Luna merupakan anak pertama Raihan Wicaksono yang berusia 23 tahun, dia bekerja pada di kantor swasta sebagai kepala divisi penjualan. Meskipun ayahnya adalah seorang Ahli Bioteknologi dia sama sekali tidak mewarisi bidang pekerjaan ayahnya.
Luna berkhayal bahwa dia ingin mempunyai suami yang di dapat dari rekanan ayahnya seperti kebanyakan film yang dia tonton, sampai pada akhirnya dia ikut ayahnya bekerja dan bertemulah Luna dengan Renzo anak dari rekan bisnis ayahnya. Usia mereka terpaut lebih dari 10 tahun, Luna langsung jatuh hati begitu melihat Renzo. Tapi tidak pada Renzo, dia sama sekali tidak tertarik pada Luna.
"Itu peringatan terakhirku, jika setelah ini kamu tetap keras kepala mendekatiku maka aku tidak akan menghentikannya. Aku akan membawa kamu masuk ke dalam hidupku dan kamu tidak akan bisa keluar lagi," ancaman dari Renzo.
Cegil satu ini nggak bisa di lawan.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon YPS, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
BAB 35
"Hey!! Apa kamu nggak bisa lihat di sebelah sana ada jembatan penyebrangan?! Mau mati?" teriak Johan dari dalam mobil.
Wanita itu masih sibuk membersihkan celananya yang kotor. Rambutnya yang sepanjang bahu menutupi wajahnya.
Tak puas memaki dari dalam mobil, Johan pun turun.
"Hey! Kau... " teriaknya sekali lagi.
Akhirnya wanita itu mendongak ke arah Johan dengan wajah lugunya. Hanya beberapa detik kemudian wajahnya berubah.
"Punya mobil mahal tapi nggak bisa nyetir! Makanya jangan pakai kacamata hitam kalau nyetir!!" jawabnya ketus.
Renzo yang sebenarnya sedang terburu-buru sampai harus turun untuk melihat keadaan di luar sana. Mobil di belakang sudah membunyikan klakson berkali-kali.
"Jo, kalau dia nggak kenapa-kenapa tinggal saja lah. Kita buru-buru ini!" ucapnya.
"Baik Tuan,"
Wanita itu menyeringai setelah Renzo berbicara pada Johan.
"Oh dia bosmu! Kamu supirnya?!" serunya. "Bos, pecat saja pegawai kayak gini, nyupir saja nggak becus!" imbuhnya lagi, kini dia memandang Renzo dengan tatapan penuh amarah.
"Maaf, apa ada yang terluka?" Renzo berusaha tidak membuat keributan lebih panjang.
"Harga diriku yang terluka karena supirmu! Suruh dia minta maaf,"
Renzo menepuk pundak Johan dan berbalik badan kembali masuk ke dalam mobil.
Terlihat dari dalam mobil Johan sudah mengucapkan kata maaf seraya sedikit membungkukan tubuhnya.
"Si4l banget ketemu wanita kayak kamu," ucapnya lirih kemudian masuk ke dalam mobil.
Wanita itu sudah menyebrang, Johan melihatnya dari spion. Seorang wanita di siang hari membawa koper besar dan berjalan kaki.
"Percuma cantik kalau jutek, gila ngamuknya benar-benar kayak setan!" gerutu Johan di dalam mobil.
Renzo yang berada di sampingnya hanya tersenyum kecil.
Pengawalnya masih terus mengumpat kesal, dia juga masih terkejut jika telat berhenti satu detik saja wanita itu bisa mati tertabrak. Dan masalah baru akan muncul.
"Maaf saya kurang hati-hati tadi, Tuan,"
"It's oke, hal seperti ini belum pernah terjadi selama kau bekerja denganku."
.
.
Renzo sudah tiba di kantor ayahnya, mobil Adrian juga terlihat masih terpakir rapi di halaman depan.
Johan berhenti tepat di depan lobi agar Renzo bisa lebih dulu masuk.
"Ada apa dengan mukamu? Masih memikirkan kejadian tadi? Jangan terus mengumpat dalam hati, bisa jadi dia jodohmu." goda Renzo.
Bertahun-tahun Johan bekerja bersama Renzo baru kali ini dia melihat bosnya bisa bercanda.
"Tidak akan, aku suka wanita anggun tidak seperti dia tadi. Suaranya saja seperti petir,"
Renzo terkekeh kecil. "Cepatlah menyusul setelah memarkirkan mobil."
Johan mengangguk.
Kantor yang cukup besar sebagai seorang pengacara ternama di kota tersebut. Sudah banyak pengacara yang berguru pada Adrian dan berhasil menjadi pengacara kondang.
Semua orang di sana menyapa Renzo, memberikan hormat serta salam.
Dia hanya melontarkan senyum di sudut bibirnya, tak ada yang aneh. Dia memang selalu dingin kecuali pada Luna.
Langkahnya langsung menuju ruangan sang ayah.
.
Tok Tok Tok!
Belum ada jawaban dari dalam Renzo segera membuka pintu tersebut.
Adrian terlihat sedang membaca tumpukan berkas yang tebalnya hingga ratusan halaman.
"Papa sampai lupa kapan terakhir kali kamu menginjak kan kakimu ke kantor Papa," ucapnya tanpa melihat ke arah Renzo.
"Apa Papa membunuh Ivan dan Ivy? Mereka menghilang, hanya berpamitan pada Luna,"
Adrian menutup berkasnya, pandangannya perlahan beralih ke Renzo yang masih berdiri di depannya.
"Tidak! Aku hanya memberi pelajaran pada Ivan karena dia ingkar janji, mereka kembali ke Korea sekarang. Ivy sudah menghubungiku dan dia berjanji akan menghilang dari kehidupanmu," terang Adrian.
Ada sedikit rasa lega di hati Renzo, meskipun belum bisa di pastikan apakah ucapan ayahnya bisa di percaya atau tidak.
"Semudah itu?"
"Ya, dia tidak mungkin mau memilih hidup melarat. Semua uang dari bisnis kotor yang mereka pakai untuk hidup, aku bisa saja melaporkan pada polisi dan menjebak mereka!" jawabnya santai.
"Sangat kejam!"
"Semua untuk melindungi keluarga kita! Terutama kamu!!"
"Jangan membunuh mereka apapun alasannya, laporkan saja pada polisi. Kurung mereka di penjara untuk menghukum jika memang mereka melakukan kejahatan pada keluarga kita!" ucap Renzo.
Adrian diam sesaat....
"Apapun itu jika bisa menebus dosaku dulu padamu dan Ibumu akan aku lakukan. Aku juga senang melihat perubahanmu sekarang,"
Renzo merasa sudah puas dan tidak ada lagi yang perlu di bahas dengan ayahnya, tanpa berpamitan dia segera keluar dari ruangan Adrian.
Ia belum sepenuhnya bisa membuka hati untuk bicara lebih jauh pada Adrian.
"Pernikahanmu tinggal sebentar lagi, fokus saja pada itu," seru Adrian yang sempat beberapa saat menghentikan langkah Renzo.
Tapi ia tetap tidak berbalik badan maupun menjawab.
"Papa senang kamu membaik berkat Luna, Papa sepenuhnya mendukung hubungan kalian," ucapnya sekali lagi dan masih tidak mendapat jawaban.
.
Renzo sudah melangkah keluar. Saat Johan baru saja masuk ke dalam kantor tersebut.
"Ayo sekarang kita ke kantor," tuturnya sembari terus berjalan dengan pandangan lurus kedepan.
"Baik, Tuan."
"Besok kamu bisa libur, karena aku akan fitting baju dengan Luna. Kami akan ke apartemen, silahkan menikmati hari liburmu." ucapannya terdengar seperti perintah yang menyenangkan.
Johan hanya selisih beberapa tahun dari Renzo, sedari lulus SMA dia sudah bekerja untuk keluarga Renzo sebagai pengawal.
Sejak sekolah dia sudah belajar bela diri yang mana atas perintah orang tua Renzo. Dia anak dari salah satu asisten rumah tangga di mansion, yang mengurus segala keperluan Maharani.
Mobil melaju lagi menuju kantor Renzo.
Renzo akan menghabiskan sisa harinya di kantor, melihat berkas yang harus di tinjau dan perkembangan labnya.
Tapi sesampainya di kantor dia malah sibuk melihat katalog gaun yang ada di atas mejanya.
Johan selalu setia di samping Renzo, dia sedang bersantai di sofa menyandarkan punggungnya.
"Jo, lihat ini," titah Renzo.
Sigap dia menghampiri. Melihat gaun yang di tunjuk Renzo.
"Ini sama ini bagus mana? Ah aku membayangkan pasti Luna cantik sekali pakai ini semua,"
Johan menghembuskan napasnya berat. "Bagus semua Tuan."
"Yang ini?" tunjuknya lagi.
"Bagus, pasti Nona Luna akan sangat cantik memakainya," jawab Johan cepat.
Renzo mengerutkan dahinya. "Bisa-bisanya kamu bilang cantik ke calon istriku!"
Johan seketika terkejut dan menutup mulutnya.
"Maaf Tuan maksud saya bukan itu,"
"Tidak tidak aku bercanda. Jelas dia akan cantik pakai apapun. Kamu juga ya segera temukan jodohmu, jadi ada yang menemanimu saat hari libur,"
Johan tersenyum dan kembali duduk di sofa.
Dia membayangkan jika bosnya sudah hidup bahagia dengan wanita pilihannya. Dan kesehatannya kembali normal, pekerjaannya akan sedikit senggang.
Dia mulai memikirkan wanita untuk di kencani di usianya yang sudah sangat matang. Mendekati kepala empat.
.