NovelToon NovelToon
Bos Jutek Itu Suamiku

Bos Jutek Itu Suamiku

Status: sedang berlangsung
Genre:Cintapertama / Duda / CEO / Berbaikan
Popularitas:4.3k
Nilai: 5
Nama Author: Edelweis Namira

Ayra tak pernah menyangka bahwa hidupnya bisa seabsurd ini. Baru saja ia gagal menikah karena sang tunangan-Bima berselingkuh dengan sepupunya sendiri hingga hamil, kini ia harus menghadapi kenyataan lain yang tak kalah mengejutkan: bos barunya adalah Arsal—lelaki dari masa lalunya.

Arsal bukan hanya sekadar atasan baru di tempatnya bekerja, tetapi juga sosok yang pernah melamarnya dulu, namun ia tolak. Dulu, ia menolak dengan alasan prinsip. Sekarang, prinsip itu entah menguap ke mana ketika Arsal tiba-tiba mengumumkan di hadapan keluarganya bahwa Ayra adalah calon istrinya, tepat saat Ayra kepergok keluar dari kamar apartemen Arsal.

Ayra awalnya mengelak. Hingga ketika ia melihat Bima bermesraan dengan Sarah di depan matanya di lorong apartemen, ia malah memilih untuk masuk ke dalam permainan Arsal. Tapi benarkah ini hanya permainan? Atau ada perasaan lama yang perlahan bangkit kembali?

Lantas bagaimana jika ia harus berhadapan dengan sifat jutek dan dingin Arsal setiap hari?

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Edelweis Namira, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

RASA TIDAK NYAMAN

Suasana makan malam mereka begitu sunyi. Tidak ada obrolan, tidak ada tawa, hanya dentingan sendok yang beradu dengan piring yang sesekali terdengar di antara mereka.

Ayra sibuk dengan makanannya, sementara Arsal juga begitu namun pikirannya masih tertuju dengan kejadian beberapa waktu tadi. Ia begitu malu. Setiap kali tatapan mereka tanpa sengaja bertemu, Ayra menunduk dan Arsal segera mengalihkan pandangannya.

Setelah beberapa menit, makanan mereka habis. Ayra menghela napas pelan, lalu mulai mengumpulkan piring dan peralatan makan yang kotor. Ia bangkit, membawa semuanya ke wastafel.

Namun, baru saja ia membuka keran air, suara Arsal menghentikan gerakannya.

"Tinggalkan saja, nanti saya cuci."

Ayra menoleh, sedikit terkejut. "Tidak apa-apa, saya bisa mencucinya."

Arsal yang masih duduk hanya menyandarkan tubuh ke kursi dan menatapnya. "Kamu sudah memasak Ayra. Biarkan saya yang memasak. Lagipula saya tidak bisa menerima banyak perhatian dari orang lain."

Ayra mengerutkan kening. "Orang lain?" Suaranya terdengar terkejut dengan pernyataan itu.

Arsal terdiam sejenak. Ia seharusnya segera mengklarifikasi itu. Namun entah mengapa mulutnya justru mengatakan hal yang lain.

"Kamu sudah memasak, jadi biar saya yang membereskan ini," ujar Arsal pelan.

Ayra tidak langsung menjawab. Ia hanya menatap lelaki itu, lalu menurunkan pandangannya ke piring di tangannya. Ada rasa aneh yang menyelinap di hatinya. Terlebih dengan pernyataan Arsal tadi.

Akhirnya, Ayra hanya meletakkan piring itu kembali ke meja, tanpa berkata apa-apa, lalu berbalik meninggalkan dapur menuju kamar.

Sementara itu, Arsal hanya menghela napas panjang, menatap piring-piring kotor di meja, dan mengusap tengkuknya dengan sedikit frustrasi.

Sedangkan Ayra masuk ke kamar lebih dulu. Gadis itu masih diam. Seketika pernyataan Arsal tadi terus terngiang di kepalanya.

"Orang lain? Jika aku orang lain, masa iya dia membiarkanku tidur di kamarnya. Dasar aneh!" gumam Ayra kesal.

Beberapa menit kemudian, Arsal selesai dengan cucian piringnya. Saat Arsal membuka pintu kamar, ia mendapati Ayra sedang duduk di tepi tempat tidur, punggungnya menghadap ke arahnya. Gadis itu tampak sibuk dengan ponselnya, atau mungkin hanya berpura-pura sibuk demi menghindari interaksi dengannya.

Arsal menghela napas pelan. Ia berjalan ke arah lemari, mengambil pakaian ganti, lalu masuk ke kamar mandi tanpa berkata apa-apa. Tadi ia belum sempat mandi. Mungkin khawatir dengan Ayra yang sendirian menyiapkan makanan.

Ayra mendengar suara pintu kamar mandi tertutup, lalu suara air mengalir. Ia menggigit bibirnya, merasa ada yang aneh dengan situasi mereka saat ini. Suaminya sendiri, ya, lelaki itu kini adalah suaminya, tapi kenapa semuanya terasa begitu asing?

Beberapa menit kemudian, Arsal keluar dengan kaus sederhana dan celana santai. Rambutnya masih sedikit basah, dan aroma sabunnya memenuhi ruangan.

Ayra yang awalnya berniat pura-pura tidak peduli justru merasa gelisah. Ia menggeser duduknya, sedikit menjauh, meskipun tempat tidur itu cukup luas.

Arsal naik ke tempat tidur tanpa banyak bicara. Ia bersandar pada kepala ranjang, mengambil ponselnya, lalu mulai mengetik sesuatu, entah apa. Suasana hening kembali. Arsal sendiri bingung bagaimana memulai obrolan santai dengan Ayra.

Arsal melirik pada Ayra. Gadis itu akhirnya berbaring dengan hati-hati di sisi tempat tidur, membelakanginya. Arsal hanya menatap itu dalam diam.

Karena Ayra sudah berbaring, Arsal pun ikut berbaring. Ponselnya ia letakkan di nakas samping tempat tidur. Arsal baru saja akan memejamkan matanya saat suara Ayra menginterupsi dirinya.

"Kenapa kita begini?" suaranya terdengar pelan, nyaris seperti bisikan.

Arsal yang sudah bersiap untuk tidur membuka matanya perlahan, lalu menoleh ke arah Ayra yang masih berbaring membelakanginya.

"Begini bagaimana?" tanyanya, suaranya terdengar datar.

Ayra menarik napas dalam sebelum akhirnya membalikkan tubuhnya, kini mereka berhadapan, meskipun masih menjaga jarak. "Kita sudah menikah namun kita lebih mirip orang asing yang tinggal bersama."

Arsal menatapnya dalam diam beberapa detik sebelum akhirnya mengeluarkan seringai tipis. "Bukannya memang begitu?"

Ayra mengerutkan keningnya. "Kita suami istri, Arsal. Seharusnya..."

"Seharusnya apa?" Arsal memotongnya cepat, nadanya sedikit tajam. "Seharusnya kita bersikap seperti pasangan lain? Bertingkah mesra dan kita bersikap seperti saling mencintai satu sama lain? Walau hanya pura-pura?"

Ayra terkejut dengan nada sinis itu. "Saya tidak bilang seperti itu."

Arsal terkekeh pelan, lalu menghela napas. "Ayra, kita menikah bukan karena cinta. Kamu bahkan tidak benar-benar menginginkan pernikahan ini. Kamu hanya... menerima karena keadaan, kan?"

Ayra terdiam.

Arsal menatapnya tajam. "Lalu sekarang kamu ingin kita bersikap normal? Bersikap seperti pasangan biasa? Kamu saja menjaga jarak dariku. Saya tahu kamu sebenarnya tidak nyaman berada di dekat saya dan kamu malu mengakui pernikahan ini."

Ayra mengernyit, merasa disudutkan. "Tidak. Itu tidak benar."

"Oh ya?" Arsal menyeringai lagi. "Lalu kenapa kau minta saya berhenti di tempat jauh tadi? Kenapa kamu tidak mau orang tahu kita menikah? Kenapa kamu bersikap seperti ini semua adalah sesuatu yang memalukan?"

Ayra tercekat. Itu benar. Ia memang merasa tidak nyaman jika orang tahu tentang pernikahan mereka. Tapi bukan karena ia malu pada Arsal. Ia hanya belum siap dengan pembicaraan orang-orang tentang mereka.

Keadaannya terlalu mendadak. Arsal adalah direktur baru mereka dan tidak ada yang tahu bahwa mereka pernah berteman dulu. Apalagi pernikahan ini terjadi begitu mendadak.

"Saya hanya tidak ingin jadi bahan gosip. Orang-orang akan berpikiran aneh tentang kita."

"Selalu itu alasanmu," Arsal mendecak, lalu menatapnya dalam-dalam. "Dulu kamu menolak saya juga karena itu, kan? Kamu memikirkan perkataan orang-orang yang akan menganggapmu terlalu tega menerima lamaran dari mantan sahabatmu sendiri. Iya, kan?"

Ayra menelan ludah. Mengapa Arsal harus membahas itu?

"Sekarang pun alasanmu tetap itu. Bahkan untuk berpura-pura menerima saya saja kamu tidak bisa."

"Ini tidak seperti yang anda bayangkan. Saya tidak bisa berpura-pura seperti itu. Tapi saya-"

"Baik, saya juga tidak ingin kamu berpura-pura menerima saya. Kalau kamu ingin kita tetap menjaga jarak, saya bisa melakukan itu. Saya sudah cukup terbiasa dengan pernikahan seperti itu."

Ada sesuatu dalam nada suara Arsal yang membuat hati Ayra mencelos.

Ia ingin mengatakan sesuatu, ingin menjelaskan bahwa bukan itu yang ia maksud. Tapi saat melihat tatapan Arsal yang dingin, ia justru kehilangan kata-kata.

Arsal menghela napas panjang sebelum akhirnya membalikkan tubuhnya, membelakangi Ayra. "Tidurlah, Ayra. Saya lelah."

Ayra masih terdiam, menatap punggung lelaki itu. Ada banyak hal yang ingin ia sampaikan, tapi tidak ada yang bisa ia ucapkan saat ini.

"Saya bisa tidur di sofa jikalau kamu tidak nyaman berada satu ranjang dengan saya." Ucap Arsal lau beranjak dari tempat tidur.

"Anda tidak perlu melakukan itu. Ini kamar anda. Kalau memang harus melakukan itu, itu saya yang harus di sofa." Ayra lalu beranjak dari tempat tidur, membawa satu bantal lalu segera berbaring di sofa.

Arsal tersenyum sinis. Bahkan saat Ayra sudah berbaring di sofa pun, Arsal menganggap itu karena Ayra memang tidak ingin berada satu ranjang dengannya.

"Ternyata memang serisih itu kamu berada di dekat saya," ucapnya tajam.

1
Kesatria Tangguh
🔥❤️
Siti Septianai
up nya lebih sering dong ka
Siti Sukaenah
bagus
Edelweis Namira: makasih banyak
total 1 replies
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!