NovelToon NovelToon
META

META

Status: sedang berlangsung
Genre:Teen / Keluarga / Persahabatan / Romansa / Bad Boy / Enemy to Lovers
Popularitas:428
Nilai: 5
Nama Author: hytrrahmi

Hidup dalam takdir yang sulit membuat Meta menyimpan tiga rahasia besar terhadap dunia. Rasa sakit yang ia terima sejak lahir ke dunia membuatnya sekokoh baja. Perlakuan tidak adil dunia padanya, diterima Meta dengan sukarela. Kehilangan sosok yang ia harap mampu melindunginya, membuat hati Meta kian mati rasa.

Berbagai upaya telah Meta lakukan untuk bertahan. Dia menahan diri untuk tak lagi jatuh cinta. Ia juga menahan hatinya untuk tidak menjerit dan terbunuh sia-sia. Namun kehadiran Aksel merubah segalanya. Merubah pandangan Meta terhadap semesta dan seisinya.

Jika sudah dibuat terlena, apakah Meta bisa bertahan dalam dunianya, atau justru membiarkan Aksel masuk lebih jauh untuk membuatnya bernyawa?

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon hytrrahmi, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

04. Tulang Punggung

"Udah balik aja lo, nggak disuruh mampir? Meta aman, nggak?" Pertanyaan itu datang dari Pandu yang menyadari kehadiran Aksel, walau laki-laki itu hanya diam sambil menatap emosi ponselnya.

Samar-samar pertanyaan Pandu menyelinap ke kuping Aksel, membuat cowok itu terbata dan menatap teman-temannya satu per satu. Sekarang mereka ada di rooftop Prismatrix Kafe, jadi setiap perhatian kini hanya tertuju pada Aksel sembari menunggu cowok itu menjawab pertanyaan Pandu.

Melihat wajah linglung Aksel, rasa ingin tahu Dewa meningkat sebagai pimpinan geng. "Lo kenapa kayak orang bingung gitu?" tanyanya.

Aksel berdehem, mencoba bersikap seperti biasa walau dirinya sendiri sedang berperang melawan apa yang tadi ia lihat di rumah Meta. Sebuah kekerasan yang tidak bermoral, yang Aksel duga dilakukan oleh ayah Meta sendiri. Tiba-tiba cowok itu berdecak, semakin menambah rasa penasaran tim inti Destroyer.

Sadar melihat tatapan teman-temannya, Aksel menggaruk tengkuknya yang tidak gatal. "Sori buat hari ini, duel sama Miguel jadi batal karena gue," dustanya pada Dewa dan yang lainnya.

Devon terkekeh. "Karena lo gimana? Meta biangnya!"

"Lo belum jawab pertanyaan gue, kenapa udah balik aja? Meta aman?" Pandu mengulang pertanyaan yang belum sempat dijawab oleh Aksel.

"Bro, duduk dulu." Bens bangkit dari duduknya yang sebenarnya sudah memantau dan menduga bahwa sudah terjadi sesuatu pada Aksel. Tetapi Bens tidak seperti teman-temannya yang langsung mewawancarai Aksel, dia memilih untuk tidak menunjukkan rasa ingin tahunya.

Dengan baiknya, Bens sampai menarik sebuah kursi yang kosong ke hadapan Aksel, meminta cowok itu untuk menenangkan diri terlepas dari apa yang Aksel alami sampai membuatnya merasa terkejut seperti ini. "Kalau belum bisa jawab nggak usah dijawab dulu, kita semua bisa nunggu, Sel."

Pernyataan dari Bens seperti isyarat untuk teman-temannya agar berhenti memojokkan Aksel dengan pertanyaan yang sama terkait Meta. Hingga kemudian keadaan pun menjadi canggung, hening panjang menguasai dalam lirikan penug tanya satu sama lain.

Sementara di posisinya yang saat ini duduk di sebelah Bens menghadap teman-temannya, Aksel mengingat lagi kejadian dimana ia melihat Meta dipukul. Seumur hidupnya, ia belum pernah melihat seorang perempuan ditangani sampai tidak mengeluarkan jeritan sekecil apapun. Seolah semua pertanyaan Aksel di atap sekolah terjawab dengan kejadian tak menyenangkan ini. Bahwa pelakunya adalah laki-laki biadab itu.

Berawal dari jejak pertama Meta di teras rumah setelah pulang sekolah. Begitu di pintu masuk langkahnya langsung dihadang oleh laki-laki itu, mendorong tubuh Meta untuk mundur. Mau tak mau, Meta memundurkan dirinya, mencoba tenang walau isi kepalanya sudah berantakan.

"Dari mana kamu? Jam segini baru pulang, mau kayak mama kamu, hah?!"

Nada suaranya tidak pernah rendah, selalu meninggi dan memerintah. Meta tak punya kesempatan untuk memberontak, hingga untuk menyalurkan segala yang ia rasakan, Meta hanya dapat memejamkan matanya sambil mengepalkan tangan di sisi tubuh. Berhadapan dengan ayah angkatnya—Beni—membutuhkan kesabaran dan rasa manusiawi yang tinggi.

"Aku terlambat karena ada urusan di sekolah. Pekerjaan mamaku memang hina, tapi dari kehinaan itu dia bisa menghidupi Bapak dan kita semua."

Bugh!

Itu baru pukulan yang dihadiahi oleh Beni setelah mendengar jawaban Meta, yang menurutnya tidak perlu diutarakan. Karena bagi Beni, itu adalah sebuah penentangan, bantahan, atas apa yang telah ia lakukan dan katakan. Ia tidak suka dibantah dan dijawab, Meta dan Risa hanya boleh pasrah serta tunduk di kakinya.

"Bergaul sama siapa kamu di sekolah sampai berani menjawab omongan saya?!" bentaknya saat tangan Meta mengusap pipinya yang memanas dan perih. "Kamu sama mama kamu emang hina! Murahan! Nggak salah kalau saya berpikiran bahwa kamu akan mengikuti jejak kotor mama kamu. Karena kamu darah daging Vina."

Meta berdecih, reaksi Beni semakin gila lagi. Matanya melotot sempurna seakan ingin melenyapkan bocah ingusan di depannya. "Terserah Bapak mau ngomong apa, kenyataannya memang seperti itu. Aku nggak akan menyangkal apapun," ujar Meta berani, seolah sudah hapal dan terbiasa dengan kemarahan Beni yang melampaui batas.

"Mana uangnya, saya lagi butuh!" Mengabaikan jawaban Meta yang sebenarnya sudah membuat darah Beni mendidih, kepentingannya untuk pulang menyadarkannya untuk menadahkan tangan. Meminta uang Meta untuk ia gunakan membeli obat-obatan terlarang.

"Uangku udah nggak ada, Bapak udah ambil semuanya."

"Bohong kamu! Buruan kasih ke saya atau kamu mau saya pukul?"

"Pukul kalau itu bikin Bapak percaya. Uang hasil manggung di kafe minggu ini belum aku terima."

Tangan Beni sudah terkepal di sebelah kanan, bergetar tidak tahan untuk tidak melayangkan pukulan pada perempuan keras kepala di depannya. Hingga kemudian setelah melawan keras hatinya, pukulan itu melayang menghantam rahang kiri Meta. Membuat tubuhnya terhuyung dan terjatuh ke lantai.

"Mas Beni! Kamu keterlaluan! Jangan menyiksa Meta kayak gini, aku mohon." Risa muncul dengan keadaan yang sama kacaunya seperti Meta, seperti habis dipukuli jika dilihat dari warna kebiru-biruan di tulang pipinya. Mengenaskan.

Tubuh Meta yang membeku di tempatnya jatuh dipeluk oleh Risa, naluri keibuan Risa membuatnya tak bisa hanya diam di dalam mendengarkan pukulan dan tamparan yang Beni hadiahkan untuk anak angkatnya itu.

"Sayang, kamu nggak apa-apa?" Risa menatap Meta yang hanya diam, menahan seluruh hasratnya untuk menyerang Beni. "Maafin Ibu, Ta. Seharusnya Ibu bisa menghentikan Bapak kamu."

Meta tak menjawab, dia hanya diam dengan tatapan kosong. Melihat aksi Risa itu, Beni semakin tidak bisa berpikir jernih. Yang ia butuhkan sekarang adalah uang milik Meta demi memenuhi keinginannya. Atau jika tidak, ia akan kehilangan kewarasannya.

Beni menarik tubuh Meta dari pangkuan Risa, memaksa gadis itu untuk berdiri dan kembali mendapatkan pukulan yang sama. Tekanannya kali ini lebih kuat dari sebelumnya, Risa menjerit, tetangga berdatangan dan diam-diam ikut mengintip bersama Aksel di balik pagar yang berdekatan dengan tembok.

Setelah rekaman itu selesai, Aksel tak tahu lagi apa yang terjadi pada Meta, ia harap sekarang perempuan itu sudah aman dan tidak lagi kesakitan. Jam di ponselnya menunjukkan pukul lima sore, sudah waktunya bagi Aksel untuk pulang ke rumah dan kembali ke kafe sebagai manajer yang terpilih.

"Bos, pas gue nganterin Meta pulang, nyokap lo mampir ke sini, nggak?" tanya Aksel pada Dewa, selaku anak dari pemilik kafe dimana ia bekerja tanpa harus berusaha keras. Ya, selama bersekolah, karena urusan Prismatrix Kafe masih menjadi tanggung jawab Della sepenuhnya. Selama berstatus sebagai pelajar, Aksel akan dibimbing oleh Della sampai lulus sekolah dan dijamin masuk ke universitas yang sama dengan Dewa untuk melanjutkan pendidikannya.

Bukankah ia sangat beruntung setelah mengenal Dewa dan keluarganya? Ya, terlebih keadaan ekonominya yang sulit, yang membuat Aksel mengemis pekerjaan kemana-mana sebelum direkrut sebagai manajer kafe oleh Della.

Dewa menggeleng pelan. "Enggak kayaknya. Lo pulang aja bersih-bersih, gue di sini," usul cowok itu.

Zelo mengangguk setuju. "Gue nemenin Bos Dewa sama Lerry. Dijamin keadaan aman terkendali," ucap cowok itu. Sementara tim inti yang lain mengikuti saja keputusan finalnya.

"Ya udah gue cabut. Baik-baik, Bos, takut kanjeng bunda menggal gaji gue bulan ini," peringat Aksel yang langsung dibalas pelototan tajam oleh Dewa. Cowok itu pun tertawa untuk menghibur dirinya sendiri, kemudian meninggalkan teman-temannya di rooftop.

...ᴍᴇᴛᴀ & ᴛɪɢᴀ ʀᴀʜᴀꜱɪᴀ...

Sudah berlalu dua jam. Meta masih betah mengurung diri di kamar sambil memetik senar gitar secara asal. Tatapannya kosong, wajahnya penuh lebam dan tidak bisa ditutupi dengan foundation untuk menyamarkan luka. Padahal sekarang waktunya manggung di kafe milik orang tua Dewa, tapi karena kejadian sore tadi, Meta jadi tidak bisa datang. Terpaksa hanya berdiam diri di kamar, menunggu esok menjelang.

Saat sedang memusatkan perhatiannya pada hari esok yang entah akan berjalan seperti apa, ponsel yang terletak di samping Meta berbunyi. Menampilkan sebuah notifikasi pesan di layarnya yang segera dibuka oleh Meta. Barangkali ada yang penting, tapi setelah membukanya, cewek itu menjadi menyesal.

+628132122xxxx :

𝐊𝐚𝐥𝐚𝐮 𝐣𝐚𝐝𝐢 𝐭𝐮𝐥𝐚𝐧𝐠 𝐩𝐮𝐧𝐠𝐠𝐮𝐧𝐠 𝐢𝐭𝐮 𝐦𝐮𝐝𝐚𝐡, 𝐦𝐚𝐧𝐮𝐬𝐢𝐚 𝐧𝐠𝐠𝐚𝐤 𝐚𝐤𝐚𝐧 𝐦𝐞𝐦𝐢𝐥𝐢𝐡 𝐡𝐢𝐝𝐮𝐩 𝐭𝐞𝐫𝐥𝐚𝐥𝐮 𝐤𝐞𝐫𝐚𝐬, 𝐓𝐚. 𝐋𝐨 𝐧𝐠𝐠𝐚𝐤 𝐚𝐝𝐚 𝐧𝐢𝐚𝐭 𝐛𝐮𝐚𝐭 𝐣𝐚𝐝𝐢 𝐭𝐮𝐥𝐚𝐧𝐠 𝐫𝐮𝐬𝐮𝐤 𝐠𝐮𝐞 𝐠𝐢𝐭𝐮? 𝐁𝐢𝐚𝐫 𝐤𝐢𝐭𝐚 𝐬𝐚𝐥𝐢𝐧𝐠 𝐦𝐞𝐥𝐞𝐧𝐠𝐤𝐚𝐩𝐢.

Meta menatap malas layar ponselnya yang menampilkan pesan WhatsApp dari nomor yang tidak dikenal. Sebenarnya dari cara orang itu berbicara padanya, Meta sudah bisa menebak. Siapa lagi yang masih bersikeras untuk menjadi pacarnya jika bukan Aksel? Dan untuk menyimpan nomor cowok itu, Meta merasa tidak terlalu penting.

Mencoba menempatkan jempolnya di layar untuk mengetik balasan, Meta menatap lama kalimat tulang punggung. Ia merasa mendapatkan tanggung jawab terlalu besar di usianya yang masih muda.

Meta Fernanda :

𝐍𝐠𝐠𝐚𝐤 𝐩𝐞𝐫𝐥𝐮, 𝐤𝐚𝐫𝐞𝐧𝐚 𝐠𝐮𝐞 𝐩𝐮𝐧𝐲𝐚 𝐝𝐮𝐚-𝐝𝐮𝐚𝐧𝐲𝐚. 𝐌𝐞𝐧𝐮𝐫𝐮𝐭 𝐠𝐮𝐞 𝐣𝐚𝐝𝐢 𝐭𝐮𝐥𝐚𝐧𝐠 𝐩𝐮𝐧𝐠𝐠𝐮𝐧𝐠 𝐧𝐠𝐠𝐚𝐤 𝐛𝐞𝐠𝐢𝐭𝐮 𝐛𝐮𝐫𝐮𝐤. 𝐉𝐮𝐬𝐭𝐫𝐮 𝐝𝐞𝐧𝐠𝐚𝐧 𝐦𝐞𝐧𝐣𝐚𝐝𝐢 𝐭𝐮𝐥𝐚𝐧𝐠 𝐫𝐮𝐬𝐮𝐤 𝐥𝐨, 𝐚𝐤𝐚𝐧 𝐣𝐚𝐝𝐢 𝐤𝐮𝐭𝐮𝐤𝐚𝐧 𝐛𝐮𝐚𝐭 𝐠𝐮𝐞!

Mengirim.

Meta menekan tombol kirim hingga pesan itu diproses beberapa saat kemudian terkirim pada Aksel. Meladeni Aksel menjadi hiburan tersendiri dikala kerumitan hidupnya membuat Meta lelah. Cowok itu membuatnya mendapatkan energi gratis setiap hari. Namun tunggu, dari mana Aksel tahu jika dirinya menjadi tulang punggung keluarga?

Meta Fernanda :

𝐋𝐨 𝐭𝐚𝐮 𝐝𝐚𝐫𝐢 𝐦𝐚𝐧𝐚 𝐠𝐮𝐞 𝐣𝐚𝐝𝐢 𝐭𝐮𝐥𝐚𝐧𝐠 𝐩𝐮𝐧𝐠𝐠𝐮𝐧𝐠 𝐤𝐞𝐥𝐮𝐚𝐫𝐠𝐚?

Jemari Meta kembali menari di atas layar benda pintar itu dengan tergesa-gesa dan mengirimkannya kembali pada Aksel. Rasanya seperti sedang diteror, Aksel membuat Meta khawatir kalau rahasianya akan tercium oleh penduduk SMA Gemilang.

628132122xxxx :

𝐊𝐞 𝐤𝐚𝐟𝐞 𝐬𝐞𝐤𝐚𝐫𝐚𝐧𝐠, 𝐠𝐮𝐞 𝐛𝐮𝐭𝐮𝐡 𝐥𝐨. 𝐊𝐚𝐟𝐞 𝐬𝐞𝐩𝐢 𝐤𝐚𝐥𝐚𝐮 𝐥𝐨 𝐧𝐠𝐠𝐚𝐤 𝐚𝐝𝐚.

Tak perlu menunggu lama, Meta mendapatkan sebuah balasan pesan berupa video dan sepenggal kalimat. Dimana di detik berikutnya, Meta harus bangkit dari kasur sederhananya dan meraih jaket yang menggantung di balik pintu. Bergegas menghampiri motor yang terparkir di halaman rumah setelah berpamitan kepada Risa, untuk menuju kafe tempatnya bekerja.

...ᴍᴇᴛᴀ & ᴛɪɢᴀ ʀᴀʜᴀꜱɪᴀ...

"Anjir, muka Meta babak belur gitu kenapa, Sel? Pas pulang anak orang lo apain?" Pandu berbisik heboh di salah satu dari dua meja khusus yang hanya dihuni oleh tim inti Destroyer. Cowok itu menabok lengan Aksel, meminta penjelasan.

"Hooh, gila aja masih lo suruh manggung. Obatin dulu kali mukanya!" tambah Zelo.

"Meta ganas amat, ya, sampe babak belur gitu. Mainnya udah jauh, suhu ternyata," komentar Lerry takjub, sambil menatap gadis yang sedang memperlihatkan suara emasnya pada pelanggan kafe.

Meta dan teman-teman band-nya berencana untuk tidak tampil malam ini, dikarenakan keadaan Meta yang tidak memungkinkan meski mereka telah berlatih di sekolah. Tiga temannya itu, Putra, Yoga dan Andre untungnya tidak mempermasalahkan jika malam ini mereka tetap harus tampil menghibur pengunjung kafe. Karena sudah menjadi tanggung jawab mereka, walau malam ini agak didesak oleh waktu.

Aksel juga mengatakan kalau malam ini cukup sampai pukul sembilan, setelah itu mereka boleh pulang dan istirahat. Jika bukan karena rasa penasaran Aksel lebih kuat, mungkin ia tidak akan memaksa untuk tetap tampil malam ini. Dan semuanya berjalan baik, Meta sempat menutupi luka di wajahnya dengan make up. Tampil dengan keadaan seperti itu sudah menjadi hal biasa bagi Meta dan ketiga temannya. Namun alasan di balik luka pada wajah Meta, mereka tidak pernah tahu kecuali Putra.

"Sel, lo bisa jelasin sesuatu?" Devon melempar pandangan padanya, mengharapkan sebuah jawaban konkret. "Atau pas pulang lo dijegal sama Bastar?"

"Nggak. Di jalan gue sama Meta aman-aman aja. Gue juga penasaran kenapa muka Meta bisa kayak gitu." Aksel membohongi teman-temannya lagi, matanya tak beranjak dari Meta sampai gadis itu telah mengakhiri penampilannya dengan kalimat penutup yang indah. Namun dibuat tertegun di kalimat yang benar-benar akan mengantarkan Meta pada sebuah perpisahan untuk malam ini.

"Setiap ada luka, lo selalu bisa memeluk diri sendiri, tapi enggak untuk selalu bersandar di pundak orang lain. Pundak mereka hanya pinjaman, yang kapan saja bisa hilang. Semangat yang sedang berjuang! Terimakasih."

Nauval yang merupakan orang yang malas basa-basi langsung melepas tatapannya dari ponsel. "Widih, bijak juga dia, Sel. Kali ini pilihan lo aman, nggak murahan!" ujarnya sambil memandangi Meta dan teman-temannya.

"Temennya Renata, tuh. Jagoan dia waktu kelas sepuluh, sama kita-kita aja kagak ada takutnya. Gimana enggak, orang bisa berantem," heboh Kevin di sebelah Xenrak yang hanya diam tak peduli.

"Lo kenal, Vin?" sambar Zaki yang juga sedang memusatkan perhatian pada Meta.

Kevin menggeleng. "Nggak. Unit tiga sering gosipin dia, karena waktu kelas sepuluh ribut sama anak cowok mulu," jawabnya yang mendapat anggukan mengerti dari teman-temannya.

Tepukan meriah pun didapatkan oleh Meta atas kata-kata bijak yang khusus ia berikan kepada pengunjung malam ini. Sorak-sorai para kaum Adam menggema memenuhi kafe, mereka seperti penggemar yang selalu ada untuk Meta. Lantaran Meta punya channel youtube bersama band-nya, kemungkinan besarnya mereka mengagumi keindahan suara Meta dari sana. Yang seketika membuat Aksel melirik tajam dan tidak suka, apalagi ketika ada beberapa gerombolan yang langsung datang menghampiri Meta dan teman-temannya.

"Udah famous, Sel, gebetan lo. Meskipun dia galak, pas nyanyi kayak udah bukan Meta lagi, auranya beda banget." celetuk Pandu yang membuat Zelo dan Lerry terkikik. "Gimana, tuh, saingan lo bejibun!"

"Aksel, mah, udah lulus S3 sarjana patah hati. Jelas dia bakal perjuangin perasaannya buat Meta," kompor Zelo yang langsung mendapat pukulan di jidatnya.

Zaki tertawa ngakak melihat penderitaan Zelo. "Mampus lo. Bacot, sih!" tukasnya bahagia.

"Lo sok tau bangke!" maki Aksel saat Zelo meringis merasakan perih di keningnya sambil menggerutu menanggapi tawa Zaki. "Gue cabut dulu, ada perlu ama Meta. Bos Dewa, gue titip kafe lagi. Satu jam lagi gue balik."

"Lo ngotak dikit lah, bego!" hardik Lerry pada Aksel sebelum cowok itu berdiri. "Sejam kita di sini nungguin lo, ogah banget gue! Yang ditungguin juga lagi enak-enakan pacaran."

"Kasih dia waktu, Ler, buat memantapkan hatinya sendiri. Mau lanjut atau udahan," ujar Bens yang menyelipkan sindiran. "Sana lo pergi, gue harap kali ini lo nggak gagal, Sel."

"Ya udah tepat waktu aja!" balas Lerry acuh, yang membuat Aksel merasa sangat terhina.

"Kelakuan lo kayak anjing, nggak setia kawan banget!" umpatnya pada Lerry yang dibalas tawa oleh cowok itu, dia jelas hanya becanda. "Udahlah gue cabut dulu, keburu kabur dia."

Setelah mendapat anggukan mantap dari teman-temannya, barulah Aksel bergerak menuju ruangannya sebelum berlari menghampiri Meta dan kawan-kawannya. Sesampainya cowok itu di sana, saat Meta sedang kesusahan memangku beberapa kotak hadiah dari gerombolan laki-laki tadi, Aksel meraih pergelangan tangannya tanpa mengatakan apapun. Membuat semua kotak di dalam dekapannya berjatuhan.

Meta masih belum mengerti dengan apa yang sedang terjadi, yang bisa ia perlihatkan hanyalah kebingungan. Saat menatap teman-temannya, Meta meringis sambil mengatakan, "Gue gimana?"

Ketiga teman band-nya serempak mengedikkan bahu, apalagi Yoga dan Andre yang langsung berbisik untuk menggosipkan. Semakin diam, Meta semakin jauh meninggalkan teman-temannya, dan Aksel masih belum ingin menjelaskan apapun padanya sampai Meta memberontak. Melepaskan genggaman Aksel secara kasar dan mendorongnya.

"Maksud lo apa sialan?!"

Suara Meta menarik perhatian sebagian pengunjung, membuat mereka terpana. Tidak menyangka jika Meta akan bersikap demikian. Tentunya akan ada haters yang tertawa riang melihat adegan menyenangkan itu, tetapi Aksel menyadari keadaan dimana Meta mulai dipandang sebagai orang yang tidak baik. Dan hal itu akan mempengaruhi Meta, teman-temannya, dan karya-karya mereka.

Untuk menenangkan Meta dan membuat tatapan hina itu lenyap, Aksel meraih pundak Meta dan memeluknya. Tim inti Destroyer langsung heboh di tempat mereka, bergumam kalau sahabat mereka cukup keren untuk mengatasi keadaan. Lalu teman-teman band Meta menatap kaget, terdiam seolah hanya bisa terpaku.

"Jaga sikap lo kalau masih butuh mereka. Kalau lo kayak gini, nggak akan ada yang mau bertahan di samping lo," bisik Aksel. Berhasil menenangkan Meta tetapi sayangnya membuat cowok-cowok tadi merasa patah hati. Mereka semua mengira bahwa Aksel dan Meta memiliki hubungan, padahal sebenarnya hanya ada perdebatan di antara mereka. "Gue nggak akan macem-macem, setelah kepentingan gue selesai, gue antar lo pulang."

1
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!