Undangan sudah disebar, gaun pengantin sudah terpajang dalam kamar, persiapan hampir rampung. Tapi, pernikahan yang sudah didepan mata, lenyap seketika.
Sebuah fitnah, yang membuat hidup Maya jatuh, kedalam jurang yang dalam. Anak dalam kandungan tidak diakui dan dia campakkan begitu saja. Bahkan, kursi pengantin yang menjadi miliknya, diganti oleh orang lain.
Bagaimana, Maya menjalani hidup? Apalagi, hadirnya malaikat kecil.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Egha sari, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 27. Laut, saksi kita.
Dua tahun kemudian.
Dua anak kecil berlarian dalam rumah, yang satu mengejar dan yang satunya menghindari. Ruang tengah yang bergabung dengan ruang tamu, tanpa disekat.
Setahun lalu, Maya berhasil membeli rumah, meski masih kredit. Rumah hanya dengan dua kamar, dapur, ruang tamu dan satu kamar mandi. Satu kamar yang cukup luas, dijadikan kamar tidur untuk mereka bertiga. Kamar satunya, berfungsi sebagai kamar tamu.
Selama dua tahun lebih, usaha Maya juga berkembang pesat. Warung makan, naik level menjadi restoran. Kedai di pesisir laut, juga mengalami peningkatan. Maya juga berhasil membuka dua cabang restoran, di kota yang sama. Ia juga merintis usaha roti dan kue, dengan menyewa toko yang sama.
Lalu, bagaimana hubungannya dengan Ansel? Hubungan yang terjalin itu, masih jalan ditempat. Ansel yang belum berani mengungkapkan perasaan dan Maya yang belum membuka hati. Meski, begitu hubungan mereka semakin kuat, apalagi kedua anak Maya memanggil "Ayah" pada Ansel.
Sherly, menjadi seseorang yang setiap hari berkunjung. Mulai dari membawa makanan, hingga mainan. Kadang, ia juga menginap bersama Saphira. Ibu dan anak itu, sangat memanjakan anak-anaknya.
Pagi ini, Maya berencana, mengunjungi kedainya di pesisir. Dengan menggunakan mobil, yang ia beli beberapa bulan lalu. Kendaraan itu, menjadi kebutuhan primer. Mengingat, dia memiliki dua anak yang masih balita. Akan berbahaya, jika menggunakan roda dua dan repot, jika menggunakan kendaraan umum. Maya harus membawa banyak perlengkapan, jika dua anaknya ikut berpergian.
Susu, minyak telon, perlengkapan mandi hingga mainan, dimasukkan dalam tas besar. Maya memisahkan mainan dalam tas berbeda, karena banyaknya jumlah mainan yang harus mereka bawa. Ditambah buku gambar dan peralatan, serta buku bacaan untuk putranya, yang agak berbeda.
Khaira sangat suka menggambar dan mewarnai. Berbeda dengan Khaysan yang suka melihat buku cerita bergambar, mencoret-coret dan menulis angka random. Dalam hal bermain, Khaira menyukai boneka, layaknya gadis kecil pada umumnya. Khaysan sendiri, justru lebih suka menghancurkan robot dan mobil-mobilannya, lalu menyatukannya kembali.
"Kita mau pelgi mana, mami?"
"Di pinggir laut, sayang."
"Laut? Yeee... " Khaira kegirangan, dengan loncat-loncat dan bertepuk tangan. "Boleh, belenang, Mami?"
"Tidak boleh, sayang."
Ketiganya masuk dalam mobil. Maya mendudukkan dua anaknya dengan memasang seatbelt. Ia juga memberikan kotak makanan dan botol susu, agar mereka tidak rewel, saat diperjalanan. Semua barang, sudah dimasukkan dalam bagasi.
Maya memutar musik lagu anak-anak. Di kursi belakang, Khaira ikut bernyanyi mengikuti irama. Sementara, Khaysan yang memiliki sifat pendiam, duduk tenang, dan fokus pada jalanan didepannya.
"Kau dimana?" tanya Ansel dari balik telepon.
"Aku ada diperjalanan."
"Kenapa tidak menungguku?"
"Kau pasti masih mengantuk, El. Kau pasti baru pulang. Sebaiknya kau istirahat. Kami akan disana dua hari."
"Baiklah. Hati-hati. Hubungi aku, jika terjadi sesuatu."
"Oke. Hahaha... gadis dibelakang, ingin berbicara padamu." Maya memberikan ponselnya pada Khaira, yang dari tadi sudah berteriak tidak sabar.
"Halo, ayah." Suara manja, gadis kecil pada ayahnya.
"Halo, sayang. Aira, mau kemana?"
"Ke laut. Aila, mau belenang, main pasil juga. Ayah datang, yah? Aila takut tenggelam."
"Hahahaha.... Oke, ayah datang. Aira jangan nakal yah, tunggu ayah datang."
"Oke. Dadah ayah. Muah, muah." Khaira mengecup layar ponsel berkali-kali, sebelum mengembalikannya pada sang ibu.
Perjalanan yang mulai membosankan bagi Khaira. Suara musik, sudah tidak menarik di pendengarannya. Botol susu, tinggal menyisakan setengah. Cemilan yang dibuat Maya, pun tinggal menyisakan tempatnya saja.
"Mami, apa masih lama? Aila, antuk."
"Tidul, sana," Khaysan yang sepanjang jalan hanya diam, kini bersuara.
"Mami, kakak, jahat." Aira, sudah berteriak campur tangis.
"Khay, jangan kasar sama adikmu."
Khaysan tidak menjawab. Ia membuka jaketnya, meletakkan diatas kursi, lalu menepuk-nepuk.
"Aila, bobo sini?" Sang kakak hanya mengangguk. "Tapi, Aila telikat tali." Menujukkan tali seatbelt yang terpasang di tubuhnya.
Khay, dengan tubuh mungilnya, berusaha melepaskan seatbelt, miliknya lebih dulu, agar leluasa membantu adiknya.
Gagal. Khaysan memberikan permen lolipop, yang ia sembunyikan dalam saku celana. Permen yang diberikan Saphira padanya. Dengan catatan, tidak boleh memberitahu sang ibu.
"Tlima asih, Kakak." Khaira pun, terdiam dengan lolipop dalam mulutnya.
Tidak terasa, mereka sudah tiba. Suara deru ombak, dan birunya air laut, membuat gadis kecil itu, terus bertepuk tangan.
"Kakak, ada laut. Kita belenang, yah."
Maya dibantu karyawan kedainya, menurunkan barang-barang. Ia memegang kedua anaknya, disisi kiri dan kanan. Khaira berjalan, dengan pandangan pada laut.
"Mami, Aila mau belenang."
"Sebentar, Sayang. Mami ada pekerjaan. Kamu bermain dulu, bersama kakakmu."
Maya berjalan masuk, tapi sebelumnya ia menitipkan dua anaknya pada salah satu pelayan kedai.
"Kakak, cantik. Aila mau belenang, boleh ya?"
"Tidak boleh, sayang. Tunggu, mami selesai, baru berenang bersama."
"Meen pasil?"
"Main pasir?" Gadis muda itu, tampak berpikir. Ia juga tidak tega, dengan tatapan Aira yang memelas dan penuh iba. "Boleh, deh. Nanti kakak temani."
"Yeee.... " Aira menarik tangan sang kakak untuk ikut.
Mereka duduk bermain pasir, dipinggir laut. Tangan kecil Aira dan Khay, menggeruk pasir dan membentuknya. Mereka menyusun, entah sedang membuat apa.
"Kakak cantik. Aila haus."
"Haus? Ya, sudah. Kita ambil minum dulu."
"Tidak mau. Aila mau buat lumah plinses."
Ragu-ragu, gadis muda itu, kini dilema. Ia menatap kedai yang jaraknya, sekitar dua meter dari tempat mereka. Pergi, tidak. Kalau pergi, mereka kenapa-napa. Tidak pergi, dia bakalan nangis bombay.
"Khay, jaga adikmu. Ingat, jangan kemana-mana. Kakak akan cepat." Gadis muda itu, melesat menuju kedai.
Merasa bebas, selangkah demi selangkah, Aira masuk dalam air. Tapi, Khay juga ikut dengan memegang tangan adiknya.
"Aila, mau belenang. Lepasin!"
"Nanti, Aila. Kayak batu."
Khay tetap kekeh memegang adiknya, yang meronta ingin dilepaskan. Aira tetap berjalan, sekarang air sudah mencapai lututnya.
"Dingin." Dengan satu tangan, Aira bermain air. Ia juga menyirami kakaknya. "Aila mau tinggal sini. Suka, ada laut."
"Aila, jangan pelgi jauh. Mami mallah." Khaysan menarik tangan sang adik, untuk naik ke tepi.
"Hai," sapa seseorang. Dua bersaudara itu, menatap pria asing yang kini duduk didalam air. "Mana ibumu dan ayahmu? kenapa berenang sendiri?"
"Mami ada kelja, ayah juga. Om ganteng, Aila mau belenang, tapi kakak malah-malah."
"Hahahaha....." Zamar mencubit pipi Aira, karena merasa gemas. Saat itu, tatapannya terkunci pada dua anak kembar yang wajahnya sangat familiar. "Kalian mau berenang? Biar, Om temani?" Zamar menarik dua bocah itu, duduk dipangkuannya dalam air. Mereka memukul-mukul air, hingga membiarkan tubuh mereka tersapu ombak.
"Maaf, Kak." Gadis pelayan kedai, datang dengan membawa satu gelas minuman hangat. "Mereka anak bos saya."
"Kakak cantik, Aila mau belenang. Jangan ganggu! Hus, hus, hus, pelgi jauh-jauh."
"Kakak bawa minum, sayang. Katanya, Aira haus."
"Hausnya, udah hilang. Tadi, Aila minum ail laut."
"Apa?"
"Hahahaha..." Suara tawa Zamar, kembali pecah. Untuk pertama, kalinya ia dibuat tertawa puas oleh gadis kecil.
🍋 Bersambung