Namaku Melody Bimantara, umurku baru dua puluh dua tahun, tapi sudah menjadi Manager sebuah hotel bintang lima milik keluarga.
Yang membuat aku sedih dan hampa adalah tuntutan orang tua yang memaksa aku mencari lelaki yang bisa dinikahi.
Kemana aku harus mencari laki-laki yang baik, setia dan mencintaiku? sedangkan para lelaki akan mundur jika aku bilang mereka harus "nyentana"..
Tolonglah aku apa yang harus aku perbuat??
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Ayumi, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
BERDEBAT
Tatapan menuntut dari mertua membuat aku serba salah. Dia memaksa dan merebut surat perjanjian yang berada di tangan Arunakha. Untung hanya fotocopy, aslinya sudah aku simpan di tempat tersembunyi.
Dia mulai membuka surat perjanjian itu, wajahnya langsung memerah. Mata ibu Ajeng melotot penuh amarah. Ia lalu membaca lembaran surat yang bermeterai.
"Kau sangat licik, wajahmu saja polos tapi hatimu bagaikan ular. Tidak menyangka kau mengukur tubuh kami setiap saat, setelah pas di perutmu kau akan menelan kami satu persatu."
Kembali Ibu mencaci, mengumpamakan aku sebagai ular. Dia sangat kesal terhadap isi dari surat perjanjian itu.
"Sangat pintar. Jangan-jangan kerjaanmu hanya menjual kesedihan supaya banyak lelaki iba padamu dan mengambilmu, lalu kau jebak dengan pasal ingkar janji."
"Aku baru tau denda lima puluh juta untuk Anak ku. Kau kira uang itu sedikit."
Semprot ibu Ajeng penuh amaraha. Aku hanya diam, itu kesepakatan yang tidak bisa di sepelekan. Walaupun mertua ku merobek surat itu, akan terus muncul yang lain, karena aslinya aku bawa.
"Hahaha... rupanya kau ingin putraku nyentana? Apa aku tidak salah baca? Kau lihat sendiri kami ini orang kaya, sedangkan kau pem*lung yang dipungut di jalanan."
"Tapi Arunakha sudah mau, makanya aku mau menjadi istri abal-abal disini. Aku yang menolong supaya keluarga ibu tidak tercoreng namanya."
"Kita cerai saja sekarang, tidak mungkin jadi suamimu." Ucap Arunakha emosi. Ia tidak mau di salahkan oleh ibunya.
Aku menoleh dan menatap Arunakha dengan kemarahan besar.
"Enak sekali minta cerai. Aku minta kau tetap menjadi suami ku. Janji harus di tepati siapa duluan minta menikah denganku? bukankah kau?"
"Tapi dalam sebulan ini tidak ada kemajuan sama sekali, yang ada hanya tubuhmu yang kempes jadi berisi."
Aku menatap Arunakha tidak senang, seolah--olah aku begitu rakus selama ini. Aku sedikit berisi karena aku sering kepasar membeli makanan dengan uang sendiri. Bukan uang supplier.
"Kau tidak perlu menyindir, badanku berisi karena kerja rodi. Jam empat pagi sudah kepasar, stir mobil sendiri, belanja dan mengangkut barang sendiri. Sampai di rumah membersihkan sayur, mengepack barang sendiri, terus mengantar ke hotel, bikin laporan, semua aku lakukan sendiri."
Mereka melongo mendengar ucapanku. Selama sebulan aku berkutat menjadi b4bu disini. Demi nyentana.
"Begitu banyaknya tugas yang kalian berikan padaku, tapi apa kalian pernah tanya aku capek gak atau nawarin makanan untukku. Aku lapar minta di hotel sama pak Alit bagian Purchasing."
"Eleehhh...tidak usah lebay, kerja segitu saja mengeluh. Kau jangan sombong, menambah dua hotel dalam sebulan tidak bikin bangga kau cuma meneruskan apa yang sudah ada."
"Aku tidak sombong, aku bicara apa adanya. Jika kalian ingin mencari orang yang lebih rajin dari aku, silahkan."
Ibu Ajeng menyeringai sinis. Diah yang baru datang ikut nimbrung bikin suasana tambah panas. Aku ingin maju dan memukul mulut mereka satu persatu.
Aku berpikir, ngapain menunggu pria seperti Arunakha, mending cari lelaki lain yang lebih sopan, walaupun dari golongan bawah. Coba Ajik tidak menentukan harus berkasta, mungkin aku mencari pemuda yang bersahaja.
"Aku setuju cerai." Ucap ku penuh penekanan.
Setelah berpikir lama aku lalu berdiri dan berani mengambil langkah berpisah dari Arunakha. Lagian umur ku tidak begitu tua, masih dua puluh dua tahun masih banyak peluang.
Arunakha dan ibunya terlihat kaget, mulutnya langsung mingkem. Diah dan ibu Ajeng yang tadi berkoar-koar kini saling pandang.
Dalam sebulan ini mereka santai dan berada di zona nyaman. Mereka menerima keuntungan yang berlipat ganda, karena keuntungan semua aku serahkan untuk mereka.
"Melody, setelah aku berpikir panjang aku kasihan padamu. Tadi aku hanya bercanda, aku tidak mungkinlah mau menceraikanmu." ucap Arunakha lembut seraya mendekati ku, kedua tangannya di cakupkan di dada.
"Aku yakin kau takut kehilanganku, karena aku b4bu yang gratis." Ucap ku menohok.
"Melody, tidak ada yang menganggap kau b4bu, kita semua bekerja karena ini home industri."
"Aku mengerti bu, tapi ibu yang kurang mengerti tentang aku."
"Melody ga usah banyak gaya dah minta cerai segala, kamu mau tinggal dimana, di kolong jembatan. Disini kau sudah hidup nyaman."
"Dimana aku bisa hidup, yang penting punya tangan dan kaki. Palagi sekarang pembantu sulit dicari. Disini kerjaku tidak dibayar. Dari jam empat pagi sampai malam aku bekerja, lama-lama jebol lever sama ginjalku." kataku mencoba memberi pengertian kepada Diah, bu Ajeng dan Arunakha.
Aku yakin otak mereka akan perlahan terbuka, betapa pekerjaan yang aku tangani sangatlah berat.
"Maafkan aku Melody, aku mengerti capekmu, aku juga akan membelikan hape untukmu. Kita akan bareng-bareng kerja membantumu."
"Tidak begitu juga Aru, keuntungan kita belum seberapa, kamu jangan boros, boleh beli hape tapi yang second."
"Ya bu, aku ngerti dan ini juga hadiah dariku karena dia bisa menembus dua hotel lagi. Ini hotel bintang lima dan ke untungannya berlipat ganda."
"Syukurlah, seharusnya Melody tambah terus, kalau bagus kita bikin PT Aruna. Cocok rasanya."
Mata bu Ajeng terlihat berbinar. Dia pasti mengira segampang itu mencari supplier baru. Aku cepat dapat karena ini hotelku. Jika mereka main-main denganku, aku bisa menghentikan berlangganan.
"Kalau sudah selesai, aku akan kepasar kata orang kalau sore dapat dari tangan pertama." Ucap ku berdiri. Aku muak melihat mereka.
"Silahkan..."
***
Sebenarnya pekerjaan ini cukup membuat aku terhibur. Terlihat kasar dan melelahkan tapi hasilnya memuaskan. Jika keluarga Arunakha membuat ulah, aku akan segera memutuskan hubungan kerja ini.
Mereka belum tau kalau hotel yang mereka ajak joint adalah hotel ku. Jika mereka tau pasti sikap mereka akan berbeda. Tapi aku tidak mau mereka tau sebelum Arunakha nyentana di rumahku.
Untungnya bagian purchasing bisa diajak kerja sama, tadinya aku sudah takut kalau scurity dan karyawan lain mengenaliku. Rasanya cukup aman penyamaran ku, topi, masker wajah, kaca mata, menutupi wajahku.
Mereka lebih mengenaliku karena aku anak dari Ajik Bimantara dan sekaligus Manager disalah satu hotel Ajik. Aku cukup populer dibandingkan ke dua kakak ku.
Mobil pick up melaju di jalan diponegoro. Angin sore menampar wajahku yang teetutup masker. Kaca mata hitam tidak pernah lepas.
Sampai di pasar aku menemui pelanggan ku. Mereka sudah menyiapkan apa yang di pesan. Aku lebih tau apa yang di butuhkan di kitchen hotel. Jadi tidak mubazir.
Pulang dari pasar sudah pukul enam sore, aku langsung membuka belanjaan dan menyiangi sayuran, setelah itu di pack sesuai timbangan.
Gara-gara menjadi supplier, aku seperti makin sehat, karena bisa makan buah segar di pasar setiap hari.
*****