HARAP BIJAK MEMILIH BACAAN, PASTIKAN UDAH PUNYA KTP YA BUND😙
Bosan dengan pertanyaan "Kapan nikah?" dan tuntutan keluarga perihal pasangan hidup lantaran usianya kian dewasa, Kanaya rela membayar seorang pria untuk dikenalkan sebagai kekasihnya di hari perkawinan Khaira, sang adik. Salahnya, Kanaya sebodoh itu dan tidak mencaritahu lebih dulu siapa pria yang ia sewa. Terjebak dalam permainan yang ia ciptakan sendiri, hancur dan justru terikat salam hal yang sejak dahulu ia hindari.
"Lupakan, tidak akan terjadi apa-apa ... toh kita cuma melakukannya sekali bukan?" Sorot tajam menatap getir pria yang kini duduk di tepi ranjang.
"Baiklah jika itu maumu, anggap saja ini bagian dari pekerjaanku ... tapi perlu kau ingat, Naya, jika sampai kau hamil bisa dipastikan itu anakku." Senyum tipis itu terbit, seakan tak ada beban dan hal segenting itu bukan masalah.
Ig : desh_puspita
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Desy Puspita, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
BAB 8
"Dasar kurang ajar, berani sekali dia mematikan ponselnya tanpa izinku."
Ibra mengerutkan dahi, menatap ponsel yang kini telah terdiam. Beberapa detik lalu dia berusaha menahan agar Kanaya tak menyudahi pembicaraannya. Akan tetapi, pria itu justru mendapat hal semacam ini.
"Woah, bisa-bisanya dia semahal ini setelah tadi malam ... ck."
Pemilik rambut coklat itu berdecak heran sembari memukul angin. Sebal sekali rasanya, mendapat perlakuan semacam ini adalah hal pertama bagi Ibra.
Seakan tak percaya ada seorang wanita yang tak mendambakan dirinya. Ya walau sebenarnya tadi malam semua sudah membuktikan bahwa Kanaya juga tak berbeda seperti wanita lainnya.
Baru berpisah beberapa waktu lalu, kini Ibra justru khawatir tak bisa lagi bertemu dengan wanita itu. Wanita cantik yang berhasil membuat tubuhnya melayang di atas awan dengan kenikmatan surga kerinduan Ibra.
Ada perasaan was-was, karena jujur saja pertemuan mereka terbilang ringkas dan Ibra belum mengetahui dimana kediaman Kanaya sesungguhnya.
Bagaikan kekasih yang ditinggal pasangannya, Ibra sempat bersandar lemah di mobilnya. Ada satu cara untuk mengetahui dimana Kanaya sebenarnya.
Ktp dan semuanya ada di dalam tas itu, dan mudah saja bagi Ibra jika dia mau melakukannya. Akan tetapi, hal semacam itu bukan dirinya sama sekali, Ibra takkan mengambil sesuatu jika belum mendapat izin dari tuannya.
"Huft, terserahlah ... kenapa juga aku memikirkan wanita itu."
Tak ingin terlalu dalam, toh memang semua yang terjadi adalah kemauan Kanaya sendiri, apa yang salah? Ibra memutuskan untuk tak peduli.
Ddrt Ddrt
Ponselnya bergetar, spontan mata Ibra menatap layar benda pipih itu. Namun, ada sedikit kekecawaan kala yang menghubunginya.
"Ada apa?" tanya Ibra singkat, sorot mata elangnya menatap tajam kedepan.
"Jangan melakukan apapun, cukup awasi saja ... kau tahu aku belum bisa bertindak semaunya jika masih ada Mama."
Seperti perintah, Ibra kini meremmas tas Kanaya yang sejak tadi ia genggam sekuat tenaga. Sorot mata Ibra menjelaskan betapa muak dirinya lagi-lagi mendengar laporan Gavin perihal ini.
"Aku tidak akan pulang, katakan saja aku ada urusan di luar kota, Gavin ... hal sepele macam ini harusnya kau tidak perlu bertanya."
Sedikit marah, Ibra mengeluarkan suara dingin penuh penekanan di sana. Sudah dia jelaskan berkali-kali untuk berhenti karena dia berhak bebas melakukan jalan hidupnya, akan tetapi kenapa wanita tua itu masih saja menjadi duri dalam hidupnya, pikir Ibra.
Ibra menyelesaikan pembicaraannya, kini mendongak dan lagi-lagi pandangannya mengarah lantai 20 hotel bintang 5 tersebut. Hatinya resah, gundah dan seakan ada yang hilang ketika dia hendak meninggalkan tempat ini.
-
.
.
.
Semua baik-baik saja, tampaknya. Kanaya kembali bekerja dengan baik meski ada beberapa perubahan yang Lorenza rasakan sejak tiga minggu terakhir.
Apa yang sebenarnya Kanaya sembunyikan? Kenapa Kanaya hanya fokus tentang uang dan jabatan. Apa mungkin Kanaya tengah mengumpulkan pundi-pundi rupiah untuk kembali membayar seorang pria seperti tiga minggu lalu, selidik Lorenza sejak tadi memantau Kanaya dengan mata elangnya.
"Sampai kapan matamu melihatku begitu, Za? Nggak capek?" tanya Kanaya santai sembari fokus dengan layar monitor di depannya, sejak tadi dia sungguh luar biasa risih dengan tatapan menyebalkan Lorenza yang seakan tak khawatir jika nanti bola matanya tertusuk pulpen.
"Kanaya, apa ada yang kamu sembunyikan dariku dan Siska?" Blak-blakan dia bertanya karena sejak tadi jiwanya penasaran luar biasa.
"Nggak ada, kenapa tiba-tiba nanya begitu?"
Kanaya menggosok hidungnya, tampak gugup dan mencoba tak terlihat tegang kala pertanyaan itu menyerangnya. Walau sejujurnya dia sedikit kaget dengan cara Lorenza bertanya yang persis guru BK.
"Mencurigakan, sejak kamu ketemu Abraham itu ...."
"Ibrahim, Lorenza," ujar Kanaya menghela napas perlahan.
"Iya intinya laki-laki itu ... kamu aneh banget di mataku, Nay."
Menuduh dengan segala asumsinya, sebenarnya jika orang yang tak mengenal Kanaya dekat, perubahan Kanaya takkan begitu di sadari, akan tetapi berbeda dengan mereka berdua.
"Perasaan kamu aja, toh selama ini aku baik-baik aja kan?"
Memang, semua baik-baik saja. Akan tetapi perubahan mood Kanaya yang kerap kali memilih berdiam diri daripada ikut kemana mereka pergi adalah hal tak wajar menurut Lorenza.
Selama ini dia pahami, Kanaya adalah wanita kesepian yang tak bisa ditinggal baik olehnya maupun Siska. Akan tetapi, semenjak hari itu memang Kanaya lebih memilih untuk diam.
"Semoga ya hanya perasaanku," ucap Lorenza akhirnya menyerah dan kini kembali fokus dengan pekerjaannya yang juga menggunung.
Mungkin benar perkiraan Siska, Kanaya begini karena masih belum begitu menerima jika Gibran dan Khaira justru menikah. Belum lagi mereka yang tinggal serumah karena Mahatma enggan berpisah dengan putri kandungnya untuk sementara waktu.
Tersiksa, patah dan hancur jelas saja Kanaya rasa. Hidup di atap yang sama dengan seseorang yang pernah menjadi masa lalunya dan sempat mengukir cinta adalah pil pahit bagi Kanaya.
Akan tetapi yang terjadi sebenarnya tidak demikian, Kanaya sama sekali tak memusingkan perihal Gibran dan Khaira.Terserah, selagi mereka bisa menenikmati kebahagiaan tanpa pura-pura, pikirnya.
Hendak berbagi Kisah Kanaya enggan karena jujur saja saat ini ia tengah berusaha melupa untuk tak mengingat apa yang terjadi padanya. Perihal Ibra, ia akan mengubur kekhilafan itu sebisanya.
Tak perlu dia mengatakan ke siapapun aib tentangnya, karena bagi Kanaya hal semacam itu adalah sesuatu yang tak pantas didengar siapapun saat ini.
"Nay, kamu sarapan nggak sih pagi tadi?"
Perhartian sekali, Kanaya sampai bosan menjawabnya. Sudah Kanaya katakan dia tidak ingin sarapan walau hanya satu butir nasi, mulut dan perutnya memang tidak bersedia menerima apapun saat ini.
"Tadi udah aku jelaskan, Za ...nggak usah banyak tanya kan bisa."
Kanaya memijat pangkal hidungnya, kepalanya sudah sangat amat pusing. Dan sejak tadi pertanyaan spontan yang Lorenza berikan semakin membuatnya meradang.
"Kan kamu beda, biasanya Naya tu nggak sesensi ini."
Bukan masalah apa, tapi memang siapapun yang berhadapan dengan Lorenza akan merasakan hal sama. Bertanya yang tak cukup satu kali dan takkan berhenti sebelum mendapat pernyataan pasti.
"Terserah!!" sentak Kanaya sembari melangkah pergi meninggalkan meja kerjanya, dirinya merasa sama sekali tidak baik sejak tadi pagi sebenarnya, belum lagi memiliki teman super riweh menjadi alasan kepalanya semakin tak karuan.
"Yeee baperan!! Gak beres ni cewek asli." Lorenza meneliti perubahan emosi Kanaya, dan itu sejak beberapa hari ia lakukan.