Riana pikir kakaknya Liliana tidak akan pernah menyukai suaminya, Septian. Namun, kecurigaan demi kecurigaan membawanya pada fakta bahwa sang kakak mencintai Septian.
Tak ingin berebut cinta karena Septian sendiri sudah lama memendam Rasa pada Liliana dengan cara menikahinya. Riana akhirnya merelakan 5 tahun pernikahan dan pergi menjadi relawan di sorong.
"Kenapa aku harus berebut cinta yang tak mungkin menjadi milikku? Bagaimanapun aku bukan burung dalam sangkar, aku berhak bahagia." —Riana
Bagaimana kisah selanjutnya, akankah Riana menemukan cinta sejati diatas luka pernikahan yang ingin ia kubur?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Puji170, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 19
Saat Septian masih terdiam, Riana segera melangkah menuju kamarnya. Tanpa menoleh lagi, ia membuka lemari dan mulai memasukkan beberapa helai pakaian ke dalam koper. Gerakannya cepat tapi penuh gemetar, seolah setiap lipatan kain adalah cara untuk menahan sesak yang menumpuk di dalam dadanya.
Malam ini juga ia ingin pergi. Tidak ada lagi alasan untuk bertahan di rumah yang hanya menyimpan luka.
Tangannya berhenti sejenak di atas sebuah gaun sederhana, pakaian yang dulu dipilihkan Septian untuknya. Riana menatapnya dengan mata berkaca, lalu membuangnya tanpa ragu, seolah ingin menghapus setiap jejak kenangan yang pernah menahannya untuk pergi.
Begitu koper tertutup, napasnya terasa berat. Ia menatap sekeliling kamarnya untuk terakhir kali, tempat yang dulu terasa hangat kini hanya menyisakan dingin dan sunyi. Dengan langkah mantap, ia keluar dari kamar, menghentakan kakinya ke lantai yang dulu setiap hari ia bersihkan tanpa ragu.
"Selamat tinggal semuannya!" ucapnya tanpa ada sedikit penyesalan pun.
Suara langkah Riana menjauh membuat udara di ruang tamu terasa berat, seperti ada sesuatu yang hilang, mungkin jantung dari rumah itu.
Sementara Septian masih berdiri kaku di tempatnya, wajahnya kehilangan warna, jemarinya menggenggam map itu begitu erat sampai kertas di dalamnya nyaris robek.
Ia ingin berteriak, ingin menyangkal, tapi lidahnya kelu. Kata-kata Riana masih bergema di kepalanya, 'Wanita yang selama ini kamu sukai… adalah kakakku.'
Tubuhnya seolah tertarik mundur ke masa lalu, ke setiap momen ketika Liliana tersenyum padanya, ketika tatapan kakak iparnya terasa hangat dan menggoda, dan saat ia menepis semua itu dengan alasan rasa hormat. Tapi benarkah ia selalu menepisnya?
“Tidak… aku tidak…” gumamnya pelan, tapi suaranya tenggelam di antara detik-detik suasana yang semakin sepi.
Dari arah lain, suara langkah pelan terdengar. Liliana muncul dengan wajah penuh senyum tenang, namun matanya menyala dengan kepuasan yang tak berusaha ia sembunyikan.
“Kamu dengar semuanya?” suara Septian parau.
Liliana menautkan kedua tangannya di depan dada, berdiri anggun namun penuh ketertarikan. “Aku hanya mendengar kebenaran yang selama ini kamu pendam,” jawabnya lembut, nyaris berbisik. “Dan kamu nggak perlu menyangkal, Tian. Aku tahu, dari dulu kamu nggak pernah benar-benar mencintai Riana.”
Septian menatap tajam ke arah Liliana, tapi di dalam mata itu tersirat makna penuh kebingungan. “Jangan bicara sembarangan, Liliana.”
“Kenapa? Karena Riana akhirnya tahu?” Liliana melangkah lebih dekat, suaranya berubah menjadi lirih namun menusuk. “Aku tahu kamu mencoba menjadi suami yang baik, tapi tatapanmu selalu membohongi dirimu sendiri. Setiap kali kamu melihatku, kamu kehilangan kendali… dan aku merasakannya, Tian.”
“Cukup!” bentak Septian tiba-tiba, tapi suaranya terdengar lebih seperti permintaan daripada perintah. Ia menatap Liliana seolah ingin mencari sisa-sisa nalar yang masih bisa ia pegang. “Kamu pikir aku nggak tahu apa yang kamu lakukan? Kamu yang memprovokasi, kamu yang menanamkan semua ini ke dalam pikiran Riana!”
Liliana tersenyum tipis. “Aku? Septian kenapa kamu berbicara seperti itu? Adikku bukan orang bodoh, Septian. Kamu selalu menomor satukan aku, tapi adikku yang jelas-jelas istrimu kamu nomor duakan. Di dunia ini istri mana yang tidak akan melepas suami sepertimu?"
"Lili, kamu?"
"Septian, semua sudah terjadi, adikku ingin bercerai, karena kamu menyukaiku dan aku menyukaimu, kenapa kita tidak bersatu saja?" ucap Liliana.
Suasana membeku di antara dua napas berat, tatapan mereka saling bertaut, seperti dua api yang siap membakar sisa-sisa yang masih bisa diselamatkan.
Lalu dari luar, terdengar pintu di tutup dengan kencang. Septian menoleh cepat ke arah jendela, Riana sudah meninggal rumah dengan naik taxi.
Ia berlari ke depan pintu, membuka dengan terburu-buru. Mobil itu sudah bergerak menjauh, lampunya memantul di dinding rumah yang kini terasa asing.
“Riana!” teriaknya, tapi suaranya tenggelam dalam deru mesin yang semakin memudar.
Hening.
Hanya ada Liliana di belakangnya, berdiri dengan tatapan puas yang tak bisa disembunyikan lagi.
“Sekarang kamu bebas, Tian,” ucap Liliana pelan, mendekat dengan langkah lambat tapi pasti. “Nggak ada lagi yang menghalangi kita.”
Septian menatap ke depan, matanya kosong, napasnya berat. Ia baru menyadari sesuatu yang jauh lebih menyakitkan, rasa hampa dan kosong di dalam hatinya saat Riana pergi tanpa menoleh lagi.
"Perasaan apa ini? Kenapa begitu menyakitkan?" gumamnya pelan sambil menepuk-nepuk dadanya yang terasa sesak.
Liliana yang melihat ekspresi itu tersenyum tipis, senyum yang lebih menyeramkan daripada menenangkan. Ia mendekat perlahan, langkahnya nyaris tak bersuara, namun setiap hentakannya membuat dada Septian semakin berat.
“Tian,” panggilnya lembut, suaranya berubah manja seperti dulu. “Kamu nggak perlu berpura-pura lagi. Aku tahu kamu ngerasa kehilangan, tapi cepat atau lambat kamu juga akan sadar… cuma aku yang benar-benar mengerti kamu.”
Septian tak menjawab. Tatapannya masih terarah pada bayangan taksi yang kini hanya tinggal titik jauh di ujung jalan. Hujan rintik mulai turun, dan di antara bunyi rinainya, ia merasa tubuhnya seperti ikut runtuh.
Liliana berdiri tepat di belakangnya, jarak mereka kini hanya sejengkal. Ia mengangkat tangannya, hendak menyentuh bahu Septian. Namun, sebelum sempat jarinya menyentuh kulit itu, tangan Septian menepis keras.
“Jangan,” suaranya pelan tapi tegas.
Liliana tertegun. “Septian…”
Ia menoleh, menatap Liliana lurus. Tatapan yang dulu hangat kini berubah dingin dan penuh luka.
“Kamu salah,” katanya datar. “Riana pergi karena aku bodoh… karena aku terlalu diam waktu semua ini terjadi. Tapi satu hal yang pasti, Liliana, aku tidak mencintaimu.”
Senyum di wajah Liliana perlahan lenyap, berganti dengan ekspresi getir yang sulit dibaca antara marah, malu, dan tak percaya.
Hening merayap di antara mereka. Hujan kini jatuh lebih deras, membenturkan suaranya di jendela, sementara Septian berbalik dan melangkah menjauh tanpa lagi menoleh.
Liliana menatap punggungnya, napasnya tersengal, matanya berkilat penuh kekesalan ia pun berteriak, "Septian! Jika memang kamu tidak bisa bersamaku, aku akan menjadi hantu di rumahmu ini."
Septian berbalik dan melihat Liliana dengan tatapan tak percaya.