Muak seluruh semesta saling membunuh dalam pertikaian yang baru, aku kehilangan adikku dan menjadi raja iblis pertama kematian adikku menciptakan luka dalam.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Dewa Leluhur, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Unmatched Opponent
"Lepaskan mereka, Noah," Arata mengedikkan kepala ke arah Eika dan Revalon yang masih terikat. "Ini urusan kita berdua."
Noah mendengus. "Kau tidak dalam posisi untuk membuat tuntutan." Dia mengayunkan Venuszirad, menciptakan gelombang energi divine yang membuat udara bergetar. "Tapi baiklah... biar kutunjukkan bahwa aku masih memiliki kehormatan."
Dengan satu jentikan jari, rantai yang mengikat Eika dan Revalon lenyap. Keduanya terhuyung, masih lemah akibat pengaruh rantai divine.
"Pergi," perintah Noah tanpa menoleh. "Ini memang urusan kami berdua."
"Tidak!" Eika berseru, berusaha berdiri. "Arata, kau tidak bisa—"
"PERGI!" kali ini Arata yang berteriak, matanya masih terkunci pada Noah. "Ini pertarunganku. Keputusanku."
Revalon menarik lengan Eika perlahan. "Kita harus pergi. Ini memang jalan yang mereka pilih."
Air mata mengalir di pipi Eika saat Revalon menariknya menjauh. Sebelum menghilang di balik portal yang Noah ciptakan, dia berbisik lirih, "Kembalilah hidup-hidup, Arata..." kini Eika melupakan rasa cinta pada Noah yang tampak itu berpindah perhatian.
Setelah keduanya pergi, Noah melepaskan rantai divine yang mengikat Arata. Energi berkumpul di sekeliling mereka, menciptakan barrier yang memisahkan ruang pertarungan dari dunia luar.
"Tanpa Agroneme," Noah berkata datar, "kau bukan tandinganku."
Arata meregangkan tubuhnya, energi divine miliknya mulai berkobar bebas. "Kita lihat saja."
Dalam sekejap mata, keduanya bergerak. Noah melesat dengan Venuszirad terayun, menciptakan tebasan energi divine yang membelah udara. Arata berguling ke samping, tangannya bergerak cepat membentuk segel-segel kuno.
"[Zeugrejas]!" Ribuan batu besar terbakar kehitaman muncul di sekeliling Arata, melesat ke arah Noah seperti hujan meteor. Noah melompati mengayunkan — menusuk meteor menggunakan Venuszirad dalam gerakan melingkar, menciptakan ledakan energi yang menghancurkan semua meteor.
"Masih menggunakan trik lama?" Noah mendengus. "Kau memang tidak berubah."
"Justru karena aku tidak berubah," Arata menyeringai, tangannya masih membentuk segel, "aku masih bisa melakukan ini [Jeria Dipto]!" teriakan Arata bergema di dalam barrier kastil. Dari kedua tangannya, muncul pusaran air raksasa yang berputar dengan kecepatan mengerikan. Dinding-dinding barrier bergetar menghadapi tekanan air kehitaman yang luar biasa.
Noah menyipitkan mata saat melihat volume air yang terus bertambah, memenuhi setiap sudut ruangan barrier dengan kecepatan mencengangkan. Sebagian lantai marmer yang mereka pijak mulai retak akibat tekanan air yang luar biasa. Pilar-pilar
obsidian bergetar, menimbulkan suara gemuruh yang menggetarkan jiwa.
"Sihir mutlak ombak air neraka!" Arata tersenyum tipis, matanya berkilat penuh keyakinan. "Bahkan dalam ruang tertutup seperti ini, kekuatannya tidak berkurang sedikitpun!"
Arus yang tercipta begitu kuat, menciptakan pusaran-pusaran mematikan di berbagai titik. Namun anehnya, Noah tetap berdiri tegak, seolah tidak terpengaruh oleh tekanan air neraka yang mampu meracuni tubuh para Dewa saat tidak sengaja menelan dan bernapas di dalamnya.
"Mengesankan," Noah mengangguk pelan, Venuszirad masih tergenggam erat di tangannya. "Tapi kau lupa satu hal penting, Arata." Dia mengangkat pedang divinenya, membuat air di sekitarnya berpendar menciptakan pemisah antara air neraka dengan dirinya. "Air adalah domain para Dewa sejak awal penciptaan. Air neraka tidak cukup melukai aku karena aku pemegang kehancuran."
Mata Arata melebar saat menyadari kesalahannya. Terlambat – Noah sudah mengayunkan Venuszirad dalam gerakan melingkar sempurna. Air yang memenuhi ruangan mulai berpendar, sebelum perlahan berhenti bergerak. Dalam sekejap, seluruh air membeku, menciptakan pemandangan seperti kristal raksasa yang memenuhi barrier.
"Tidak mungkin..." Arata berbisik, menatap tak percaya pada air Jeria Dipto yang kini sepenuhnya berada dalam kendali Noah. "Bagaimana bisa..."
"Sudah kubilang," Noah melangkah maju, setiap langkahnya membuat es di bawah kakinya berderak. "Kau bukan tandinganku tanpa Agroneme setidaknya kau lebih unggul karena ilmu pedang dari dewa-dewa perang yang kau bunuh dengan cara kotor. Sekarang, biar kutunjukkan padamu..." Dia mengangkat Venuszirad tinggi-tinggi. "...bagaimana rasanya diserang oleh sihirmu sendiri."
Es mulai retak di sekeliling mereka, menciptakan suara memekakkan telinga. Arata hanya bisa menelan ludah, menyadari bahwa pertarungan ini masih jauh dari selesai – dan dia berada dalam posisi yang sangat tidak menguntungkan.
Serpihan es berderak di sekeliling mereka, melayang dengan gerakan tak wajar sebelum melesat bagai ribuan jarum ke arah Arata. Dengan gerakan refleks hasil latihan bertahun-tahun, Arata menciptakan penghalang energi [Initroa], namun serangan Noah terlalu kuat. Beberapa serpihan es menembus pertahanannya, menciptakan luka-luka kecil di tubuhnya.
"Mengecewakan," Noah menggelengkan kepala. Dalam sekejap, dia sudah berada di belakang Arata. "Kupikir kau akan memberikan pertarungan yang lebih menarik."
Arata berbalik, berusaha melancarkan pukulan yang diperkuat energi divine, namun Noah menangkap kepalan tangannya dengan mudah. Cengkeraman Noah begitu kuat hingga Arata bisa mendengar tulang-tulangnya berderak.
"Kau tahu," Noah berbicara dengan nada santai, seolah mereka sedang berdiskusi di atas meja makan, "dulu aku sangat menghormatimu. Kekuatanmu, tekadmu... tapi sekarang?" Dia mendorong Arata ke belakang dengan satu sentakan. "Kau hanya bayangan dari sosok yang kukenal."
"Diam!" Arata melesat maju, melancarkan kombinasi pukulan dan tendangan. Namun setiap serangannya ditangkis dengan mudah oleh Noah menggunakan satu tangan, sementara tangan lainnya masih memegang Venuszirad dengan santai.
"Sudah cukup main-mainnya." Noah menangkap tendangan Arata, sebelum mencengkeram lehernya dengan kuat. Arata meronta, berusaha melepaskan diri, namun cengkeraman Noah seperti besi yang dipanaskan – panas dan tak tergoyahkan.
Dengan satu gerakan mulus, Noah menarik Arata ke atas, sebelum menghempaskan barrier yang mengelilingi mereka. Udara dingin kastil menerpa wajah Arata saat Noah membawanya keluar, masih dengan mencengkeram lehernya.
"Dengar baik-baik," Noah berbicara pelan, matanya menatap tajam ke dalam mata Arata. "Aku bisa saja membunuhmu sekarang. Tapi itu akan jadi pemborosan yang sia-sia."
"A-apa maksudmu?" Arata berkata terbata, masih berusaha melepaskan cengkeraman di lehernya.
"Kau masih berguna bagiku," Noah melonggarkan sedikit cengkeramannya, membiarkan Arata bisa berbicara lebih jelas. "Kau memilih jalan untuk mengancam Dimensi atas dan Dimensi bawah, akan aku ladenin."
Mata Arata melebar mendengar perkataan Noah. "Mustahil... Otakmu sudah tidak masuk akal!"
"Peperangan antara semua para Dewa, ya awalnya kita yang memulai setelahnya para dewa lain juga akan ikut untuk hak mereka." Noah menurunkan Arata, melepaskan cengkeramannya. "Dan untuk menghadapi kekuatanku kau tidak bisa mengandalkan dirimu yang sekarang, bentuklah — kau membutuhkan aliansi. Bahkan dengan orang yang memiliki dendam padamu."
Arata mengusap lehernya yang masih terasa panas. "Kau... sangat sombong Noah!"
"Aku percaya pada diriku," Noah tersenyum tipis, namun senyuman itu tidak mencapai matanya.
"Aku menuruti keinginanmu untuk menjadi musuhku, bukan menawarkan kesempatan untuk menebus dosamu. Dan mungkin..." dia melirik ke arah portal dimana Eika menghilang sebelumnya, "...kesempatan untuk melindungi mereka yang kau sayangi."
Angin dingin berhembus di antara mereka, membawa aroma es yang mulai mencair di dalam kastil. Arata menatap Noah, mencari tanda kebohongan di matanya, namun yang dia temukan hanyalah senyuman percaya diri yang dalam.