Ratri Swasti Windrawan, arsitek muda yang tidak ingin terbebani oleh peliknya masalah percintaan. Dia memilih menjalin hubungan tanpa status, dengan para pria yang pernah dekat dengannya.
Namun, ketika kebiasaan itu membawa Ratri pada seorang Sastra Arshaka, semua jadi terasa memusingkan. Pasalnya, Sastra adalah tunangan Eliana, rekan kerja sekaligus sahabat dekat Ratri.
"Hubungan kita bagaikan secangkir kopi. Aku merasakan banyak rasa dalam setiap tegukan. Satu hal yang paling dominan adalah pahit, tetapi aku justru sangat menikmatinya."
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Komalasari, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
27. Panggilan Keempat
"Kamu membawaku dalam masalah besar."
"Kamu menyukainya, kan?" Sastra tersenyum nakal.
Sejoli itu saling pandang sesaat, sebelum sama-sama tersenyum.
"Aku harus pulang. Aku takut tidak bisa menahan diri, jika terlalu lama di sini," ucap Sastra, seraya melepaskan rangkulan.
"Aku tidak akan macam-macam, selain menciummu," ucap Sastra lagi, diiringi senyum nakal. Dia mendekatkan wajah, kemudian menelusupkan tangan ke belakang leher Ratri.
Ratri langsung memejamkan mata, seakan tahu apa yang akan Sastra lakukan. Namun, wanita muda itu kembali membuka mata sambil menatap aneh.
Malu, Ratri segera memalingkan wajah. Terlebih, saat melihat Sastra tersenyum geli karena telah berhasil mengerjainya.
"Kenapa? Kamu pikir aku akan mencium bibirmu?" Sastra menahan tawa. Apalagi, saat melihat Ratri langsung ke pintu dan membukanya. Wanita itu mengarahkan tangan ke luar, mempersilakan Sastra pergi.
"Astaga. Ternyata kamu berharap," goda Sastra setengah meledek.
"Jangan berisik. Cepat pulang sana," usir Ratri agak ketus. Sebenarnya, dia sedang menutupi rasa malu.
"Baiklah. Sampai bertemu besok." Sastra berdiri sejenak di ambang pintu, kemudian menoleh kepada Ratri. Dia mengedipkan sebelah mata, sebelum pergi dari sana. Pria itu berjalan tenang menuruni anak tangga. Langkahnya gagah bak seorang peragawan di catwalk.
Sementara itu, Ratri terus memperhatikan dari ambang pintu. Setelah mobil double cabin yang Sastra kendarai pergi, barulah dia kembali ke dalam.
......................
Suara ketukan di pintu terdengar begitu nyaring. Membuat Ratri yang tengah bersiap-siap ke kantor, merasa heran. Dia menghentikan aktivitasnya, kemudian beranjak ke pintu.
"Bu Mirah?" sapa Ratri sopan, pada wanita paruh baya yang merupakan pemilik tempat kost itu.
"Bisa bicara sebentar, Mbak?" Mirah memasang raut kurang bersahabat. Dia juga terlihat serba salah.
"Um, iya. Tetapi, saya harus berangkat ke kantor lima menit lagi."
"Sebentar saja, Mbak," desak Mirah.
Mau tak mau, Ratri akhirnya mempersilakan ibu kost itu masuk. Mereka duduk berhadapan, di lantai berlapis karpet bulu rasfur.
"Mbak Ratri sudah lama tingga di sini. Seharusnya, Mbak tahu aturan ketat yang saya terapkan," ucap Mirah, membuka perbincangan.
Ratri mengangguk samar. Dia bisa menebak ke mana maksud ucapan Mirah.
"Maaf, Mbak. Saya mendapat laporan dari salah seorang penguni kost di sini. Katanya, semalam Mbak Ratri membawa laki-laki kemari. Apa itu benar?"
Ratri tidak segera menjawab. Dia memikirkan kata yang dirasa pantas untuk dijadikan sebagai penjelasan.
"Maafkan saya, Bu. Saya ...." Akan tetapi, Ratri tak tahu harus berkata apa.
"Saya akan memberikan teguran keras. Padahal, sejauh ini Mbak tidak pernah melanggar aturan. Saya juga heran, kenapa tiba-tiba bisa melakukan itu?"
"Um, itu ...." Ratri menggeleng pelan. "Saya janji tidak akan mengulanginya lagi."
"Bagaimana, ya? Saya juga agak bingung," ucap Mirah. "Di satu sisi, Mbak Ratri termasuk yang paling baik dalam menerapkan peraturan di sini. Saya tidak akan melupakan itu. Di sisi lain, saya harus bersikap adil. Sama seperti yang dilakukan kepada Mbak Intan beberapa bulan lalu."
"Bukankah itu sudah jelas alasannya, Bu? Mbak Intan memang kedapatan sedang melakukan hubungan suami-istri di kamar kost-nya. Sementara, saya tidak. Demi Tuhan, saya tidak melakukan apa pun. Lagi pula, teman saya hanya sebentar di sini. Tidak sampai setengah jam," jelas Ratri, mencoba meyakinkan Mirah.
"Lama atau sebentar, siapa yang berani menjamin Mbak tidak berbuat mesum di sini? Hanya Tuhan dan Mbak sendiri yang tahu."
Ratri terdiam sejenak, sebelum kembali bicara. "Apa itu artinya saya harus keluar dari sini? Tadi, Ibu bilang saya hanya akan diberi teguran."
Mirah terlihat tidak enak. "Saya beri satu kali kesempatan lagi. Saya harap, Mbak Ratri tidak mengecewakan."
Ratri mengangguk samar. Keberadaan Sastra memang memberikan hiburan tersendiri baginya. Akan tetapi, pria itu juga membawa banyak masalah.
"Dasar pria meresahkan," gerutu Ratri tanpa sadar, seraya meletakkan tas di meja. Dia membawa rasa jengkel ke kantor.
"Siapa, Rat?" tanya Eliana, yang tiba-tiba muncul dari belakang. Dia membawa secangkir kopi, lalu meletakkannya di meja kerja.
"Ah, bukan siapa-siapa," sahut Ratri, berusaha menutupi rasa terkejut. Si pemilik rambut pendek itu memperhatikan Eliana, yang begitu tenang menyeruput kopi panas kesukaannya.
"Kamu sudah bicara dengan Sastra?" tanya Ratri penasraan.
"Belum." Eliana menggeleng, lalu kembali menyeruput kopinya.
"Kupikir sudah. Soalnya, kamu terlihat ceria pagi ini," ucap Ratri lagi, setengah keheranan.
Mendengar ucapan Ratri, membuat Eliana seketika terdiam. Ekor matanya bergerak ke kiri dan kanan, seakan tengah memikirkan sesuatu. Kali ini, dia yang melayangkan tatapan lekat kepada Ratri. "Aku akan menunggu saat yang tepat untuk berbicara dengan Sastra," ucapnya, setelah terdiam beberapa saat.
Ratri tersenyum kecil, diiringi anggukan samar. Dia tak menanggapi lagi. Pikirannya sedang tak keruan.
Ting!
Satu pesan masuk, dari kontak bernama Batman. Walau agak malas, Ratri langsung membuka pesan tersebut.
[My Cutie Pie. ]
Perlahan, raut masam Ratri memudar. Dia tersenyum kecil.
[Sore ini, aku berencana mengajak Elia nonton. Kami sudah merencanakannya sejak beberapa hari yang lalu.]
[Oh. Lalu?]
[Aku hanya memberitahumu.]
Ratri tak langsung membalas. Entah mengapa, ada rasa tak suka membaca pesan itu. Senyum yang tadi sempat hadir, kembali memudar. Akhirnya, Ratri benar-benar tak membalas. Dia memilih mengalihkan perhatian pada pekerjaan.
Pukul setengah empat lebih beberapa menit, Elia sudah bersiap. Ratri berpura-pura tak peduli, meskipun tahu apa yang akan sang rekan lakukan sepulang kerja.
"Aku baru ingat. Aku dan Sastra sudah membuat rencana menonton pemutaran perdana film 'Miranda'. Aku menantikannya sejak lama," ujar Eliana, setelah selesai merapikan meja serta barang-barang pribadi ke dalam tas. Hanya telepon genggam yang dibiarkan tergeletak di meja.
"Aku ikut senang. Semoga hubungan kalian baik-baik saja," balas Ratri menanggapi, disertai senyuman. Padahal, dalam hati ada gemuruh besar dalam dada.
"Apa menurutmu ini waktu yang tepat untuk bicara dengannya?" tanya Eliana ragu.
"Pastikan dalam situasi dan kondisi yang mendukung. Jangan sampai justru memperburuk keadaan," saran Ratri.
Eliana mengembuskan napas pelan dan dalam. "Apa kamu mau menonton juga film 'Miranda'?"
"Ya. Tetapi, lain kali saja. Masih ada waktu," sahut Ratri. "Aku masih ada urusan lain."
"Ya, sudah. Aku mau ke toilet dulu." Eliana beranjak dari ruang kerja.
Beberapa saat kemudian, terdengar dering panggilan hingga tiga kali di ponsel Eliana. Namun, pemiliknya belum juga kembali.
Pada panggilan keempat, Ratri merasa penasaran. Walaupun, dia yakin yang menelepon adalah Sastra. Iseng, dirinya beranjak dari meja, lalu mendekat ke meja kerja Eliana.
Tertera nama 'Mi Amor' di layar, dengan foto profil bukan milik Sastra.
taukan ela itu pemain drama
apa prama yaa
☹️☹️
betkelas dech pokoknya
" ternyata baru kusadari sirnanya hatimu yg kau simpan untuknya
aku cinta kepadamu,aku rindu dipelukmu
namun ku keliru t'lah membunuh cinta dia dan dirimu... oh...ohh..ohhh"
😅😅😅😘✌
jangan2 emaknya ratri ibu tirinya sastra...