Raisa memiliki prinsip untuk tidak memiliki anak setelah menikah. Awalnya Edgar, suaminya menerima prinsip Raisa itu. Tapi setelah 6 tahun pernikahan, Edgar mendapatkan tekanan dari keluarganya mengenai keturunan. Edgar pun goyah dan hubungan mereka berakhir dengan perceraian.
Tanpa disadari Raisa, ternyata dia mengandung setelah diceraikan. Segalanya tak lagi sama dengan prinsipnya. Dia menjadi single mother dari dua gadis kembarnya. Dia selalu bersembunyi dari keluarga Gautama karena merasa keluarga itu telah membenci dirinya.
Sampai suatu ketika, mereka dipertemukan lagi tanpa sengaja. Di saat itu, Edgar sadar kalau dirinya telah menjadi seorang ayah ketika ia sedang merencanakan pernikahan dengan kekasihnya yang baru.
Akankah kehadiran dua gadis kecil itu mampu mempersatukan mereka kembali?
Follow Ig : @yoyotaa_
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Yoyota, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Part 13
"Selamat bekerja lagi Mi, semangat ya! Supaya uang jajan kami bisa bertambah, hehe."
Raisa tersenyum mendapatkan semangat dari kedua anak kembarnya. Setelah itu keduanya pergi dari restoran. Raisa dan yang lainnya pun kembali bekerja untuk bergantian istirahat dengan koki lainnya.
"Si kembar emang the best deh Mba. Gimana sih cara Mba didik mereka sampai sepintar itu?"
"Aku hanya terus belajar dari internet atau bahkan membaca buku tentang ilmu parenting. Aku sadar aku tidak berpengalaman dalam mendidik anak, jadi aku harus belajar dari berbagai hal. Sudah ah, jangan bahas itu terus, ayo kita mulai bekerja. Lihat catatan yang menempel itu, sudah bertumpuk-tumpuk."
"Iya deh Mba."
*
*
Berbeda dengan seseorang di kantornya, dia terlihat tidak nafsu makan padahal sudah dipesankan makanan yang dia inginkan oleh Diana, sekretarisnya.
"Arghh! Gara-gara ucapan Bimo semalam, kenapa aku jadi begini sih?! Jelas-jelas aku sudah tidak mencintai Raisa lagi. Orang yang aku cintai saat ini adalah Tamara. Iya Tamara, aktris terkenal di negeri ini."
Ceklek!
Pintu ruangan Edgar tiba-tiba terbuka memperlihatkan Tamara dengan busana anggunnya berjalan ala-ala sedang catwalk.
"Kenapa kesini nggak bilang-bilang?" tanya Edgar yang terkejut ketika melihat Tamara datang ke kantornya.
"Namanya juga kejutan. Masa iya bilang-bilang dulu? Nggak dong Sayang," ucap Tamara yang langsung duduk di sofa di samping Edgar.
"Kamu baru mau makan?" tanya Tamara lagi ketika melihat dua kotak makanan di atas meja.
"Iya, tapi tiba-tiba aku jadi tidak berselera."
"Kenapa?"
"Entahlah," jawab Edgar sambil menaikkan bahunya.
"Kamu lagi banyak pikiran ya? Apa pekerjaan kantor lagi banyak? Mau aku bantu? Gini-gini aku juga sedikit paham tentang dunia kerja kamu. Soalnya kan papa aku juga punya perusahaan."
"Nggak usah Tam, kamu juga pasti lelah habis syuting. Masa iya aku minta bantuan kamu. Rasanya, agak, agak gimana gitu. Lebih baik kamu duduk manis aja disitu."
"Mana bisa begitu, gimana kalau aku suapin kamu biar kamu bisa sambil ngerjain pekerjaan kamu. Mau?"
Edgar pun mengangguk. Dia bekerja sambil disuapi dan ditemani oleh Tamara juga sedikit dibantu oleh Tamara.
Sampai waktu pun menunjukkan pukul 4 sore. Edgar pun segera merapihkan dokumennya dan meletakan di meja kerjanya. Kemudian dia mengajak Tamara untuk pulang bersama.
Tamara meminta Edgar untuk mampir ke rumahnya di saat ada papanya di rumah. Karena biasanya, papanya Tamara selalu tak ada ketika Edgar mampir ke rumah Tamara. Edgar dan papanya Tamara memang terkadang bertemu tapi bukan sebagai kekasih dari Tamara melainkan sebagai rekan bisnis.
"Aku pulang, Ma, Pa," teriak Tamara dengan riang gembira.
"Ya ampun sayang, kenapa pake teriak-teriak segala? Tanpa teriak pun Mama tahu itu kamu yang datang," sahut Astrid, mamanya Tamara.
Cuma dibalas cengiran oleh Tamara.
"Hai Tante," sapa Edgar dengan senyuman.
"Halo Edgar, sudah lama ya kamu nggak berkunjung kemari. Kamu pasti sangat sibuk mengurus perusahaan. Maafin anak Tante ya yang suka seenaknya gangguin kamu."
"Mama apaan sih? Bukan cuma Edgar aja yang sibuk, aku juga sibuk Ma. Syutingku rasanya tiap harinya bukannya berkurang malah terus bertambah."
"Jangan ngeluh di depan pacar sendiri. Ayok masuk Gar. Ada papa Tamara di ruang televisi. Kamu temani dia gih!"
Edgar hanya mengangguk. Sejujurnya dia benar-benar gugup karena sudah lama sekali tak berjumpa dengan papanya Tamara.
"Eh, Edgar, dari kapan?" tanya Galih, papa dari Tamara.
"Baru Om."
"Duduk, duduk!" Galih mempersilahkan Edgar untuk duduk di samping dan menonton televisi bersamanya.
"Sudah sampai mana tahap hubungan kalian? Apa sudah menuju ke tahap yang serius?"
"Belum Om, kami masih nyaman dengan hubungan yang sekarang," jawab Edgar jujur.
"Kenapa? Apa kamu ragu dengan Tamara? Kalau ragu, lebih baik kalian sudahi saja hubungan kalian. Dua tahun sudah cukup untuk masa perkenalan Edgar. Aku saja dengan mamanya Tamara, dulu hanya 8 bulan masa pendekatan dan pacaran lalu menikah. Memangnya, apa lagi yang mau kamu kejar?" Galih terlihat tidak suka dengan jawaban Edgar yang terkesan hanya bermain-main dengan putrinya.
"Bukan begitu Om, hanya saja aku memang sedang sibuk untuk mendapatkan proyek besar. Aku tidak mau nantinya, malah membuat Tamara tidak mendapatkan perhatian dariku."
"Kalau begitu, biarkan aku membantumu, apa yang kamu butuhkan untuk proyekmu itu? Aku akan bantu supaya kamu bisa memenangkan itu dan setelahnya, kamu harus nikahi putriku. Kamu pasti tahu, sebesar apa dia mencintai kamu."
Edgar mengiyakan begitu saja tanpa memikirkan dampaknya nanti. Ia hanya beranggapan tidak akan sulit menjalani hubungan pernikahan dengan Tamara. Lagipula, dirinya juga sudah menduda terlalu lama. Tapi dia lupa akan hatinya, harusnya tanyakan dulu, apakah hatinya, benar-benar sudah jadi milik Tamara?
"Baiklah karena kamu sudah setuju, aku juga akan berinvestasi di perusahaanmu. Untuk lebih lengkapnya, nanti kita bicarakan di lain waktu. Mengenai pernikahan, aku harap kamu bersungguh-sungguh."
"Iya Om, akan segera aku bicarakan dengan orang tuaku."
Tanpa keduanya ketahui, Tamara rupanya menguping pembicaraan itu dengan senyum malu-malunya. Akhirnya yang ia tunggu-tunggu kesampaian juga. Sebentar lagi dirinya akan dipersunting oleh Edgar.
Ah, senangnya.
Tidak salah dirinya membawa Edgar ke rumah di saat ada papanya di rumah. Hatinya begitu berbunga-bunga, ia benar-benar sudah tidak sabar akan segera menjadi nyonya Gautama.
*
*
"Edgar, kok baru pulang? Dari mana?" tanya Mama Ola.
"Dari rumah Tamara, Ma. Maaf aku lupa bilang."
"Apa yang kamu bicarakan disana? Bukankah papanya Tamara juga sedang ada disini? Dia sudah pulang dari luar negeri, kan?"
"Iya Ma, tadi aku bicara banyak dengan Om Galih."
"Bicara apa? Ayo cerita ke Mama." tanya Mama Ola yang begitu penasaran.
"Nanti ya Ma, aku mau bersih-bersih badan dulu. Rasanya lengket semua," tolak Edgar.
"Ya udah sana mandi dulu, pokoknya selesai mandi kamu harus menemui mama di ruang keluarga."
"Iya Ma."
Edgar pun berjalan menuju ke kamarnya. Mama Ola pergi ke ruang keluarga yang dimana disana sudah ada Papa Daniel dan Oma Deli.
"Kamu habis bicara apa dengan Edgar, Ola?" tanya Oma Deli.
"Hanya bertanya dia habis dari mana Ma."
"Oh, Mama pikir kamu sedang memaksa Edgar lagi untuk segera menikah dengan Tamara," ucap Oma Deli.
"Maunya sih begitu, Ma. Tapi nggak keburu, Edgar nya mau mandi dulu."
"Jangan memaksakan kehendak kamu ke Edgar Ola. Biarkan mereka bersatu dengan keinginan mereka sendiri. Kita sebagai orang dewasa hanya bisa mendukung saja."
Mama Ola terlihat tidak setuju. Mungkin dia terlalu kecewa dengan pernikahan Edgar sebelumnya yang menerima begitu saja Raisa masuk ke dalam keluarga mereka tanpa mempermasalahkan latar belakang keluarga Raisa lebih dulu. Jadinya, ketika kini Edgar mendapatkan kekasih yang sempurna dalam segalanya baik itu wajah maupun latar belakang keluarganya yang terpandang, Mama Ola jadi ingin menjadikan Tamara menantunya. Ditambah dia juga sangat menyukai kepribadian Tamara.
Papa Daniel hanya menyimak saja disana, dia malas ikut campur jika dua singa betina di rumahnya sudah berbicara. Dia hanya bisa berdoa semoga semuanya akan damai sentosa.
*
*
TBC