Alinea Prasasti, seorang gadis berusia 25 tahun yang mengidap gangguan skizoafektif akibat trauma di masa lalu, berjuang untuk menemukan jalan hidupnya. Di usianya yang tidak lagi muda, ia merasa terjebak dalam ketidaktahuan dan kecemasan, tetapi berkat dukungan sepupunya, Margin, Aline mulai membuka diri untuk mengejar mimpinya yang sebelumnya tertunda—berkarier di bidang mode. Setelah bertemu dengan Dr. Gita, seorang psikiater yang juga merupakan mantan desainer ternama, Aline memulai perjalanan untuk penyembuhan mentalnya. Memasuki dunia kampus yang penuh tantangan, Aline menghadapi konflik batin, dan trauma di masa lalu. Tapi, berkat keberanian dan penemuan jati diri, ia akhirnya belajar untuk menerima semua luka di masa lalu dan menghadapi masa depannya. Namun, dalam perjuangannya melawan semua itu, Aline harus kembali menghadapi kenyataan pahit, yang membawanya pada pengakuan dan pemahaman baru tentang cinta, keluarga, dan kehidupan.
"Alinea tidak akan sempurna tanpa Aksara..."
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon AMDee, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 17
"Tidak mungkin."
Aline berlutut di balik pintu. Pandangannya menerawang ke sekeliling ruang kamar berwarna abu-abu. Sedikit demi sedikit, penglihatannya mulai kabur, terhalang oleh bulir-bulir air mata yang jatuh deras, membanjiri permukaan wajahnya yang kecil. Lantai yang terasa dingin di kakinya itu seolah menelan semua keresahan Aline.
Aline mengepalkan tangan, meninjunya ke lantai, dan membentur-benturkan kepalanya ke dinding. Ia meraung-raung kencang seperti orang yang kerasukan.
Dalam suasana hening di asrama itu, Aline mengungkapkan semua penyesalan yang tidak ada habisnya, hingga suara merdu gadis itu menghilang dan tenggorokannya terasa kering.
Habis perkara, nasi sudah menjadi bubur. Sekarang, tidak ada gunanya lagi menangisi semua yang sudah terjadi.
Semuanya sudah berakhir.
Aline menjerit. Menumpahkan semua penderitaan yang selama ini tersembunyi. Jerit tangis Aline terdengar pilu, bersamaan dengan suara hujan yang seolah mendorongnya untuk mengeluarkan semua kesedihan yang selama ini ia pendam sendiri.
Tetes-tetes air yang jatuh dari tepi genteng mengetuk jendela Aline yang tertutup rapat. Perlahan suara itu semakin lama semakin keras, diiringi dengan gemuruh guntur yang menggelegar.
Kilat dari seberang jalan menyambar-nyambar, merobohkan pepohonan di sekitar lapangan bola hingga terasa mengguncang dinding kamar yang ditempati Aline. Kilatan petir itu menyoroti seluruh tubuh Aline yang bersembunyi di balik pintu. Bayangan Aline tampak seperti anak kucing yang kedinginan. Teriakannya semakin pecah, bergema dan saling bersahutan dengan hujan yang disertai oleh badai petir di luar sana.
Kamar itu tampak gelap. Sengaja tidak dinyalakan lampunya. Hampir semua dinding dan jendela di kamar itu ditutup rapat-rapat. Tidak ada setitik cahaya pun yang bisa masuk melalui celah-celah kamarnya. Kecuali kilatan petir yang tadi sempat memotret dirinya.
Gadis itu meringkuk, memeluk segala duka dalam setiap tarikan napasnya. Malam ini, gadis itu hanya ingin menenggelamkan pikirannya dalam kamar yang gelap ini. Merasakan setiap kepahitan yang pernah terjadi dalam hidupnya—jauh saat ia masih berada dalam kandungan ibunya yang kini telah tiada.
Mengapa aku harus mengalami situasi ini?
Pertanyaan itu muncul di kepala Aline, setelah pikirannya berhasil melintasi berbagai kenangan di masa lalu. Aline semakin terisak-isak.
Sikap Aline berubah sejak ia pulang dari kampus. Aline tampak begitu murung. Ia bahkan tidak mau berbicara dengan siapapun dan mulai mengurung diri di kamarnya.
Kejadian sore itu masih terkenang jelas dalam pikiran gadis itu. Lamunannya menerawang jauh, menanamkan isak tangis yang tidak dapat ditahannya lagi. Ada lebih dari ratusan jarum yang menusuk dan mencekik dadanya saat ini. Terasa begitu dalam hingga Aline tidak kuasa untuk menahan rasa sakitnya.
Aline menangis. Ia khawatir akan masa depannya di kampus itu. Bagaimana tidak? Semua kejadian ini terasa begitu cepat dan bahkan rasanya seperti berada dalam mimpi. Padahal ia baru sebentar saja memasuki dunia itu. Ia baru saja mendapatkan berkesempatan untuk merasakan nikmatnya masa muda dan persahabatan. Ia baru saja berbangga diri karena karyanya diapresiasi semua orang. Ia baru saja berusaha bangkit dari keterpurukan. Dan ia baru saja mendapatkan tawaran dari orang besar seperti Luna. Namun entah mengapa, ia sendiri yang mengacaukan seluruh situasi ini. Aline tidak percaya. Bagaimana ia bisa melakukan semua kekonyolan seperti sore itu? Ia benar-benar sudah melewatkan kesempatan emas untuk bekerja sama dengan seorang perancang busana Internasional seperti Luna. Kesempatan itu tidak akan pernah datang untuk kedua kalinya. Aline benar-benar kecewa.
Mengapa aku begitu emosional melihat Luna, hingga aku mengungkapkan identitasku di depan semua orang?
Gadis berperawakan kecil dan berwajah seperti anak-anak itu akhirnya berdiri. Sepasang kakinya terasa bergetar. Ia lalu berjalan lemah, mendekati tepian tempat tidurnya. Wajah gadis itu tampak muram, dibanjiri oleh air mata. Tidak ada jejak kegembiraan dan kegembiraan dalam dirinya. Semuanya lenyap dalam sekejap.
Gadis itu menjatuhkan diri di tempat tidur. Tangannya meremas seprai sutra yang baru saja diganti semalam, memeluk bantal stroberinya, membenamkan wajahnya, lalu memukul-mukul bantal itu sambil mengerang pelan. Suara serak yang dibuatnya bergema, mengikuti hujan di luar.
Dalam waktu singkat, dunia Aline yang kemarin sore terasa indah, kini seakan-akan dihujani oleh jutaan meteor yang menghancurkan hidupnya seketika.
Aline kehilangan kata-kata. Kini dunia gadis itu kembali gelap, tidak ada lagi warna dalam hidupnya. Bahkan, semua kenangan indah yang diukirnya selama tiga hari kemarin sekarang telah memudar tanpa meninggalkan jejak satu pun.
Hanya dalam satu tarikan napas, gadis itu telah kehilangan arah.
Butuh waktu lima tahun, sampai Aline mampu menyembuhkan dirinya dan keluar dari dunia yang membingungkan seperti ini. Ia sudah susah payah merangkak seperti bayi, mencoba menghadapi situasi nyata di dunia luar, tetapi ternyata ia belum cukup siap untuk melawan kecemasan hubungan sosialnya. Ia belum cukup siap untuk menjalani hari dengan tatapan orang-orang yang seakan merasa seperti sedang mengawasinya. Ia sadar bahwa ia tidak dapat mengendalikan penyakit mentalnya.
Rasa takut, delusi, dan kecemasannya—semua hal itu membuatnya merasa tertekan. Dan lagi-lagi, gadis itu kembali berada dalam situasi yang rumit ini.
Sekilas, di ruangan itu, Aline mendengar bisikan-bisikan di telinganya. Suara itu berisikan orang-orang yang berteriak, mencela, dan menertawakannya. Kemudian ia membayangkan wajah-wajah orang yang mengacungkan jempol terbalik padanya. Mereka tampak mengerikan.
Aline menggeleng, mengusir semua bayangan-bayangan yang menghantui kepalanya. Menghapus ingatan tentang orang-orang yang menatapnya di aula kampus. Menghapus bayangan dan suara Ode, Raga, Uli, dan juga Luna yang memekakkan telinganya.
Orang-orang itu—semuanya mahasiswa Trapunto, Aline sudah tidak bisa lagi berhubungan dengan mereka. Ia tidak ingin menderita dan dihantui oleh delusinya. Tidak ada cara lain, selain menghindari mereka semua.
Mungkin aku akan berhenti.
Tidak... aku harus berhenti sekarang.
Setetes air meluncur dari pelupuk mata Aline. Gadis itu merasakan gejolak panas di hatinya. Semakin panas dan terasa perih.
Ini bukan salah siapa-siapa.
Aline adalah orang pertama yang menyinggung tentang masa lalunya saat mereka berbincang setelah peragaan busana terakhir di aula kemarin sore. Semangat Aline untuk bangkit dari keterpurukannya membuat gadis itu tidak ragu untuk bercerita panjang lebar, tanpa memikirkan risiko yang akan terjadi.
Namun, di saat ia menyadari semua ucapannya dan mendapati ratusan pasang mata tertuju padanya, ia merasa ciut. Bak kucing yang disodori tongkat, Aline begitu takut. Ia ingin melarikan diri dari dunia itu.
Aline cemas jika semua orang di ruangan itu benar-benar akan menertawakan dan menindasnya seperti yang pernah dialami gadis itu di masa lalu.
Saat Aline dihantui kecemasannya, pria itu muncul di hadapan Aline. Aline yang terkejut pun berusaha menyadarkan bayangan buruk di benaknya.
Namun sayang, ketakutan, kecemasan, dan tekanan yang dirasakannya telah menguasai tingkah laku Aline. Dan saat pria itu bertanya-tanya, tanpa ragu Aline menceritakan semua yang telah terjadi padanya. Ia mengoceh banyak di hadapan pria itu.
Hampir tidak ada sesuatu yang dapat ia sembunyikan dari orang asing itu. Aline mencurahkan semua emosinya kepada pria bernama Luna itu.
Ya, Luna... Luna Takahashi—Seorang desainer Jepang yang baru saja tiba di Indonesia, seorang pembicara yang akan menggelar seminar di kampusnya. Pria yang ditemui Aline di aula kampus itu adalah Luna, sosok yang selama ini dikagumi gadis itu. Pria yang menjadi panutan Aline di bidang mode.
Entah bagaimana pria itu akan memandangnya sekarang? Mungkin Luna akan menganggap Aline gila. Aline tidak tahu. Ia tidak ingin tahu.
Dan kini, semua orang di kampus itu sudah mengetahui rahasia Aline. Semua orang tahu bahwa Aline bukanlah orang normal. Semua orang tahu bahwa Aline pernah memiliki gangguan mental dan masih dalam tahap penyembuhan. Semua orang—semua orang, khususnya mahasiswa baru di kampus Trapunto. Teman-teman Aline. Kakak-kakak tingkatnya. Para mentor dan dosen. Semua orang tahu tentang siapa Aline yang sebenarnya dan berapa usianya saat ini.
Aline merutuki dirinya.
"Aku benci diriku sendiri! Aku benci!"
Aline membanting semua barang yang ada di dekatnya. Ia membuat kamar tidurnya berantakan. Ia menarik seprai sutra lembut beraroma mawar, melempar semua bantal-bantal, guling, dan lampu tidurnya. Ia melemparkan semuanya ke mana-mana.
Aline berdiri, mengobrak-abrik meja belajarnya; map-map yang berisi sketsa berwarna-warni dibuang ke tempat sampah, ia juga melemparkan laptop, bingkai foto, kipas angin, dan semua barang yang ia temukan di kamar.
Aline menoleh, pandangannya beralih ke lemari pakaian dekat pintu, ia mengacak-acak tempat itu, lagi dan lagi. Ia mengeluarkan semua isi lemarinya, merobek seluruh pakaiannya, dan membiarkannya berserakan di lantai.
Aline meluapkan semua kekecewaan dan kekesalannya. Emosinya benar-benar tidak terkendali. Ia berbalik, menatap bayangannya yang sendu di cermin rias—segera, Aline meraih gelas keramik di samping meja nakasnya—ia melempar gelas itu ke seberang ruangan, dan tepat mengenai sasaran. Cermin itu pecah, bayangan Aline di cermin itu menghilang.
Aline terisak. Teriakannya terdengar lagi.
"Aku tidak mau semua ini!" Aline membuang dan merobek semua kliping yang telah ia tempel di dinding-dinding kamarnya.
Pecahan cermin dan gelas berserakan di mana-mana. Kamar itu seperti pesawat yang baru saja terkena bom. Berantakan. Aline meratap. Teriakannya terdengar semakin menyayat hati.
"Aku benci semua ini! Aku benci hidupku! Aku benci dunia ini! Aku benci! Aku benci semuanya!"
Jeritan Aline di ruang kedap suara itu tertutup oleh suara hujan. Tak seorang pun tahu apa yang sedang Aline lakukan di ruangan itu. Tak seorang pun bisa merasakan penderitaan Aline saat ini. Tak seorang pun bisa memahaminya. Tak seorang pun.
Isak tangis Aline terhenti seiring redanya hujan. Aline melihat pecahan cermin di dekat kakinya, ia meraih pecahan cermin itu, menatapnya dengan mata berkaca-kaca.
Aline merasa muak dengan hidupnya. Ruangan itu kini terasa sempit dan pengap. Hampir tak ada udara di ruangan itu. Semuanya terasa sesak.
Aline meneteskan air mata.
Jika selama ini Dokter Gita selalu memberi Aline dua pilihan untuk menghadapi atau menghindari masalah. Aline pun telah membuat dua pilihan dalam hidupnya.
"Menghadapi atau mengakhirinya?" gumam Aline dengan nada putus asa.
Aline menatap pantulan wajahnya dari pecahan cermin itu, ia tertawa getir. Air matanya semakin terasa panasnya. Dalam kegelapan hati dan kesunyian di kamarnya, Aline pun menorehkan pecahan cermin itu.