Selama 10 tahun lamanya, Pernikahan yang Adhis dan Raka jalani terasa sempurna, walau belum ada anak diantara mereka.
Tepat di ulang tahun ke 10 pernikahan mereka, Adhis mengetahui bahwa Raka telah memiliki seorang anak bersama istri sirinya.
Masihkah Adhis bertahan dalam peliknya kisah rumah tangganya? menelan pahitnya empedu diantara manisnya kata-kata cinta dari Raka?
Atau, memilih meladeni mantan kekasih yang belakangan ini membuat masalah rumah tangganya jadi semakin pelik?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon moon, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
#19•
#19
Plak!
Tamparan itu tidak seberapa keras, tapi sampai kapanpun, rasa malu ini akan terus diingat, dan sakit hatinya akan terus mengakar hingga ke dasar jiwa.
“Apa kamu buta?!”
Adhis yang masih tercengang mengusap pipi kirinya, kembali dibuat menganga dengan apa yang baru saja ia dengar. “Di pangkuanmu ada anak-anak, tapi kamu berdiri tanpa berpikir anak itu akan celaka,” lanjut Bu Dewi.
“Huaaaaa … “ Tangis Qiran seketika melengking, suasana ramah penuh tawa, kini berganti dengan ketegangan yang bercampur dengan suara tangisan Qiran.
“Apa aku salahku, Bu?”
“Masih pura-pura bertanya!” hardik Bu Dewi.
“Bu.” Raka yang masih sibuk menenangkan Qiran, berusaha melerai.
“Apa!? Kamu mau bela istrimu lagi?”
“Bukan begitu, Bu, aku yakin Adhis tak sengaja!”
Bu Dewi tersenyum sinis, “tak sengaja? Jelas-jelas ada banyak yang menyaksikan, biar mereka menilai apakah itu layak disebut ketidaksengajaan?” tantang Bu Dewi.
Raka terdiam, benar kiranya apa Bu Dewi katakan, tapi melihat Adhis disakiti secara fisik oleh Ibunya, Raka jadi bersuara lantang. Wanita yang sepenuh hati ia cinta, ia lindungi laksana kaca yang mudah pecah, kembali melelehkan air mata. Bahkan dirinya ikut menjadi penyebab hadirnya air mata tersebut.
Alangkah tidak adilnya kondisi Adhis, dan Raka sangat menyadari itu. Tak ingin lagi berdebat, Adhis memilih pergi, dibawah tatapan banyak orang ia tinggalkan rumah mertuanya. “Lho … lho … mau kemana?” Tanya Ayah Suryo. Pria baya itu bahkan berlari kecil mengejar langkah kaki anak menantunya yang semakin menjauh. Sementara Raka bahkan tak bisa mengejar Adhis karena Qiran yang masih tantrum dan enggan dialihkan.
“Raka!! Istrimu pergi menggunakan taksi.” Dengan wajah lesu Ayah Suryo kembali, wajahnya sendu karena ia tak berhasil mengejar sang menantu.
“Biarkan saja, Mas, lagian Raka gak butuh istri yang berani melotot pada ibu mertuanya.”
“Cukup, Bu! Aku diam bukan berarti aku memihak Ibu. Aku diam bukan berarti aku setuju dengan penilaian Ibu, pada istriku. Aku berusaha menahan diriku, karena aku tahu apa yang kita lakukan di belakang Adhis, itu sangat menyakiti hati dan perasaannya.”
Usai mengeluarkan isi hatinya, Raka pun pergi meninggalkan pendopo, dengan Qiran yang masih berada dalam pelukannya, syukurlah Anggita segera datang dan menyongsong putri kecilnya. Raka tak hiraukan tangisan Qiran, ia abaikan tatapan semua orang yang ada di pendopo. Tujuannya hanya satu, yakni Adhis.
Terdengar suara teriakan Bu Dewi, namun tak lagi Raka hiraukan, biarlah itu jadi urusan Ayah Suryo. “Bu … “
“Mas, sebaiknya diam, ini urusan Ibu Mertua dengan menantu perempuannya.” Usai mengatakannya, Bu Dewi melengos pergi meninggalkan pendopo dan para tamu yang menatap dengan pandangan yang ‘entah’.
Ayah Suryo hanya bisa menyapu keningnya, disaat mereka sudah memiliki cucu yang mereka harapkan. Bu Dewi justru semakin memperkeruh suasana, bahkan seolah sengaja mengibarkan bendera peperangan. Rasanya Ayah Suryo mungkin akan semakin kehilangan muka di hadapan keluarga besannya.
Sementara itu, Raka yang kehilangan jejak Adhis, merasa semakin panik, Raka tak menyangka, setelah susah payah usahanya membujuk Adhis untuk bersedia datang, dan sedikit menepikan masalah pernikahan kedua Raka. Bahkan Adhis sama sekali tak berbicara masalah perceraian, itu sudah hal luar biasa bagi Raka.
Kini yang Raka takutkan adalah, jika istrinya pulang ke rumah orang tuanya, kemudian menceritakan semua masalah rumah tangga mereka. Tentu orang pertama yang akan maju dan menggantung lehernya adalah Gala, kakak ipar sekaligus sahabat nya.
Raka tiba di rumahnya, beberapa menit kemudian, “Adhis … “ seru Raka ketika membuka pintu rumahnya dengan kunci cadangan. Pilihan yang bodoh memang, karena Adhis pasti tak akan sudi bertemu dengannya, setidaknya untuk beberapa jam ke depan. Tapi Raka justru pulang ke rumah, karena sangat berharap Adhis ada di kediaman mereka.
“Sayang … ” Raka kembali menyerukan panggilan sayangnya untuk sang istri. namun seperti halnya panggilan pertama, kali ini pun Raka tak beroleh jawaban.
Rumah besar tersebut sudah sepi, karena tadi sebelum pergi, Raka sudah berpesan pada Mbok Jum, agar segera pulang jika pekerjaan sudah selesai.
Sia-sia saja Raka berteriak dan mencari-cari di setiap sudut rumah, karena Adhis memang tak pulang ke rumah mereka, lantas, apakah Adhis pulang ke rumah orang tuanya?
“Tidak, itu tak boleh terjadi,” monolog Raka. Ia mengeluarkan ponselnya, sekali lagi ia coba menghubungi nomor sang istri, namun seperti puluhan panggilan sebelumnya, kali ini pun panggilan tersebut bahkan tak mampu menjangkau pemilik ponsel, karena Adhis menonaktifkan ponsel pintarnya.
Ada satu kemungkinan yang tak ingin Raka bayangkan, kemungkinan yang justru Raka harap agar tak jadi pilihan Adhis, yakni rumah orang tuanya. Selain akan semakin mempersulit keadaan, disana juga ada mantan kekasih Adhis. Dan sejujurnya Raka tadi melihat sendiri bagaimana cara Dean menatap Adhis, kedua mata birunya tampak masih berbinar penuh damba ketika menatap Adhis, dan Raka tak suka dengan hal itu.