Aruna yang sedang menikmati masa kuliahnya yang santai tiba-tiba dipaksa pulang ke rumah untuk sebuah "makan malam darurat". Ia mendapati keluarganya di ambang kehancuran finansial. Ayahnya terjerat hutang pada keluarga Gavriel, sebuah klan penguasa bisnis yang kejam. Aruna "dijual" sebagai jaminan dalam bentuk pernikahan politik dengan Damian Gavriel, pria dingin yang mempesona namun manipulatif
bagaimana cara aruna mengahadapi takdirnya?..... yuk, baca selengkapnya.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Ayu Arsila, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Penyamaran Sang "Agent Seblak"
Aruna bangun dengan rencana baru. Jika Damian ingin dia menjadi "istri pajangan" yang sempurna, maka Aruna akan memberikan pertunjukan yang tidak akan pernah dilupakan pria itu. Namun, di balik senyum patuhnya, otak Aruna bekerja lebih keras daripada saat ia mengerjakan skripsi.
Aku harus kabur. Sekarang juga. Sebelum aku benar-benar berubah jadi manekin di rumah berhantu ini, batinnya sambil menatap pantulan dirinya yang sedang dirias oleh tim profesional.
"Nona Aruna, wajah Anda sangat segar pagi ini," puji salah satu penata rias.
"Terima kasih, Mbak. Ini rahasianya adalah menangis semalam suntuk dan membayangkan wajah suami saya sebagai samsak tinju," jawab Aruna dengan nada riang yang membuat si penata rias tertawa kikuk, mengira itu hanya lelucon khas Aruna.
Kesempatan itu datang saat sore hari, ketika mansion Gavriel sibuk mempersiapkan pesta amal tahunan. Ratusan pelayan berlalu-lalang, truk katering masuk-keluar gerbang, dan pengamanan sedikit melonggar karena fokus pada pemeriksaan tamu-tamu VIP.
Aruna berhasil menyelinap ke ruang belakang, tempat para staf katering berganti pakaian. Dengan kecepatan cahaya dan sedikit kecerobohan yang membuat kepalanya terbentur pintu lemari ia berhasil mencuri satu set seragam pelayan : kemeja putih, rompi hitam, dan topi yang cukup lebar untuk menutupi wajahnya.
"Maaf ya, Mas Pelayan, seragamnya aku pinjam. Nanti aku kembalikan lewat JNE," bisiknya pada seragam yang ia ambil.
Ia mengikat rambutnya asal-asalan, memakai kacamata hitam besar yang ia temukan di kantong rompi, dan mulai membawa nampan berisi gelas-gelas kosong. Strateginya sederhana, berjalan menunduk, jangan bicara, dan keluar lewat pintu samping dapur tempat sampah diangkut.
"Hei, kamu! Yang pakai kacamata hitam! Kenapa diam saja? Cepat bawa nampan ini ke area kolam renang!" teriak seorang kepala pelayan yang terlihat stres.
Aruna tersentak. "Oh, siap, Bos! Laksanakan! Roger that!" Aruna mencoba merubah suaranya menjadi lebih berat, namun malah terdengar seperti orang yang sedang sakit tenggorokan kronis.
Ia berjalan melewati koridor utama, jantungnya berdegup kencang tiap kali melihat siluet pria tinggi. Dan benar saja, di ujung koridor, ia melihat Damian sedang berdiri membelakanginya, berbicara dengan beberapa pria berbadan tegap.
Aruna menunduk sedalam-dalamnya. Jangan lihat ke sini, jangan lihat ke sini, jangan lihat ke sini...
Namun, hukum alam sepertinya sedang tidak berpihak padanya. Karena kacamata hitam yang ia pakai terlalu gelap dan lantai yang baru saja dipel sangat licin, Aruna terpeleset.
"Waaaaah!"
Pranggg!
Nampan di tangannya terbang, dan gelas-gelas kaca pecah berhamburan tepat di dekat sepatu kulit Damian yang mengkilap.
Aruna jatuh terduduk dengan posisi yang sangat tidak estetik, kaki terbuka lebar, dan topi pelayannya terlempar ke arah kaki Damian.
Hening seketika.
Damian berbalik perlahan. Ia menatap pecahan kaca, lalu menatap sosok "pelayan" yang masih memakai kacamata hitam di depannya. Damian membungkuk, mengambil topi pelayan itu, lalu melipat tangannya di dada.
"Pelayan katering sekarang diperbolehkan memakai kacamata hitam di dalam ruangan ya?" suara Damian terdengar tenang, namun Aruna tahu itu adalah ketenangan sebelum badai.
Aruna meringis, lalu perlahan melepas kacamatanya. "Eh... Mas Damian. Kebetulan sekali kita bertemu di sini. Saya tadi... sedang melakukan inspeksi keselamatan lantai. Dan kesimpulannya lantainya terlalu licin, Mas. Bahaya untuk investasi Mas."
Damian berjongkok di depan Aruna, menatap wajah istrinya yang belepotan bedak karena terjatuh. Ia mengulurkan tangan, bukan untuk membantu berdiri, tapi untuk menarik label harga yang masih menempel di rompi curian Aruna.
"Menyamar jadi pelayan, Aruna? Benar-benar kreatif. Tapi sayangnya, kamu terlalu berisik untuk jadi mata-mata," bisik Damian. Ia kemudian berdiri dan memberikan isyarat pada pengawalnya. "Bawa 'pelayan' ini ke kamar atas. Kunci pintunya, dan jangan beri dia makanan kecuali martabak telur yang sudah dingin."
"Mas! Ini pelanggaran HAM! Mas tidak bisa mengurung saya!" teriak Aruna saat lengannya ditarik oleh dua pengawal tegap. "Awas ya, nanti saya laporkan ke Kak Rose di acara gosip!"
Damian hanya menatap kepergian Aruna dengan senyum tipis yang mematikan. Namun, saat ia melihat sisa-sisa pecahan kaca di lantai, ia menyadari sesuatu. Aruna tidak hanya mencoba kabur; di dalam nampan yang jatuh tadi, ada sebuah kunci cadangan mobil yang entah bagaimana bisa ia curi dari saku Damian saat mereka di galeri kemarin.
"Gadis kecil yang merepotkan," gumam Damian. Ia merasa marah, tapi jauh di dalam hatinya, ada rasa kagum yang mulai tumbuh. Aruna adalah satu-satunya orang yang berani membuat kekacauan di istananya tanpa rasa takut.
Sementara itu, di dalam kamar yang terkunci, Aruna tidak menangis. Ia justru sedang sibuk mengikat seprai tempat tidur menjadi tali panjang.
"Oke, rencana A gagal. Mari kita mulai rencana B: Terjun payung tanpa payung!"
gumam Aruna nekat. "Mas Damian pikir dia pemangsa? Dia belum tahu kalau mangsanya ini punya sembilan nyawa dan hobi nonton film Mission Impossible!"