.
Apakah Ajeng akan kembali rujuk dengan Bisma atau menerima lelaki baru dalam hidupnya...
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Leny Fairuz, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 3 Mencoba Bertahan
Empat bulan pernikahan mereka lalui tetap dalam kebekuan. Ajeng masih berusaha meraih hati suaminya. Tapi Bisma tetap dingin tak tersentuh. Ia tak henti-hentinya memohon pada Yang Kuasa untuk membukakan hati sang suami agar rumah tangga mereka berjalan dalam koridor yang disyariatkan.
Malam belum terlalu larut. Ajeng sudah mempersiapkan diri. Dua pekan suaminya tidak pulang ke rumah karena melihat perkebunan teh mereka yang ada di Bandung dan dikelola sepupunya Angga.
Sesudah makam malam ia beberes dengan cepat. Ia hafal suaminya tidak menyukai keramaian. Di rumah mereka yang mewah, Ajeng memang tidak mempekerjakan art untuk membantunya sehari-hari.
Ia tau, Bisma tidak mau ada orang luar yang mengganggu aktivitasnya di dalam rumah. Hanya secara berkala ia memanggil jasa art untuk membersihkan rumahnya dari debu yang tak terjangkau jika Bisma masih belum kembali dari luar kota.
Ia memasang wewangian dan parfum yang lembut dileher dan pergelangan tangannya. Ia yakin dua minggu berjauhan akan membuat suaminya merindukan kehangatan darinya.
Senyum tak lekang dari wajah ayunya, membayangkan kemesraan yang tak lama lagi akan ia arungi bersama Bisma. Untuk menunggu sang suami yang ia lihat selesai makan memasuki ruang kerjanya, akhirnya Ajeng meraih ponsel untuk mengatasi rasa bosan menunggu.
Ajeng terbangun begitu sayup-sayup suara Azan bergema. Ia meraba samping. Tempat tidurnya dingin, berarti Bisma tidur di ruang kerjanya. Semalaman ia menunggu, ternyata pekerjaan lebih menarik bagi suaminya ketimbang istri yang begitu merindukannya.
Ajeng mengusap dada. Miris ....
Entah sampai kapan ia sanggup menjalani pernikahan seperti ini. Bisma seperti bayangan dalam hidupnya. Ada, tapi seperti tiada. Ia tak mampu menjangkaunya.
Saat hendak bangun kepalanya terasa berat. Pandangannya terasa berkunang-kunang. Tapi Ajeng tetap memaksakan diri. Ia harus menyiapkan sarapan pagi untuk suaminya. Ia hafal kebiasaan suaminya yang tidak suka jajan di luaran jika sudah berada di rumah.
Mertuanya yang baik hati telah mewariskan tidak hanya kekayaan dan barang branded padanya tetapi juga ilmu kuliner yang ia miliki. Sehingga kemahiran Ajeng dalam memasak 11 12 lah sama mama mertua kesayangannya.
Setelah melaksanakan kewajiban sebagai hamba yang selalu bersyukur, Ajeng dengan memijit kepalanya yang masih berdenyut berjalan perlahan menuju dapur.
Dengan segenap kekuatan yang ada ia mengeluarkan sayuran dan dua butir telur yang akan digunakan untuk tambahan nasi goreng seafood. Udang dan baso yang tersedia membuat racikan nasi goreng bikinannya mengeluarkan aroma yang membuat rasa lapar.
Bisma keluar dari ruang kerjanya dengan kaos pol* dan celana training. Itulah dinas seharinya jika berada di rumah. Ajeng tak berani lama memandang wajah tampan suaminya yang berselimut salju.
Tidak ada percakapan yang terjadi selama sarapan berlangsung. Ajeng sudah sangat hafal apa yang dimaui suaminya. Biasanya selesai sarapan pagi, Bisma akan pergi ke rumah mamanya sendirian.
Tumben kali ini ia masih betah di kursi tanpa ada keinginan untuk bangkit dan melanjutkan rutinitas akhir pekannya.
“Ada yang ingin ku bicarakan,” suara bariton Bisma mengentikan aktivitas Ajeng yang telah menyatukan piring kotor untuk segera ia cuci, “Duduklah ....”
Ajeng menuruti keinginan suaminya. Dan segera mendudukkan diri tepat di hadapan Bisma yang kini menatapnya dengan sorot yang tidak bisa ditebak.
Ruangan makan hening sesaat. Bisma membuang muka dan menghela nafas dalam-dalam. Tanpa berpikiran negatif Ajeng tersenyum melihat wajah gelisah suaminya.
“Apa ada masalah mas?” Ajeng bertanya dengan hati-hati.
“Aku ingin kita mengakhiri sandiwara ini,” ucapan Bisma begitu dingin.
“Sandiwara? Maksudnya?” Ajeng belum paham perkataan suaminya.
“Pernikahan ini bukanlah seperti yang ku harapkan,” ujar Bisma, “Aku pun yakin kamu tersiksa dengan rumah tangga kita.”
Ajeng menggelengkan kepala, berusaha menolak kebenaran yang disampaikan Bisma. Ia tidak ingin mendengarnya dan menganggap itu hanya omong kosong.
Empat bulan ini ia berusaha belajar dan bersyukur dengan segala apa yang miliki. Walau pun sebagai seorang istri kekurangan nafkah batin, tidak lantas membuatnya melupakan anugerah yang ia dapat berupa harta dan mertua yang selalu mendukungnya.
“Aku tidak ingin berdosa lebih besar karena membiarkan istri yang harusnya ku bimbing tapi .... “
“Aku redho dengan semuanya mas. Tapi ku mohon, jangan akhiri pernikahan ini,” dengan cepat Ajeng memotong ucapan Bisma.
Ia kasian dengan bapak di kampung serta Dimas. Apa tanggapan keluarga di sana jika ia harus berpisah dan menyandang status sebagai janda?
Ajeng menggelengkan kepala berharap bahwa semua ini hanya mimpi dan ia segera terbangun dari mimpi panjangnya.
“Aku tidak bisa menjalani lebih lama lagi. Dunia kita berbeda. Dan aku pun tidak bisa menjadi suami sempurna untukmu,” tegas Bisma.
“Mas, aku mohon.... “ Ajeng mengharap belas kasih Bisma.
Ia sudah terlanjur sayang pada suaminya yang sampai detik ini masih dingin dan kaku. Ia tak ingin berpisah.
“Kamu tidak akan kekurangan walau pun kita berpisah,” ujar Bisma datar.
Ia yakin dengan pemikirannya, bahwa Ajeng mengkhawatirkan kehidupannya yang selama ini dihujani kemewahan akan berakhir dengan perpisahan mereka.
“Bukan seperti itu .... “ Ajeng menggelengkan kepala.
Ia tau isi kepala sang suami yang selalu menganggapnya matre karena barang-barang branded yang selalu bertambah setiap minggu.
Bukan keinginan Ajeng untuk shopping, tetapi mertuanya dan Mayang sering minta ia temani untuk cuci mata di akhir pekan. Sebagai menantu yang baik, ia selalu menyempatkan diri untuk menemani keduanya setiap panggilan datang.
“Aku tau, setiap wanita semua sama. Jangan khawatir akan masa depanmu ....” Bisma menjadi tak sabar karena Ajeng menolak keinginannya.
“Biarkan aku memikirkan semuanya .... “ lirih Ajeng.
Ia memegang erat sisi meja saat hendak bangkit dari duduknya. Hanya itu kekuatan yang ia punya agar tetap mampu berdiri dengan kokoh di hadapan suaminya.
Tak sanggup ia terus duduk di hadapan Bisma yang begitu memaksa untuk berpisah. Ia redha dan ikhlas dengan segala sikap Bisma yang tetap dingin. Ia pun yakin masih mampu bertahan dengan pernikahan yang begitu dingin tanpa ada kehangatan dan sikap mesra satu sama lain.
Begitu bangkit, kepalanya terasa berputar. Ajeng sudah tidak merasakan apa-apa lagi selain kelukaan akibat percakapan Bisma yang telah membuat hatinya terkoyak.
“Jeng .... “ samar-samar ia mendengar suara Nurita dengan tepukan lembut di pipinya.
Matanya terasa berat untuk dibuka dengan kepala yang berdenyut bertalu-talu. Ia tidak tau apa yang terjadi dengan dirinya.
“Dek .... “ kembali ia mendengar suara Mayang.
“Biar saja bu. Mungkin ini bawaan hamil muda hingga mbak Ajeng pingsan. Jangan khawatir .... “ dr. Ergi Sihotang, SpOg yang biasa menangani Mayang yang sedang menjalani program kehamilan bersam suaminya Rudi Anggoro menjelaskan pada Nurita dan Mayang.
“Alhamdulillah ya Allah .... “ Nurita mengucap syukur mendengar penjelasan dr. Ergi dan memeluk Mayang dengan perasaan bahagia.
Bisma yang baru saja mengurus administrasi dan masuk dalam ruangan tidak mengerti dengan raut mamanya yang terlihat bahagia dengan bibirnya yang terus menerus mengucap syukur.
“Apa yang terjadi ma?” Ia tak bisa menahan rasa ingin tahu.
“Ajeng hamil nak. Hari ini mama merasa sangat bahagia .... “ Nurita kini memeluk Bisma dan menangis terharu.
Bisma tercekat. Baru saja ia menyampaikan keinginannya untuk berpisah dengan istrinya. Ternyata semesta berkehendak lain.
Kini Ajeng mendengar semua pembicaraan dengan jelas. Rasa bahagia berbalut luka hinggap di hatinya. Ia tau, Allah lah yang telah mengatur semuanya. Mungkin ini jawaban do’anya agar bisa bertahan dalam rumah tangga yang baru seumur jagung ia jalani.
“Bantu bunda untuk tetap kuat ya sayang .... “ lirih Ajeng berkata sambil membelai perutnya yang masih tampak rata.
Ia yakin, dengan adanya buah cinta yang kini bersemayam di dalam rahimnya akan menguatkan dirinya untuk berjuang dalam merebut hati suaminya agar memiliki setitik rasa kasih demi keluarga kecil mereka di masa depan.
***Segala bentuk dukungan sangat Otor harapkan dari para pembacaku tersayang ....***